Makan bersama

1024 Kata
Aku terbangun di sebuah klinik yang tak jauh dari pasar tradisional. Membuka mata sambil memegangi kepalaku yang masih berdenyut nyeri. Perut bagian bawah ku terasa sakit. Ini bukan jadwal datang bulan. Tapi kenapa sakit sekali. Mungkin karena aku belum sarapan. Seorang dokter wanita datang padaku. Tersenyum Ramah saat melihatku perlahan terbangun. "Bagaimana, Bu? masih pusing?" dokter itu membantuku untuk duduk. "Ya, Dok. Sakit sekali rasanya." Aku memijat keningku. "Saya resep kan obat pusing, segera nyeri di perut. Dan saya akan rujuk Ibu untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Ke dokter dalam, ya, Bu." Dokter itu menuliskan sesuatu pada secarik kertas resep. Kemudian memberikannya padaku. "Ini resep obat. Dan ini, surat rujukan untuk ke rumah sakit." "Saya sakit apa, Dok? kenapa harus ke rumah sakit?" "Justru itu, nanti dokter penyakit dalam yang mendiagnosa Ibu." Dengan tangan yang masih lemas, aku mengambil resep obat dan surat rujukan ke dokter. Lalu pergi menebus obat, kemudian pergi dari klinik ini. Belanjaan ku belum semuanya. Tapi tak apa. Aku bisa meminta tolong pada mbok Darmi. Yang penting aku pulang dulu. *** Sesampainya di rumah, aku menemukan Abi sudah duduk di teras rumah bersama dengan Ruby. Sedangkan Rey, masih tidur. Dia sedang nyenyaknya tidur. Mungkin karena obat yang dia minum ada efek obat tidurnya. "Kenapa tidak membangunkanku?" Abi membantuku mengambil alih barang belanjaan. Lalu memberikan Ruby padaku. Abi menyimpan belanjaan di dapur. Dan tidak lama kemudian mbok Darmi datang. Biasanya di weekend ini mbok Darmi libur kerja, tapi hari ini aku memintanya untuk masuk. Karena hari ini, aku akan masak banyak. "Tadi tidurmu nyenyak sekali bersama Rey. Jadi, aku tidak tega untuk membangunkannya." Ucapku sambil mengusap punggungnya. Dia memerhatikan ku, lalu membalikan tubuhku sehingga menghadapnya. "Wajahmu pucat. Kau sakit?" Aku memegangi wajahku. Apa karena aku pingsan. Tapi aku tidak ingin membuatnya cemas. "Biasa saja. Mungkin karena aku tidak pakai lipstik." Dari wajah, aku memegang bibirku. Kemudian membasahi nya oleh lidahku. "Aku mau minta tolong mbok Darmi untuk ke pasar, ada yang lupa aku beli." Walau tampak ragu, akhirnya dia tidak lagi bertanya. Kalau dia tahu aku pingsan di pasar, dia pasti akan membatalkan acara hari ini. "Aku mau mandi." Abi berteriak. Dan itu sebagai tanda kalau dia minta untuk diambilkan handuk, serta menyiapkan pakaiannya. Semenjak menikah, segala kebutuhannya aku yang mempersiapkan. Mulai dari dia membuka mata, sampai dia membuka mata lagi keesokan harinya. Membuat sarapan, membuatkan dia kopi, menyiapkan pakaian, sampai jadwal dia untuk olahraga saja, aku yang mengingatkannya. Sepatu kotornya, kaus kakinya, shampo yang dia pakai, parfum, sikat gigi, hingga minyak rambutnya. Semua aku yang urus. Terkadang, dia tidak ingin makan kalau itu bukan masakanku. Tapi akhir-akhir ini, dia nampak berbeda dari biasanya. Dia sering pulang malam. Beberapa bukti keanehan yang membuatku mencurigai suamiku sendiri. Teriakan Rey, membuyarkan lamunanku. Segera aku berlari ke kamar Rey, setelah memberikan daftar belanjaan kepada mbok Darmi. Ruby masih aku gendong ketika aku masuk ke dalam kamar. "Rey, kenapa?" aku mendudukan Ruby di atas tempat tidur Rey. Sedangkan Rey baru saja terbangun dengan mata yang melotot. Peluh keringat membasahi wajahnya. Dia menatapku dalam diam, satu detik berikutnya dia bangkit dari tidurnya lalu