Setelah lama bergelut dengan komputer, keyboard, dan mouse, akhirnya Manika bisa meregangkan sedikit ototnya agar bisa kembali normal.
Setelah keluar dari ruangan Mikko, Manika langsung kembali pada pekerjaanya. Saat gadis itu sedang asyik melamun, tiba-tiba saja gawainya berdering menandakan ada telepon masuk.
“Ada apa, Mah?” tanya Manika dengan suara yang begitu ramah seperti biasanya.
“Mama, Papa, sama Adik kamu malam ini mau ke acara resmi. Kamu di rumah aja nggak usah ikut.”
Manika terdiam dengan gawai yang masih menempel pada telinganya. Hatinya hancur, dikucilkan keluargnya sendiri adalah hal terburuk yang pernah dia alami. Seharunya keluarga adalah tempat untuk bersandar, tetapi keluarganya berbeda.
Manika masih tetap mencoba tersenyum. “Iya Mah. Nanti Nika akan di rumah. Hati-hati di jalan.”
Gina menutup sambungan teleponnya tanpa persetujuan Manika.
Menjadi putri yang lahir pertama memanglah suatu tantangan yang begitu berat. Apalagi terlahir dengan berat badan yang berlebih, di tengah-tengah keluarga yang mempunyai tubuh yang normal.
100 kilo gram. Angka yang selalu Manika lihat jika dia sedang menimbang berat badannya. Dengan berat badan yang cukup besar memang bukan keinginannya. Rasa stress yang membuatnya semakin tidak bisa mengendalikan pola makan dan tidurnya.
Manika sering kali begadang dengan ditemani makanan tidak sehat seperti coklat, pizza, minuman bersoda, dan masih banyak makanan lainnya yang membuat berat badannya semakin bertambah besar.
Manika menghela napasnya pelan, kepalanya disandarkan pada sandaran kursi kerjanya. Dia menatap laci yang dia gunakan untuk menyimpan makanan. Lagi-lagi makanan itu telah tiada, siapa lagi pelakunya jika bukan Lewis.
Suara ketukan pintu membuat lamunan Manika terbuyarkan. Dia menegakkan tubuhnya dan membenarkan blazernya agar terlihat lebih rapih.
Manika menghela napansya kasar setelah tahu siapa pelaku yang mengetuk pintu ruangannya.
“Aku kira siapa,” ucap Maika lalu kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
Lewis duduk di depan Manika. Lelaki itu menatap lekat gadis dengan badan berlebih itu, rasa kagum sejak dulu masih ada di dalam dirinya jika menyangkut maslaah Manika.
Gadis dengan segala ketegaran hati yang luar biasa. Bisa tersenyum saat hatinya sedang hancur atau terluka. Dia adalah definisi gadis yang sangat pandai memainkan topeng kehidupan.
“Kenapa?” tanya Manika memecah keheningan.
“Pulang kerja nanti kita makan ya.”
Manika terdiam sejenak lalu dia menggeleng. “Maaf, keluargaku mau pergi.” Manika menatap Lewis dengan pandangan yang tidak enak hati.
“Kamu ikut?” tanya Lewis dengan sangat hati-hati.
Manika menggeleng dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya. “Enggak. Aku di rumah aja. Toh ada dan tidak adanya aku di acara itu pasti acaranya tetap akan berjalan dengan lancar ‘kan? Aku nggak mau semakin membuat keluargaku malu di depan umum.”
Lewis menatap iba gadis di depannya. “Ika, kamu harus bangkit. Kamu juga manusia yang layak untuk dihargai. Apalagi di tengah-tengah keluarga kamu sendiri”
Manika menatap Lewis begitu serius. “Memang lebih gampang berucap dari pada melakukan. Lewis, aku juga mau seperti yang lainnya, dianggap ada oleh lingkungan sekitar, apalagi di tengah-tengah keluarganya sendiri. Aku tidak tahu kenapa tubuh dengan berat badan yang berlebih bisa menjadikan seseorang itu tidak berharga di mata orang lain.”
Lewis menggengam tangan Manika penuh dengan kelembutan. Tatapannya memberikan dukungan semangat yang luar biasa.
“Kamu pasti bisa! Ika, kamu hanya butuh berjuang. Kurangi porsi makanmu, jangan terlalu stress.”
Manika menggeleng, air matanya memang ingin tumpah, tetapi rasanya sudah tidak bisa lagi mengalir. Beban hidupnya sedari kecil sungguh luar biasa beratnya. Di saat-saat masih berumur belia, dia harus mendapat cacian dan makian dari teman di sekitar.
“Kapan? semakin aku memaksakan diri, semakin stress juga aku. Kamu tahu gimana kalau aku sudah stress, semua makanan yang ada di depanku pasti habis!”
Manika mengusap wajahnya frustasi. Lelah dihadapkan dengan takdir yang tidak pernah berlaku adil kepadanya. Manika juga manusia biasa yang mempunyai batas kesabaran. Manika juga ingin dicintai, sama seperti manusia pada umumnya.
“Aku janji akan bantu kamu,” ucap Lewis penuh dengan keyakinan. Setiap tatapan yang dia berikan untuk Manika adalah sebuah janji.
“Bantu apa lagi? Lewis, sudahi semuanya. Kamu juga punya kehidupan yang lebih berharga daripada harus mengurusi kehidupanku yang tidak ada cahaya ini.”
“Kamu hanya butuh dorongan semangat dan aku akan memberikan sepenuhnya!”
Lagi-lagi di ruangan itu tercipta sebuah perdebatan yang hebat. Seperti biasanya, tidak pernah berubah. Namun, Manika senang jika ada yang memperhatikannya. Akan tetapi, Manika juga tidak enak hati karena menurutnya Lewis terlalu baik kepadanya.
Lewis yang melihat Manika bungkam pun menyerah. Lelaki itu beranjak dari duduknya.
“Sudahlah. Lebih baik aku kembali ke ruangan.” Lalu Lewis melenggang pergi dari ruangan Manika.
***
Sore hari pun telah tiba, seperti yang dia kata kan tadi siang kepada Gina, Manika langsung pulang dan benar saja rumahnya sudah kosong. Semuanya telah pergi.
Manika berjalan menuju lemari pendingin untuk mencari minuman segar agar bisa mengembalikan suasana hatinya. Kosong. Itulah yang tertama kali Manika lihat di dalam lemari pendingin itu. Gina segaja tidak mengisi lemari pendingin itu agar Manika tidak mengabiskan makanannya.
Manika tersenyum getir sembari menutup pintu lemari pendingin itu. Dia berjalan ke arah galon air yang berada di atas meja dapur. Manika menuangkan air itu ke dalam gelasnya, lalu menegaknya sampai tandas.
Manika merogoh tas jijingnya lalu mengambil benda pipih dari dalam sana. Jari jempolnya manari di atas layarnya. Lalu benda pipih itu dia tempelkan di dekat telinga.
“Mah, udah sampai belum?” tanyanya dengan nada yang begitu lembut.
“Udah baru aja. Oh iya, di lemari pendingin nggak ada makanan ‘kan? Kamu isi ya, semua makanan yang ada di dalam sana habis juga gara-gara kamu. Mama nggak mau rugi,” ujar Gina lagi-lagi begitu menohok perasaan Manika.
“Iya Mah, nanti Nika isi kok.”
Ketahuilah, yang menghabiskan isi lemari pendigin Gina bukanlah Manika, pada dasarnya Gina sendiri tidak pernah mengisinya dengan alasan berhemat.
Manika selalu saja membawa makanannya ke dalam kamar, janghan beranggapan dia pelit, tetapi jika keluarganya melihat maka dia akan menjadi bahan olok-olok mereka.
“Ya udah, Mama hati-hati ya di sana. Nika mau bersih-berih dulu terus ke supermarket,” ucap Manika. Setelah mendapat persetujuan dari Gina di sebrang sana, barulah Manika mematikan sambungan telepon itu.
Manika melempar benda pipih miliknya ke sembrang arah. Lelah terus-terusan dihadapkan dengan sutuasi yang tidak pernah adil kepadanya.
Setelah lelah termenung, barulah Manika pergi ke kamarnya untuk membersihkan tubuhnya dari debu dan keringat. Lalu setelah itu dia akan pergi ke supermarket terdekat untuk mengisi lemari pendingin sang mama.