"Apa kamu mau menjadi seorang penggoda?"
Suara Romeo pecah seperti petir yang menyambar malam yang tenang, namun ada getaran halus di balik nada kasarnya, sebuah rasa yang tak mampu ia sembunyikan sepenuhnya. Ia meraih tangan Maudy dengan kekuatan yang tak seharusnya ia tunjukkan, menariknya menjauh dari mobil Gavin, seakan tempat itu memancarkan bara api yang tak bisa ia padamkan.
Maudy menatapnya, api kemarahan yang menyala di matanya tak bisa ia tutupi. Setiap inci dari tubuhnya menegaskan bahwa ia bukan lagi perempuan yang akan tunduk pada kata-kata Romeo. Dulu, mungkin ia pernah peduli, mungkin ada saat-saat ketika ia berharap lebih dari lelaki itu. Tapi kini, di bawah langit yang mulai gelap, hanya ada perasaan beku di antara mereka. Ia mendekat, matanya menatap Romeo dengan penuh keberanian.
"Memangnya kenapa kalau aku jadi seorang perempuan penggoda? Itu bukan urusan kamu!" suaranya menggelegar, memotong udara seperti bilah tajam yang tak terbantahkan.
Namun Romeo tak tergerak. Wajahnya yang tegang mencerminkan campuran emosi—rindu, marah, dan kekhawatiran. Di balik kemarahannya, ada seutas rasa sakit yang tak ingin diakui, sebuah kerinduan yang diam-diam merayap di balik benteng ketegasan yang ia bangun. Tapi kata-kata berikutnya yang keluar dari mulutnya dingin seperti batu es yang tenggelam ke dasar sungai.
"Dia sudah punya tunangan, Maudy. Adira itu... dia sangat penting untuk perusahaan. Kamu tidak boleh mengganggu Gavin."
Kalimat itu menusuk tepat di jantung Maudy. Bukan karena cemburu, bukan karena Gavin, melainkan karena peringatan Romeo. Seakan-akan Romeo masih ingin mengendalikannya, menentukan langkah-langkahnya, mengikatnya dalam aturan tak terlihat yang selama ini Maudy benci. Gadis itu mendekat, matanya membelalak, menyala terang di bawah remang lampu jalan.
"Aku tidak mengganggu adikmu!" tegasnya, seraya mendorong d**a Romeo dengan seluruh tenaga yang tersisa dalam dirinya. Tapi Romeo, dengan segala ketenangan yang tak terduga, hanya menghela napas pelan. Tubuhnya bergeming, tak bergeser sedikitpun, seakan dorongan Maudy hanyalah sentuhan lembut angin musim panas.
"Lalu tadi itu apa?" Romeo mendesis, nadanya penuh curiga, namun juga sedikit kesakitan yang tak dapat ia sembunyikan.
"Tanyakan saja padanya!" Maudy menyentak, nada suaranya tajam seperti kaca yang pecah, membuat Romeo hanya bisa menatapnya dengan intensitas yang seakan mencoba menembus lapisan perasaan Maudy yang kini tertutup rapat. Maudy berbalik, meninggalkan lelaki itu, namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, Romeo dengan gerakan cepat menggenggam tangannya sekali lagi, menariknya agar kembali bertemu dengan tatapannya.
"APA!" Maudy membentak, namun Romeo hanya tersenyum samar. Ada sesuatu dalam senyum itu—sesuatu yang membuat Maudy muak, namun juga sedikit bingung. Ia memutar bola matanya, lalu berusaha melepaskan tangannya dengan lebih keras, namun gagal.
"Malah senyum... stres memang!" gumam Maudy, penuh sarkasme. Tanpa menunggu tanggapan lebih jauh, ia menarik tangannya kuat-kuat dan berhasil lepas, meninggalkan Romeo berdiri sendirian di tengah bayang malam yang semakin pekat.
Romeo masih saja menatap punggungnya yang langsing, melihatnya menjauh, hingga sosok itu hanya menjadi bayangan di ujung jalan. Hatinya terlipat dalam keheningan, dihantam oleh angin perasaan yang tak pernah bisa ia kendalikan, sebuah badai yang tak juga reda di dalam dirinya.
Setelah pertemuannya dengan Maudy yang berakhir penuh ketegangan, Romeo melangkah berat menuju rumah keluarga. Langkahnya terasa lamban, seolah tiap helaan napasnya membawa beban yang tak terlihat. Dan kini, ia duduk di ruang tamu, menatap Gavin yang tampak santai di hadapannya. Tapi di dalam diri Romeo, badai emosi bergemuruh, siap menghancurkan ketenangan yang rapuh.
"Tumben pulang?" Gavin mengangkat alis, nadanya setengah bercanda. Ia tahu betul bahwa Romeo lebih sering menghabiskan waktu di apartemennya yang sepi, jauh dari suasana rumah yang penuh kenangan.
Romeo hanya menatap Gavin dengan sorot mata tajam yang hampir membakar. Dadanya bergejolak, keinginan untuk meninju wajah adiknya muncul, menghantamnya dengan kenyataan bahwa Maudy, perempuan yang tak pernah hilang dari pikirannya, kini ada di orbit Gavin. Namun, ketika ia hendak membuka mulut, yang keluar hanyalah napas panjang yang menggantung di udara.
"Jangan bawa-bawa Maudy ke dalam masalah kamu," ujar Romeo akhirnya, suaranya pelan namun berat, seakan menahan sesuatu yang lebih besar di balik kata-katanya.
Gavin menatapnya sekilas, kemudian menjawab dengan tenang, "Aku hanya mengantarnya mencari ibunya. Kamu tahu kan, kalau Maudy itu anak broken home?"
Kata-kata itu menghantam Romeo seperti hantaman gelombang. Kedua tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ada begitu banyak yang tak ia ketahui tentang Maudy. Bagaimana mungkin setelah tiga tahun bersama, gadis itu masih memiliki sisi-sisi yang tersembunyi darinya? Rasa bersalah menancap di hatinya, menoreh luka baru.
"Apakah kalian menemukannya?" tanya Romeo dengan suara yang nyaris berbisik, pedih dan penuh sesak. Ada sesuatu di dalam dirinya yang retak, seakan setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin membebaninya.
Gavin menggeleng perlahan. "Tidak. Ibunya bilang tidak mengenali Maudy. Dan... karena itu aku enggak tega meninggalkannya sendirian."
Sejenak keheningan merengkuh ruangan itu. Gavin terdiam, seolah memikirkan sesuatu yang tak terucapkan. "Nelangsa banget, kan, hidupnya?" Gavin berbisik pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Romeo.
Romeo tetap diam. Di dalam kepalanya, pikirannya berputar tanpa henti. Seperti roda yang berderak di jalan yang kasar. Matanya terasa memanas, dadanya seakan dipenuhi dengan ribuan jarum yang menusuk dari dalam. Maudy, perempuan yang selama ini ia lukai, sedang menghadapi kepedihan yang jauh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. Dan di saat terburuknya, Romeo malah menjauh, menambah luka di hatinya.
Tanpa berkata apa-apa, Romeo bangkit dari sofa. Tubuhnya terasa berat, namun langkahnya tegas.
"Mau ke mana?" Gavin bertanya, kebingungan melihat kakaknya yang tiba-tiba berdiri.
"Ke apartemen," jawab Romeo singkat, nada suaranya datar tapi menyimpan begitu banyak hal yang tak ia ucapkan.
Gavin terdiam sejenak, ragu. "Itu..." Suaranya menggantung di udara, seolah ada sesuatu yang ia pikirkan namun tak berani langsung ia utarakan.
"Apa?" Romeo berhenti sejenak, memutar tubuhnya dan menatap Gavin dengan sorot mata yang kini penuh dengan pertanyaan.
Gavin mendekat, menatap kakaknya dengan tatapan serius yang jarang terlihat di wajahnya. "Kamu enggak... kamu enggak sedang tertarik sama dia, kan?" tanyanya, perlahan namun jelas.
"Siapa?" balas Romeo, meski di dalam hatinya ia tahu ke mana arah pertanyaan itu.
"Maudy," ucap Gavin dengan tenang, namun ada nada waspada di baliknya.
Romeo terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke arah Gavin. Tapi yang terlihat di balik sorot matanya adalah kerumitan perasaan yang tak bisa ia bagi begitu saja. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan, lebih dalam dari sekadar perhatian biasa. Ia tak menjawab. Sebuah keheningan berat menyelimuti mereka berdua.