memelukku erat. "Untung cuma mimpi." Katanya sambil terengah. "Aku mimpi, Mami pergi." Aku mengusap punggungnya dan tertawa kecil. "Makanya, kalau mau tidur tidak usah nonton youtube. Jadi mimpi buruk." "Tapi Mami tidak akan pergi, kan?" "Astaga, Rey. Pergi ke mana? tadi Mami cuma pergi ke pasar." Aku menyentil keningnya. "Nanti siang, akan ada uncle Ben, dan teman Mami main ke rumah. Sekarang, ayok, mandi." "Uncle Ben? asiiikk." Dia berteriak nyaring. "Mami siapkan kolam karet. Aku mau mandi di sana bersama Rob." "Rob sudah mandi, Rey." Tapi Ruby ikut mencak-mencak. Dan akhirnya mereka mandi di kolam karet bersama-sama. "Aku akan wujudkan mimpimu dan Rey, untuk memiliki rumah yang ada kolam renang di halaman belakang." "Kolam renang?" aku menyemburkan tawa. "Kalau di sini namanya kolam ikan." "Kalau begitu bukan di sini, di tempat lain, yang lebih besar." Abi merangkul pundakku. Dia berkata begitu percaya diri. "Tidak usah, begini saja sudah lebih dari cukup." "Aku hanya perlu doamu." Aku mendongak. Lalu tersenyum padanya. Lalu berkata, "Aamiin." *** Makanan sudah semuanya siap di meja makan. Aku juga sudah memberitahu Rey, akan ada temanku yang datang. Dan aku memberitahunya kalau dia orang baik. Rey akan menyukainya. Dia senang-senang saja. "Aku tidak percaya ini akan terjadi." Abi memandang meja makan dengan kagum. Lalu mengambil satu potong tempe goreng. Dan menggerus nya. "Kau sudah meramalkan sebelumnya?" tanyaku retoris. "Bukankah aku memiliki bakar cenayang?" Aku tertawa kecil dan mendekatinya. "Kau sudah kehilangan kekuatan itu," aku meninju perutnya. "Sekarang, kau bahkan tidak lagi membaca pikiranku." "Kata siapa? masih." Katanya menantang. "Pikiranmu ibu-ibu, tidak jauh dari anak, tagihan setiap bulan dan suaminya." Dia merangkum wajahku oleh kedua telapak tangannya. Lalu menempelkan bibirnya di bibirku, dengan lembut. Memberikan senyuman paling hangat padaku. Sudah lama sekali aku tidak merasakan kenyamanan ini. Semoga moment ini akan berlangsung selamanya. Hingga salah satu di antara kami, pergi ke dimensi lain. *** Ben datang lebih awal. Dan Rey langsung menghambur ke pelukannya. Dengan melihat seperti ini saja sudah membuat hatiku menghangat. "Uncle bawakan kau hadiah." Ben mengangkat laper bagian ke atas. "Dan satu lagi, untuk Ruby." Lalu dia memberikannya paper bag itu padaku. "Terima kasih." Ucapku. Kemudian, menyuruh Ben untuk ke belakang, ke meja makan. Dan Ben berjalan bersama Rey. "Berikan senyuman yang terbaik hari ini." Kataku pada Abi. Dan Pria itu langsung nyengir lebar persis kuda. Abi melangkah menuju belakang rumah. Dan di saat yang bersamaan suara ketukan di pintu terdengar. Sera berdiri di sana, menggandeng tangan Sienna. Aku langsung menyambutnya, dan memimpinnya masuk ke dalam rumah menuju meja makan. "Lihat, siapa yang datang." Semua yang ada di sana menoleh padaku. Ben terlihat tekejut walau wajahnya masih kaku. Abi, menjatuhkan tempe gorengnya yang nyaris masuk ke dalam mulut. Dan Rey, yang duduk di bangku sebelah Ben, menatap Sera tanpa berkedip. Dia seperti menahan nafasnya. Rey, sama sekali tidak bergerak di tempat. Hingga akhirnya aku menghampiri Rey, lalu mengusap pundak Rey pelan. Berharap dia memberikan respon. "Rey," aku menundukkan wajahku. Aku bisa merasakan tubuhnya menegang. Dan tanpa bisa aku duga, dia langsung berdiri membuat kursi yang dia duduki terjungkal ke belakang, lalu berlari cepat dari hadapan kami semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN