Inhale, exhale

1164 Kata
Aku menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Berusaha mengontrol diriku untuk tetap tenang. Harus aku lakukan, demi Rey. Aku menekan kenop pintu kamar mandi, lalu mendapati Abi duduk di sisi ranjang Rey. Kulihat Rey sudah tertidur. Ini sudah pukul 10 malam. Memang jamnya untuk dia tidur. Aku duduk di sofa, membuka kembali minuman s**u kurma yang aku dapat dari Fay. Abi bergerak, menolah padaku, lalu beranjak dari kursinya. Dan duduk di sampingku. Padahal sudah sekuat tenaga aku berusaha mencoba untuk menahan segalanya di dalam d**a. Tapi, saat aku melihatnya dengan jarak satu jengkal dariku, aku luluh lantak. Sesuatu yang coba aku tahan akhirnya luruh juga. "Ke mana saja kau?" belum apa-apa pipiku sudah basah. "Aku menelpon Nessa, tapi dia bilang kau cuti hari ini. Tapi kenapa kau dari rumah berangkat kerja?" Matanya berlarian ke mana-mana, dia tidak menatap wajahku. Pandangannya jatuh ke lantai entah sedang mencari apa. Aku tahu, dia sedang mencari alasan. Tapi alasan apapun yang akan dia keluarkan, tidak akan aku percayai. "Kenapa kau mengatakan, kalau kau sedang meeting?" aku berusaha sekuat tenaga menjaga nada bicara ku agar tidak membangunkan Rey yang sedang tidur. "Kau tidak tahu, kan. Bagaimana ketakutannya aku melihat Rey babak belur dipukuli temannya, lalu harus menjalani operasi patah tulang, dan dia tadi histeris karena mungkin obat biusnya tak lagi berfungsi." "Aku sangat tidak mengerti padamu, sekarang, Bi. Apa yang sedang kau sembunyikan? apa yang sedang kau lakukan di luar sana? hah?" Aku yakin, mataku pasti sudah memerah. Karena air mataku tidak berhenti untuk keluar. Aku harus berkali-kali membersit hidungku. Napasku naik turun tidak beraturan. Tapi, dia masih diam tercenung menatap lantai. "Ya, pagi tadi aku memang pergi ke kantor. Tapi saat aku sampai kantor, aku langsung dapat telepon dari kantor cabang untuk meeting." "Kenapa Nessa bilang, kau ambil cuti?" "Aku tidak tahu, kenapa Nessa bilang begitu. Mungkin karena dia tidak melihatku sejak pagi. Karena ketika aku berangkat, Nessa belum ada di kantor." Aku tertawa kecil, tapi masih sambil terisak. Kemudian memalingkan wajah, dengan menutup mulutku dengan sebelah tangan. Kemudian membersit hidungku lagi. "Kau pikir aku percaya?" aku menyunggingkan ujung bibirku. Menatapnya dengan tatapan nyalang. "Kau harus percaya." Katanya ngotot. "Kenapa harus?" tanyaku dengan nada menantang. "Agar kau bisa membohongiku lagi?" Abi menatapku. Lalu memutar bola mata. Dia tampak kesal, tapi bercampur rasa bersalah. Dia hanya terlalu gengsi untuk mengakui. Dia bohong atau tidak, seharusnya begitu dia datang, dia meminta maaf pada kami, karena telah menunggunya terlalu lama. Karena telah tidak bisa menemani kami, disaat-saat sulit tadi siang. Dia justru muncul mencari pembelaan. "Sudah berapa banyak kau berbohong padaku?" "Berbohong apa, An?" katanya jengah. Dia nyaris putus asa. Kemudian berdecak sebal. Ini sudah terlalu malam, dan aku sudah tidak punya cukup energi untuk terus mendebat. Lagipula kalau aku harus membahas yang kemarin-kemarin, semua buktinya ada di rumah. Tidak aku bawa ke mana-mana. Sambil membetulkan bajuku, aku mengambil tas dan merogoh dalamnya. Setelah aku menemukan kertas administrasi Rey dari dalam tas, aku memberikan padanya. "Administrasi Rey." ucapku singkat. "Bisakah aku istirahat sebentar?" Dia mengambil kertas itu, lalu bangkit berdiri. Membiarkan aku berbaring di sofa tersebut. Aku memang serius ingin tidur. *** Besok paginya, Abi benar-benar mengambil cuti. Aku, menelpon Vivi menanyakan kabar Ruby. Syukur kalau anak itu tidak tantrum. Vivi akan membawa Ruby ke rumah sakit, setelah memandikan Ruby. Katanya, Fay yang akan menjemput mereka. Aku mendapat telepon dari sekolah Rey. Mereka mengonfirmasi insiden kemarin. Semua yang menjadi saksi, mengatakan kalau Brian (Teman Rey yang membuatnya babak belur) memukul Rey terlebih dahulu. Kemudian mereka terlibat perkelahian. Dan miss Shafiya sebagai perwakilan sekolah akan datang menyambangi Rey di rumah sakit. Pukul sepuluh pagi, miss Shafiya sudah muncul di rumah sakit. Dengan jilbab ungu pastelnya, dia datang membawa parsel buah-buahan. Dengan senyumnya yang selalu terlihat cerita, dia menyapa Rey. "Hai, Rey? how's your day?" miss Shafiya, mengacak rambut Rey pelan. "Fantastis!" jawabnya antusias. Hanya tangan kanannya saja yang terangkat ke atas, karena tangan kirinya sedang di gips. Aku tertawa melihatnya. Abi yang berdiri tidak jauh dari kami, memerhatikan kami sambil menguburkan kedua tangannya di kantung celana. "Woow, bagus Rey. Kau harus tetap semangat agar cepat sembuh. Agar bisa kembali ke sekolah." "Rey, tidak mau ke sekolah. Rey tidak mau bertemu Brian lagi. Dia nakal." Rey memberenggut. Tapi sepertinya dia sangat serius dengan perkataannya. Aku menatap mis Shafiya yang kini juga sedang menatapku, merasa iba. Kemudian miss Shafiya tersenyum pada Rey. "Brian ingin meminta maaf padamu, dia juga ingin berteman denganmu." "Tapi aku tidak mau punya teman nakal." "Brian tidak nakal, sayang." miss Shafiya membujuk dengan suara lembut. "Pokoknya, Rey mau pindah sekolah.! pindah!" Rey berteriak. Aku, segera menangkap tubuhnya. "Oke, Rey. Nanti kita cari sekolah yang tidak ada Brian di dalamnya." Bujuk ku pada Rey. Lalu, Rey terdiam. Aku tidak terlalu serius untuk memindahkan Rey ke sekolah lain. Miss Shafiya memberiku tanda agar aku ikut dengannya. Kemudian aku mengikutinya, yang berdiri di depan Abi. "Setelah Rey sembuh, kami akan mengadakan sidang untuk mengetahui, siapa yang salah dan siapa yang benar." Terang miss Shafiya. "Dan ibunya Brian juga tidak terima kalau pak Ben mendorong Brian." "Ben?" kudengar Abi bersuara. "Iya, Pak. Pak Ben. Kemarin beliau yang menunggu untuk menjemput Rey di sekolah." Abi melirik ku tajam. Tapi aku tidak peduli. Dan memilih bicara dengan miss Shafiya. "Aku hanya ingin keadilan saja terhadap Rey, Miss. Lihat dia, tangannya patah. Dia juga harus menghilangkan trauma nya. Tapi, kalau kami harus memindahkan Rey ke sekolah lain, kami akan lakukan." "Tidak perlu gegabah, Bu. Kami, pihak sekolah akan melakukan yang terbaik untuk Rey dan Brian." Aku mengangguk sebagai jawaban. Tidak lama dari itu, miss Shafiya pamit untuk kembali ke sekolah. Aku mengantar miss Shafiya sampai depan pintu kamar Rey. Dan setelah miss Shafiya pergi dan hilang dari pandangan, Abi mencecarku dengan berbagai pertanyaan. "Ben? kemarin kau bersama Ben?" "Dia sudah ada di sekolah saat aku menjemputnya." Dia mengusap wajah kasar. "Kenapa Ben yang ada di sana. Seharusnya aku yang ada di sisi Rey di saat-saat seperti ini." Dia terlihat kesal. Kesal terhadap dirinya. Abi menyisir rambut, memijat kening, dan mondari-mandir di hadapanku. "Ya, seharusnya seperti itu." Tandasku. "Tapi kau justru menghilang entah ke mana." "Aku tidak menghilang, An. Ponselku hanya mati, dan aku tidak menerima kabar darimu. Itu saja." Jawabnya. "Dan kenapa harus selalu Ben yang ada di saat penting seperti ini." Abu menatapku tajam. Memandangku dengan sorotan mata yang seolah sedang mencurigai ku, bahwa aku memang sengaja mengundang Ben ke dalam situasi ini. "Bi, itu Ben. Bukan orang lain. Kenapa kau begitu khawatir? lagipula aku tidak apa-apa kalau kau tidak ada di sana. Ben, juga kebetulan saja ada di sana." "Aku ayahnya." Dia mendekatkan wajahnya padaku. Seolah sedang mengintimidasi. Aku bisa melihat kilatan kekecewaan dari sorotan matanya. Aku mengepalkan tanganku di sisi tubuh. "Ben juga ayahnya." Aku tidak percaya kalau kalimat ini akan keluar dari mulutmu. Kenyataan yang tidak pernah mau pria ini dengar. Tapi karena perasaanku yang tidak karuan dan begitu sangat kesal, aku merasa kalau mengatakan kalimat ini, rasa kesalku dapat tersalurkan. Dengan sorotan matanya yang terperangah, Abi pergi dari hadapanku begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN