Maju mundur, maju mundur. Aku terus menimbang. Serba salah. Kalau aku maju, artinya aku siap dengan segala kemungkinan yang akan dilakukan Mas Harris kepadaku. Kalau aku mundur, aku tidak enak sama Mama. Karena Mama yang menyuruhku membantu Mas Harris menutup gerbang. Aku memang selalu tidak sanggup menolak permintaan Mama, karena Mama sangat baik kepadaku.
Jalanan depan rumah sudah mulai senyap. Motor maupun pedagang keliling sepertinya sudah pada istirahat. Dalam hati aku menyesali diri. Tahu mau ada acara kumpul-kumpul di rumah, kenapa tidak sejak pagi atau siang menyiram minyak ke roda pintu gerbang, yang beberapa hari ini seperti macet. Sangat seret saat didorong.
Sekitar jarak tiga meter dari keberadaan Mas Harris, aku berhenti. Kulihat cahaya dari kamar Mama berubah redup, itu artinya Mama sudah mapan di atas pembaringannya, memberi peluang kepada Harris untuk bebuat semaunya tanpa ada gangguan. Tubuhku merinding, Mas Harris menatapku, seraya tersenyum miring seperti mengejek. Aku merasa takut.
Maju mundur, maju mundur. Aku meragu. Mataku mengerjap. Dan dalam hitungan detik, Mas Harris sudah ada di sampingku. Dari samping kanan kiri bibirnya mencuat dua taring yang tajam. Mas Harris menyeringai jahat. Matanya berubah, menyala merah.
"Aaaaaa.." Aku menjerit ketakutan. Tubuhku terhuyung, pandanganku kunang-kunang. Aku berniat menyelamatkan diri, dari si vampir Harris, namun tenagaku seperti hilang, tubuhku limbung.
***
"Kamu kenapa, Na?" Tanya Mama. Raut mukanya tampak cemas. Aku menyapukan pandanganku. Aku ada di kamar Mama. "Kamu pingsan barusan."
"Ada, ada vampire, Ma." Aku tergagap.
"Kamu ini ada-ada saja." Sahut Mama. "Tak adalah vampir itu."
Mas Harris muncul di ambang pintu.
"Kenapa dia?" Tanyanya. Aku tercekat. Mengangkat sedikit kepala, dengan kedua mata melotot menatap wajahnya. Tidak lagi kudapati kedua taring di mulutnya. Tidak juga warna merah menyala di kedua matanya. Aku menjatuhkan kepalaku kembali di kasur Mama. Napasku masih belum stabil. Kepalaku juga terasa sangat pening.
"Dah kamu tidur di sini saja." Kata mama seraya menyelimuti tubuhku.
"Halu dia tu." Samar aku masih mendengar ucapan Mas Harris
"Sudah sana kamu istirahat, besok barengan aja, sekalian cek kesehatan ke dokter, kalian berdua." Mama mendorong tubuh Harris. Aku meringkuk di balik selimut. Kuraih kain kompres di keningku. Tuh kan Mama begitu baik. Aku jatuh sebentar saja sudah di kompres. Kuletakkan kain tersebut di atas nakas, lalu kembali meringkuk.
***
Aku mencium sedapnya aroma pandan. Mataku mengerjap, kulihat di atas nakas ada nampan yang menampung mangkuk yang masih mengepulkan asap, dan segelas air putih. Pasti dari mangkuk itu aroma pandan ini, batinku.
"Sudah bangun, Na?" Mama masuk ke ruangan. Aku baru ingat kalau semalam aku tidur di kamar Mama.
"Jam berapa, Ma?" Tanyaku. Kepalaku masih terasa pening sekali. Kulihat Mama berpakaian sangat rapi.
"Jam delapan." Sahut Mama.
"Hah?" Hatiku merasa tidak enak. Aku belum pernah bangun sesiang ini selama tinggal di rumah ini.
"Kamu tidur saja. Mama mau keluar, ada janji sama pemilik rumah yang di Kampung Makassar." Ucap Mama. Itu adalah rumah yang akan Mama beli ke depannya.
"Helena pindah ke kamar sendiri saja, Ma." Kataku. Berusaha bangkit.
"Jangan dipaksa kalau masih pusing. Kamu tu dari semalam tidur juga ngigau mulu. Kamu beneran ngeliat vampir?" Tanya Mama. Tangannya sibuk memakai perhiasan.
"Entah, Ma." Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Sepertinya otakku yang memang sedang tidak waras. Aku terlalu berhalusinasi. Mana mungkin Mas Harris berubah jadi vampir. Bahkan Mama pun pasti akan menjadi saksi, kalau Mas Harris sama sekali tidak mendekatiku semalam. Aku hanya terbawa perasaan ketakutan.
"Nanti kalau kepala sudah tidak berat, kamu pergi ke dokter bareng Harris." Ucap Mama
What? Bareng pria bawel itu? Oh nooooo. "Iya, Ma." Sahutku. Dasar mulut dan hati gak sinkron! Aku merutuki diri sendiri.
Sebelum mama pergi, aku berpindah ke kamarku. Mama membawakan nampan berisi bubur kacang hijau dan air putih tadi. Aku masih keliyengan. Entahlah, sepertinya aku sakit. Padahal semalam aku berencana mau main ke kontrakan temanku di daerah Cililitan. Sekalian mau mengajak dia jalan-jalan di PGC (Pusat Grosir Cililitan). Aku malas di rumah ini tanpa Arsen, dan harus bertemu Mas Harris sepanjang weekend ini karena dia juga tidak ngantor. Aku berharap waktu akan cepat berlalu.
Di dalam kamar, aku langsung meraih ponselku. Kulihat ada beberapa miss call dari Mas Arsen. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa benci sekali membaca nama Arsen di ponselku. Kupikir, aku akan menghapusnya. Namun kemudian aku memilih klik "edit".
"Orang Asing" Begitu aku mengganti nama Arsen di daftar kontakku. Kuletakkan kembali ponselku. Berniat mencicipi bubur buatan Mama, namun tiba-tiba saja perutku terasa mual sekali. Aku langsung keluar kamar, berlari ke kamar mandi. Aku muntah-muntah di wastafel kamar mandi.
Setelah perutku terasa kosong dan lega, aku mendongak, mencuci tangan, seraya memperhatikan pantulan wajahku di cermin. Saat itulah aku melihat ada sosok lain yang melongo menatapku, sedang duduk di toilet!
"Sudah?" Tanyanya seraya melebarkan matanya menatapku. Kedua tangannya memegang koran yang ia letakkan di pangkuannya.
"Gila!" Umpatku seraya keluar dari kamar mandi. Dadaku berdegup kencang. Oh… Harrriiiis. Aku masuk ke kamarku kembali. Meremas rambutku dengan kesal.
"Bodoh!" Umpatku pada diri sendiri. Kenapa tadi tidak memperhatikan ada Mas Harris di kamar mandi. Main nyelonong saja.
"Ugh… Ini bukan salahku. Kenapa pulak dia tidak mengunci pintunya?" Aku berusaha menghibur diri.
Sambil menahan sakit kepala, aku meraih ponselku, memeriksa tas punggungku, membuka dompet. Setelah semua kurasa lengkap, aku segera mematut diri di depan cermin. Aku harus segera keluar rumah. Bulu kudukku kembali meremang menyadari kami hanya berdua di rumah saat ini. Harris bisa saja membunuhku jika aku tidak segera minggat, pikirku.
Dengan cepat aku melangkah. Mumpung Mas Harris belum keluar dari kamar mandi, pikirku. Pelan-pelan kubuka pintu depan.
"Mau ke mana?" Mas Harris keluar dari kamar mandi.
"Ada urusan." Sahutku gugup. Sial sekali!
"Mama bilang aku harus mengantarmu ke rumah sakit."
"Tidak perlu. Aku sibuk." Sahutku tanpa menoleh. Lagian mana percaya aku sama dia? Yakin dia gak akan membawaku ke hutan untuk dieksekusi?
"Mama bilang kamu hamil."
Deg!
Seketika tubuhku terasa membeku. Tanganku gemetar, kunci rumah di tanganku jatuh ke lantai. Pelan aku memutar tubuhku. Menatap nanar wajah Mas Iparku.
"A.. apa? Mas Harris bilang apa?" Aku tidak percaya. Suaraku gemetar. Sudah tiga tahun lebih pernikahan kami, aku seperti lupa pernah berharap bisa hamil, tetapi kabar ini, benarkah?
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. Kalimat itu mampu menggerakkan kakiku untuk kembali melangkah ke dalam, lalu duduk di kursi. Mataku berkaca-kaca. Entah ini perasaan apa. Antara rasa tidak percaya, harapan, juga keraguan.
"Ayo kuantar ke dokter," lanjut Mas Harris lagi. Entah kenapa, suaranya terdengar lembut dan dewasa kali ini. Padahal biasanya dia tidak akan pernah ada manis-manisnya setiap bicara denganku.
Tanpa menunggu jawabanku, pria itu memutar tubuh, melangkah ke kamarnya. Belum sampai di pintu kamar, dia kembali menoleh. Aku menatapnya waspada.
"Ganti pakaianmu. Aku begini tampan dan kekar, jangan sampai kamu menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!" Lalu tubuhnya lenyap di balik pintu kamar.
"Dasar breng…" Upz… aku tidak boleh mengumpat. Jika benar aku hamil, maka mulai sekarang aku harus menjaga ucapanku. Hatiku melunak. "Sabar, sabar, sabar."
—------