Di sinilah kami berada. Di ruang baca pribadiku yang penuh dengan buku-buku koleksiku. Abi sepertinya kagum dengan tempat ini, karena semenjak dia masuk ke dalam private zone, matanya tidak lepas meneliti setiap sudut ruangan.
"Sudah puas mengagumi tempatku?"
Abi memusatkan pandangannya padaku.
"Ini ruangan apa?" Tanyanya kemudian. Abi duduk di bangku panjang yang di cat putih dengan posisi membelakangi jendela. Tempat favoritku jika sedang membaca.
"Seperti yang kubilang tadi. Private zone. Ruang baca pribadiku. Kenapa?" Aku mengikutinya duduk di sampingnya.
"Luar biasa." Desisnya. "Aku selalu ingin memiliki tempat seperti ini. Terutama rak-rak buku yang berjejer rapi. Banyak buku-bukuku yang kutaruh di kardus karena tidak cukup jika disimpan di meja kerja. Bisakah aku menitipkan sebagian bukuku di sini?"
Abi menolehkan kepalanya padaku. Matanya yang dibingkai oleh kacamata frame coklat selalu mengganggu.
"Boleh tidak? Hm?" Suaranya kenapa berubah jadi lembut begini. Aku mendadak gelagapan. Mungkin Fay agak sedikit benar bahwa Abi lebih ganteng dari Ben. Ya Allah An, tidak boleh punya pikiran licik seperti itu. Aku mengusap wajahku lalu berdiri. Berusaha menghindari tatapan matanya.
"Eemm.. boleh saja, jika masih ada ruang kosong di rak ini."
Jawabku sambil berkeliling mencari ruang kosong di semua rak buku milikku.
"Jadi, apa yang ingin kau jelaskan padaku?"
Abi berjalan ke arah kursi panjang yang membelakangi jendela kemudian duduk disana. Sementara aku mengekor.
"Aku ingin menjelaskan kejadian tadi pagi." Katanya. Suaranya serak yang langsung disamarkan oleh dehaman. "Aku minta maaf karena telah melibatkanmu dalam masalahku. Aku benar-benar minta maaf." Kemana perginya Abi yang menyebalkan. "Dan soal ucapanku tadi pagi, itu hanya semacam sandiwara agar Viona tidak terus-menerus mengejarku."
Aku kaget dibuatnya. Jadi dia tidak sungguh-sungguh mengatakan ingin menikahiku. Kakiku tanpa diperintah bergerak untuk duduk di bangku panjang dengan terburu-buru mengikutinya yang sudah duduk di sana.
"Sandiwara?" Aku tidak tahu harus kecewa atau marah. "Jadi yang kau katakan itu tidak benar?"
"Jangan katakan kau menganggap hal ini serius." Katanya was-was. Aku menenggelamkan wajahku ke kedua telapak tangan. "An," Abi mengguncang bahuku. Tapi aku bergeming. Malu rasanya jika diketahui bahwa aku menganggap hal ini serius. Apalagi jika dia tahu kalau aku percaya diri.
"Maksudmu, apa?" Aku yakin wajahku sudah terlihat memprihatinkan.
"Hanya reflek." Kedua bahunya terangkat keatas. "Karena pada saat itu hanya kau yang aku kenal disana. Aku kalap An, aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Viona. Jadi, ku kira dia akan berhenti jika dia tahu kalau aku akan menikah dengan wanita pilihanku."
"Tapi kau tidak berniat melanjutkan sandiwara ini, 'kan?" Ucapku meyakinkan.
"Tergantung."
"Maksudnya?!"
"Tergantung Viona masih ngotot atau tidak. Paling tidak efeknya akan bekerja selama beberapa bulan kedepan."
"Jika wanita itu masih mengejarmu?"
"Tentu saja kau harus menolongku menyelamatkan diriku dari Viona."
"Kau kira aku sudi?!" Dia benar-benar kehilangan akal sehatnya. "Aku tidak mau terlibat dalam hal konyol seperti ini. Kenapa tidak kau hadapi saja secara jantan, atau nikahi saja sekalian. Wanita itu kan tidak jelek."
"Aku tidak pernah berhubungan dengan seorang wanita tanpa melibatkan perasaan."
"Idiihh masih jaman?" Mataku mendelik padanya. "Bukankah para pria bisa saja meniduri setiap wanita tanpa adanya cinta?"
"Kau berpikir terlalu jauh, Ana. Dan aku bukan pria seperti itu." Dia menggoyang-goyangkan telunjuknya di depan wajahku. "Seperti Arsenio kalau kau tidak mengerti."
Aku berdecak kesal lalu melipat kedua tangan.
"Kau sudah terlanjur terlibat, An. Jadi mau tidak mau kau harus jadi calon istriku."
"Hah?!"
Pria ini benar-benar minta dimutilasi. Bagaimana bisa aku jadi calon istrinya. Sinting.
"Hanya sandiwara." Katanya. Masih terlihat tenang seperti ini bukan masalah besar.
"Big no!" Aku menekan nada suaraku. "Aku sudah punya tunangan. Ben, namanya." Aku tahu memberitahu nama tunanganku bukan urusannya, tapi aku ingin melakukannya.
"Ben?" Dia mengulang sambil memiringkan kepalanya aneh seperti Ben, adalah bahasa asing yang tidak diketahui artinya.
"Iya, Ben," sahutku, seolah aku sedang memberi penjelasan arti dari kata Ben. "So, aku tidak ingin membuat tunanganku salah paham dengan sandiwara murahanmu ini. Aku tidak ingin menjadi calon istri pura-puramu, apalagi sampai berakhir konyol dengan menikah paksa denganmu."
"Berlebihan." Abi tertawa meremehkan. "Kita tidak akan sampai menikah. Aku sudah bilang, aku tidak akan berhubungan dengan wanita tanpa melibatkan perasaan."
"Oh ya, aku tahu itu. Tapi kurasa orang tuamu tidak akan tinggal diam jika mendengar kabar ini."
"Orang tuaku tidak akan memaksaku menikah. Mereka tidak sekolot itu."
"Wanita itu bilang, orang tuamu memaksamu menikah dengannya?"
"Jangan pernah percaya dengan apapun yang keluar dari mulutnya."
Aku terdiam sejenak. Berpikir dalam-dalam tapi tidak menemukan titik cerah apapun.
"Aku tetap tidak mau." Kataku pada akhirnya.
"Aku juga tidak memaksa. Tapi kau tidak bisa lari ke mana-mana karena kau sudah terlanjur terlibat. Tapi," Abi menggantungkan kalimatnya dan aku penasaran. "Jika dia tidak menggangguku kau aman."
"Apa wanita itu sejenis serangga yang suka mengganggu." Mulutku mendumel kesal mengingat apa yang sudah dilakukan wanita diskon 70% itu padaku.
"Dia pengacau ketenangan hidup seseorang."
Ucapnya penuh kebencian. Aku tahu itu dari nada suaranya yang menggeram dan bisa kulihat rahangnya terkatup.
"Ya, kau benar. Wanita diskon 70% itu memang menghancurkan hidup seseorang!"
"Diskon 70%?"
"Sudahlah lupakan." Aku mengibaskan tanganku. "Terlalu menyakitkan jika diceritakan."
Tidak ada yang bicara lagi diantara kami berdua. Seakan-akan suara kami diambil paksa dan jadi bisu. Diam-diam aku berdoa pada Tuhan agar wanita 70% itu tidak sampai mengganggu hidup Abi lagi. Bukan karena aku baik mendoakan pria itu, tapi jika sampai Abi kena masalah lagi dengan wanita itu, aku juga pasti rerlibat. Tidak.
"Kalau begitu, kita turun ke bawah."
Abi bangkit berdiri tapi aku menahannya.
"Pak Abi." Pria itu berbalik dan memasukan kedua tangannya ke saku celananya. Aku harus menanyakan ini langsung pada Abi kalau aku tidak ingin terus memikirkannya hingga kepalaku sakit.
"Eemmm memangnya wanita itu dan juga wanita bernama Sera, siapa?"
Mendadak Abi menegakkan tubuhnya. "Viona temanku sejak SMA." Katanya datar tanpa ekspresi. "Sedangkan Sera," Abi menghela napas panjang. Lalu tiba-tiba dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata. "Hanya masa laluku."
Kemudian, Abi berbalik menuju pintu, menggantung jawabannya tanpa penjelasan apapun. Masa lalu? Atau jangan-jangan Sera adalah ibunya Rey.
"Pak Abi."
Pria itu berhenti di ambang pintu. Aku ini kenapa sih.
"Ya."
"Rey..." ucapku hati-hati. "Kenapa Rey tidak tahu ibunya siapa?"
Bisa kulihat tubuh Abi menegang di tempat seperti patung. Kilatan matanya berubah menggelap. Entah apa yang di pikirkannya saat ini, yang jelas raut wajahnya berubah ketika dia mendengar nama Sera.
"Jangan bicara apapaun tentang seorang ibu pada Rey."
Ucapnya tajam lebih kepada perintah. Kemudian pergi keluar private zone meninggalkanku dengan rasa penasaran yang menggelayut di otak. Begitu pintu tertutup dengan mengeluarkan bunyi debuman karena dibanting terlalu keras, disitu pula aku sadar bahwa ada kesakitan dari sorot matanya yang meredup. Dan entah kenapa aku mengkhawatirkan hal itu.