Bunuh rasa takutmu, dengan secuil keberanian yang kau miliki. Agar kau tau, bahwa tak ada yang menakutkan di dunia ini terkecuali rasa takutmu sendiri.
***
"Ajari aku membunuh!"
Pria itu tetap menampilkan wajah datarnya setelah mendengar perkataan gadis yang mengikutinya. Tanpa merespon perkataan sang gadis, pria itu kini melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar mandi pria yang saat ini ditempatinya.
Melihat respon datar dari pria misterius itu, akhirnya membuat gadis yang bernama Mia tersebut memutuskan untuk tetap mengikuti kepergian pria itu. Pria itu terus melangkahkan kakinya menuju ke arah belakang sekolah, dimana disana terdapat begitu banyak dedaunan kering yang tidak pernah dibersihkan dan memang jarang dikunjungi para siswa karena tidak terawat.
Setelah tiba disana, tampak pria tersebut memasukkan seragamnya yang terdapat banyak noda darah ke dalam tong sampah sebelum kemudian menyiramkan sedikit air dan menyalakan pemantik api ke dalam tong sampah tersebut.
"Apa kau mencoba menghilangkan barang bukti?"
"Menurutmu..., Mia?"
Pria tersebut melirik Mia sekilas sebelum kembali mengarahkan pandangan matanya pada kobaran api dalam tong sampah di hadapannya.
"Dari mana kau tau namaku?"
"Bukan hal yang sulit. Jangan kira aku tidak tau kalau kau mengikutiku selama beberapa hari ke belakang."
Gadis yang bernama Sclamia Robert Hands tersebut sedikit tersentak ketika pria itu telah mengetahui bahwa dirinya telah menjadi penguntit pria di hadapannya kini selama beberapa hari belakangan ini.
"Lantas siapa namamu?"
"Bara."
"Hanya Bara?"
"Ambara Druchliez."
"Lalu, apa kau mau mengajariku?"
Dengan kukuh Mia masih mencoba mencari jawaban dari permintaannya tadi. Ia masih merasa belum puas jika tidak mendapatkan jawaban langsung dari mulut datar Bara.
Pria bernama Bara tersebut hanya menoleh sekilas pada Mia dengan seringai misterius yang tersungging di sudut bibirnya, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Mia di halaman belakang sekolah tanpa sebuah jawaban yang pasti. Membuat Mia menerka-nerka dalam pikirannya mengenai maksud dari seringai yang ditunjukkan Bara padanya.
***
Bel pulang sekolah telah berbunyi dengan nyaring, dengan langkah lesu Mia berjalan keluar dari kelasnya guna menemui Bara. Mia terus berjalan menelusuri lorong sekolah yang perlahan mulai sepi, tapi ia sama sekali tidak menemukan sosok yang dicarinya.
Bara, pria tersebut terlalu misterius untuk diketahui seluk beluknya. Membuat Mia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk berjalan pulang ke rumahnya.
Mia melangkahkan kakinya dengan enggan ketika ia melewati beberapa gang sempit yang merupakan jalan pintas untuk lebih cepat tiba di rumahnya. Ia memang dengan sengaja berjalan kaki, karena ia begitu malas jika harus pulang pergi dengan diantar oleh supir keluarganya. Karena ia memang tidak membutuhkannya. Untuk apa semua harta dan materi yang dimilikinya saat ini, jika pada kenyataannya ia hanya seorang anak yang tak diinginkan oleh siapa pun.
Anak haram! Cih, sebutan paling menjijikkan yang sayangnya harus melekat pada dirinya. Menggelikan!
Jalanan pada gang yang dilewati Mia kini tampak sedikit meremang, karena memang faktor pencahayaan yang minim dan awan mendung tebal yang seakan ingin segera menumpahkan airnya. Mia tetap berjalan dengan tenang, ia seolah tak mempermasalahkan jika sewaktu-waktu hujan akan segera turun dan membasahi tubuhnya.
Langkah kakinya tenang dan pandangan matanya datar menatap lurus ke depan. Hingga pada akhirnya langkah kakinya terhenti karena sebuah tepukan keras dipundaknya.
Mia tetap terdiam dengan pandangan datar, ia mengetahui bahwa saat ini alarm tanda bahaya tengah berdering keras di kepalanya. Tapi ia tetap berusaha mengontrol emosinya agar tetap datar tak terbaca.
"Hei gadis manis, sendirian?"
Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Mia, ia tetap diam tak menghiraukan pertanyaan preman yang kini menghadangnya.
"Tidak mau menjawab heh? Atau jangan-jangan kau bisu? Hahaha.."
Suara tawa yang cukup melengking itu seolah semakin menegaskan pada alarm bawah sadar Mia bahwa saat ini ia benar-benar dalam keadaan bahaya.
'Apa yang harus kulakukan?'
Disaat Mia tengah berusaha memutar otak untuk bisa kabur dan berusaha melarikan diri dari ketiga preman yang tengah menghadangnya kini, tiba-tiba saja kini tubuhnya telah dengan keras dibalikkan oleh salah satu preman berkulit hitam yang diperkirakan Mia berumur sekitar 40 tahunan.
Dengan tatapan mata datarnya Mia kini menatap tepat pada kedua mata preman yang baru saja menariknya tadi. Sebisa mungkin Mia menekan rasa takutnya dan balik menatap ketiga preman di hadapannya dengan tatapan penuh intimidasi.
Ketiga preman yang ditatap dengan tatapan penuh intimidasi oleh Mia tersebut sontak menaikkan sebelah alis mereka sebelum pada akhirnya saling berpandangan satu sama lain dan pada akhirnya tertawa kencang.
"Wow.. wow.. wow... santai adik manis, apa kau berusaha mengintimidasi kami? Hahaha.. sayangnya itu tidak berarti bagi kami."
Hanya diam, itu yang dilakukannya. Entah apa yang akan menimpanya setelah ini, Mia tetap tidak akan memelas pada mereka agar melepaskannya atau bahkan sampai menangis. Itu sama sekali bukan prinsipnya.
Karena prinsipnya hanya satu, jangan sampai menunjukkan ketakutanmu di depan orang lain apa pun risikonya. Apa lagi dalam kondisi darurat seperti saat ini. Karena dengan menunjukkan ketakutanmu, maka akan semakin menunjukkan betapa lemahnya dirimu sebagai manusia.
Salah satu preman yang berkulit hitam tadi kini mulai mendekatinya dan mencolek dagunya, membuat Mia memalingkan wajahnya dengan kedua ruas gigi yang menekan.
Mia paling benci jika ada seseorang yang menyentuhnya. Dan baru satu langkah Mia hendak melangkah mundur, kini kedua tangannya dengan mudah telah diringkus oleh salah satu preman di belakangnya.
"Mau kabur kemana gadis manis, bukankah lebih baik jika kita bermain terlebih dahulu.."
Salah satu preman berkulit kecoklatan mulai mendekat dan hendak mencium Mia, tapi dengan cepat Mia menolehkan kepalanya ke samping sehingga preman tersebut urung menciumnya. Tatapan marah pria tersebut mulai terlihat, dengan sekali sentakan ia langsung mencengkeram rahang Mia dengan kuat hingga Mia dapat merasakan bahwa rahangnya akan remuk seketika.
"Mencoba memberontak gadis kecil? KAU PIKIR KAU BISA HAHHH!" Preman tersebut semakin kuat mencengkeram rahang Mia, membuat Mia mati-matian menahan rasa sakit yang teramat sangat pada rahangnya.
"Cuihh!"
Tatapan mata tajam dan membunuh seketika dilayangkan preman tersebut ketika dengan tanpa rasa takutnya Mia meludah tepat di wajah preman yang kembali hendak menciumnya tadi.
"b*****t!!! KAU MAU CARI MATI HAHHH!"
PLAKKK
Suara gema tamparan yang cukup keras seakan menjadi melodi pengiring saat perlahan rintik-rintik hujan turun menghempas jalanan bersemen dengan cukup kuat.
"Cuihh!"
Untuk kali kedua Mia kembali meludah, tapi kali ini disertai dengan darah yang ikut serta keluar dari sudut bibirnya yang robek.
"Ringkus dan pegangi kedua tangannya!" Seketika masing-masing preman di samping kanan kirinya mencekal kedua tangannya dengan kuat.
Mia tetap berusaha merilekskan tubuhnya dengan mata yang menyorot ke sekitarnya untuk menemukan celah baginya kabur dari tempat ini.
Dan tak lama kemudian tatapan matanya menyipit saat secara tak sengaja ia melihat sebilah pisau lipat yang terselip di pinggang preman berkulit coklat di depannya.
Kaki Mia agak terseret saat kedua preman bertubuh besar yang memegang erat kedua tangannya menyeretnya dengan paksa agar memasuki sebuah ruangan yang layaknya sebuah gudang tak terawat.
Setelah berhasil menyeret tubuh Mia secara paksa, kedua preman tersebut langsung menghempaskan tubuh Mia dengan keras hingga menghantam tembok di belakangnya dan membuat tubuh Mia seketika meluruh jatuh menahan rasa sakit di tubuhnya.
Dan tanpa diduga saat itu juga preman berkulit coklat seketika langsung menunduk mencengkeram rahang Mia dengan kuat dan seketika merobek dengan paksa seragam yang masih melekat di tubuh Mia.
"F**k!!!" Ucap Mia tertahan akibat cengkeraman preman sialan itu yang semakin menguat dirahangnya.
Saat preman itu hendak kembali menyentuh tubuhnya, dengan secepat kilat Mia menggerakkan kakinya untuk menendang tulang kering preman tersebut dan menggunakan lututnya untuk melumpuhkan aset preman b******n di depannya.
"AAARGGHHH GADIS SIALAN, KENAPA KALIAN BERDUA DIAM SAJA!!! CEPAT HABISI GADIS ITU!!!"
Merasa sedang terancam, dengan secepat kilat Mia langsung mengambil sebilah pisau yang terselip di pinggang preman yang telah dilumpuhkannya tadi. Dan tapa aba-aba Mia segera menancapkan pisau tersebut tepat di perut preman kurang ajar yang berani menyentuhnya.
Perlahan cairan merah kental mulai merembes disertai teriakan kesakitan yang keluar dari preman yang mulai kehabisan darah tersebut. Tapi entah mengapa, bukannya merasa takut justru Mia malah merasakan perasaan lain dalam dirinya.
Kedua tangan Mia kini telah dilumuri oleh cairan merah kental disertai dengan bau amis yang membuat Mia perlahan menghirup cairan amis tersebut dengan dalam.
Baru saja Mia hendak mencabut pisau yang masih menancap di tubuh preman yang telah terkulai lemas tersebut. Tapi lagi-lagi keinginannya gagal akibat ulah kedua preman yang masih tersisa kini tengah mencekal kedua tangannya dengan erat.
"Gadis ini cukup berbahaya bagi kita, lebih baik kita melenyapkannya!" Ujar salah satu preman yang memegangi kedua tangannya erat sebelum akhirnya mengikat kedua tangan dan kaki Mia dengan tali tambang dengan cukup kuat.
"Tutupi kepalanya dengan karung." Sementara Mia hanya diam saja diperlakukan semena-mena oleh kedua preman yang mengikatnya dengan kuat, karena ia tau pemberontakannya hanya akan sia-sia.
"Selanjutnya apa yang akan kita lakukan?"
"Bagaimana jika kita bermain-main dulu dengan tubuhnya? Setelah itu baru kita menghabisinya."
Tampak kedua preman tersebut menyeringai keji sebelum memandang tubuh Mia yang telah terikat pasrah.