"Jadi, apa rencanamu?"
"Mungkin aku akan menjual rumah ini, dan pindah ke Bandung. Tinggal bersama Bibi Endah, dan jadi pemetik daun teh." Jawabku tidak yakin. Tapi itu bukan ide yang buruk.
Aku belum punya rencana apa-apa selain pergi ke show room untuk menjual mobilku. Mantan karyawanku memang tidak menagih apa-apa, mereka begitu sangat pengertian dengan masalahku. Tapi aku merasa tidak enak. Walau bagaimana pun, mereka pasti membutuhkannya. Dan juga, aku ingin segera pulang ke Bandung. Meninggalkan sejuta kenangan yang ada di sini.
***
Selanjutnya, aku menghubungi bang Arsen guna membicarakan pembangunan cabang Read Eat di Bogor. Sepertinya proyek itu tidak bisa aku lanjutkan kembali. Sebagian uang yang akan digunakan untuk pembangunan Read Eat sudah terpakai untuk biaya operasional dan membayar tagihan bahan-bahan makanan untuk restauran kepada supplier.
"Sayang sekali, An." Bang Arsen mematik korek apinya lalu mulai menyalakan rokok.
"Mau bagaimana lagi, aku sudah bangkrut. Bahkan untuk membayar gaji karyawan, aku harus menjual mobil."
Aku memandang ke luar jendela coffee beer menatap mobilku yang terparkir di sana. Sebentar lagi, aku akan melepasnya pergi. Aku menatap penuh kekosongan cup minumanku, kembali menghela napas berat.
"Sebenarnya, kau bisa mendapatkan restauranmu kembali, kalau kau bisa menemukan Vivi."
Aku menggeleng lemah. "Vivi sudah jauh pergi, tidak ada yang bisa aku lakukan selain pasrah. Lagi pula penagih hutang itu ingin dibayar. Jadi, percuma kalau tidak ada uang."
Bang Arsen manggut-manggut tidak lagi mendebat. Aku juga tidak sedang ingin membicarakan masalah utang piutang dengan si klimis. Kalau pun mau di bawa ke pengadilan, paling ujung-ujung nya diminta diselesaikan secara kekeluargaan. Read Eat pun tidak bisa kembali padaku.
Sekarang yang ingin aku lakukan adalah segera menjual mobil, melunasi p********n gaji pada karyawan, lalu pergi dari Jakarta. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan di sini. Semua yang ada di Jakarta tak lagi tersisa.
Rencana pernikahan impian kini tinggal mimpi, rencana membuka cabang Read Eat kini juga tinggal angan-angan. Dan, rencana aku untuk mengatakan perasaanku pada Abi hanya bisa aku simpan rapat-rapat dalam hati. Pria itu juga sepertinya tidak ingin lagi menemuiku. Dia pasti sudah menemuiku kalau perasaan yang dia ungkapkan padaku itu benar. Tapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Bahkan aku juga sudah tidak menjadi baby sitter Rey.
Dia sudah memutus kontrak kerja secara sepihak. Ku rasa ini tidak adil.
Hidup memang selalu tidak adil.
"Kau dengan Ben, kenapa bisa putus? Padahal kalian pasangan serasi."
Hanya dia yang mengatakan aku dan Ben serasi. Mungkin hanya membual untuk basa-basi. Aku mengangkat kedua bahu singkat, merasa tidak tertarik dengan pembahasan ini.
"Kami sama saja seperti pasangan pada umumnya, yang kisah cintanya bisa kandas kapan saja."
Bang Arsen menyunggingkan ujung bibirnya. Seakan sedang mengejekku. Atau mungkin tidak. Aku memang sedang sensitif saja akhir-akhir ini. Merasa dunia dan seisinya sedang berlomba menertawakanku. Saat mataku bertumpu pada segerombol anak remaja yang berjalan menyusuri trotoar, saling melempar tawa satu sama lain, lalu kasak kusuk heboh ketika ada cowok cakep lewat. Mereka dan tingkahnya sontak mengingatkanku pada Fay, Nessa, Naya dan Sha. Oh, aku merindukan mereka.
Seberapa jauh aku menyakiti mereka dengan kata-kataku. Otaku ku memang tidak bisa berfungsi dengan baik jika sedang panik.
Aku dikejutkan dengan cairan kopi yang mengenai baju serta wajahku. Bang Arsen entah kenapa tersedak dan menyemburkan kopinya. Sialan.
"Bang! Kau ini apa-apan, sih!"
"Se.. See.. Sera?!"
Kepalaku reflek mendongak dengan cepat. Jantungku kemudian berdenyut nyeri. Aku melihat Sera sedang tersenyum manis (aku tidak suka melihat kenyataan ini), Abi juga ada di sana, berdiri menatapku. Aku tidak bisa mengartikan arti tatapannya padaku. Dan bang Arsen. Ya Tuhan. Si cover boy ini menumpahkan kopinya ke segala arah. Termasuk wajahnya yang belepotan.
"Nih, bersihkan wajahmu. Kau ini seperti sedang melihat hantu saja." Aku menekan kata 'Hantu' di sana. Mendelik sekilas pada Sera, lalu membantu bang Arsen membersihkan wajah dan bajunya yang terkena kopi. Wajahku juga. Dibersihkan dengan hati-hati, takut make up ku luntur.
"Hai," Sera menarik kursi lalu duduk, diikuti dengan Abi yang duduk disebelah Sera. Mendadak keadaan kafe ini menjadi sunyi. Padahal musik sedang diputar. Tidak tahu kenapa aku jadi tuli.
"Kau.. Bagaimana bisa." Bang Arsen menyentuh tangan, rambut dan wajah Sera. "Kau bukan kembaran Sera, kan?"
"Arsen," Sera menurunkan kedua tangan bang Arsen. "Aku memang Sera." Lalu dia mendesah. "Ada apa sih dengan kalian? Aku hanya menyuruh Abi berbohong sedikit, tapi ternyata dia mengarang cerita terlalu banyak."
"Kalian?" tanya Bang Arsen bingung.
"Aku sudah bertemu Ben." Ujar Sera menjelaskan. Lalu pandangan bang Arsen beralih padaku. Pandangan mengiba kalau aku artikan.
"Ku rasa perjuanganku bertahun-tahun untuk Ben, harus kandas." Sera mengalihkan pandangannya padaku. "Ben, sudah menemukan belahan jiwanya. Im sorry, Ana, aku tidak tahu kalau Ben menikah denganmu. Kalau aku tahu, aku tidak perlu kembali."
Kedua mataku membulat lebar. Dia pasti tidak tahu kalau aku dan Ben batal menikah.
"Aku.. Aku tidak.."
"Tidak apa-apa Ana, aku baik-baik saja. Setidaknya ada yang lebih berharga dari Ben." Sera kemudian melihat Abi yang masih duduk di sana tanpa kata. Lalu dia menyentuh tangan Abi membuat aku megap-megap.
"Tapi, aku dan Ben tidak.. "
"It's okay, Ana," Sera mengunci kalimatku dengan tatapannya. "Jangan merasa bersalah." dia tersenyum kembali. "Aku bisa memulai kembali dari awal dengan keluargaku sebelumnya. Dengan anakku, dan juga," dia diam sejenak sebelum dia melanjutkan. "Suamiku."
Aku menjatuhkan cup minumanku ke lantai. Isinya mengenai kaki Sera. Aku panik. Sera juga, langsung bangkit berdiri. Abi dan bang Arsen menatapku aneh. Kenapa sih?
"Ana, kau menangis?"
"Apa?" Tanganku mengusap pipiku dengan cepat. Sejak kapan air mata sialan ini keluar. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya. "Maaf, aku tidak sengaja menumpahkannya. Kakimu kotor."
Aku berusaha menggapai kaki Sera yang mulus, tapi dia menahannya. Ku lihat tangan Bang Arsen terangkat ke atas kemudian seorang pelayan datang dengan membawa alat pel lantai.
"Tidak apa-apa, Ana."
"Biar saya yang bersihkan." Ucap pelayan itu tiba-tiba. Aku gelagapan menahan sesuatu yang menyelak ingin keluar. Kepalaku terangkat ke atas lalu menggaruk pelipis.
"Aku bantu." Ucapku sambil merebut kayu pel lantai yang sedang dipegang pelayan itu.
"Tidak usah, Mbak."
"Tidak apa-apa, aku saja."
"Biar saya saja." Pelayan itu berbicara sedikit keras.
"Oke." Aku menarik diri, berdiri di atas kakiku yang mulai lunglai. Aku butuh topangan, tapi tidak bisa. Tidak ada yang bisa aku jadikan penahan.
Jadi, aku memutuskan untuk menyambar tasku di kursi, lalu pergi dari sana tanpa pamit. Mereka pasti menganggapku aneh. Pria itu, yang aku tunggu kehadirannya kenapa tidak bicara apapun. Mendadak jadi gagu. Menyebalkan.
Suamiku? Hah! Seharusnya tadi aku lempar saja minumannya ke wajah Abi. Dia tidak jauh berbeda dengan Ben, dan juga Arsenio. Mereka bertiga memang pas jadi sahabat.