Banyak yang mengatakan kalau cinta itu tidak memandang harta. Tapi pada kenyataannya banyak kisah percintaan yang amburadul akibat minimnya pendapatan. Kalau menurutku, setiap orang punya standarnya masing-masing. Tidak bisa kita sama ratakan. Kalau kata mereka love is money, ya, sah sah saja. Dan kalau kata yang lain love is how about us. Itu juga tidak salah. Yang salah itu, kalau kita tidak bisa memberi arti dalam cinta itu sendiri.
Aku tidak peduli seberapa banyak nominal uang yang Abi habiskan untukku. Menurutku cinta adalah pembuktian. Dan itu dibuktikan dengan benda berkilauan yang ada di depan mataku. Aku terbelalak tidak percaya. Are you kidding me? Hey, kita sedang berada di taman gedung perkantoran. Bagaimana bisa pria ini melamar ku di tempat yang... Ah sudahlah.
"Kenapa harus di kantor?" Ucapnya sambil menyematkan cincin bertahtakan berlian itu di jari manisku. Dia tidak bertanya apakah aku bersedia memakainya atau tidak. Ah, ya jelas aku bersedia. "Ini adalah tempat pertama kali aku jatuh cinta padamu." Katanya. Dan aku tersenyum geli.
"Oke, so?"
"Kau harus bersedia menikah denganku." Dia mengangkat kedua alisnya. Aku tertawa terbahak. Baru kali ini ada pria melamar tapi bukan meminta. Melainkan menodong.
"Kenapa harus?"
"Aku sudah mengeluarkan kocek yang dalam untuk satu buah cincin berlian ini. Ya Tuhan, Ana. Ini mahal sekali." Dia mengangkat tanganku yang ada cincin berlian itu. Aku tahu, tidak ada berlian yang murah.
"Kau yakin ini asli?"
"Kalau ini palsu, aku akan membakar penjual dan tokonya."
Kemudian aku kembali terbahak mendengarnya. Melihat dia mencak-mencak aku bahagia. Mengingat apa yang telah kami lewati bersama. Aku bersyukur masih bisa hidup hingga saat ini dan masih bersamanya.
Sebuah bunyi notifikasi muncul di layar ponsel milik Abi. Lalu pria itu mengusap layar ponsel dan membaca pesannya sebentar, lalu mematikannya lagi. Senyum di wajahnya semakin melebar.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu, apakah sama rasanya seperti yang lain. Atau cuma aku saja yang bahagia menyandang status single daddy."
Mataku melebar, diiringi senyumanku yang sepertinya mencapai pipi. "Mungkin cuma kau saja. Dan cuma aku saja yang bahagia dengan perceraian orang lain."
Semilir angin di sore hari menjelang magrib menghangatkan kami. Semuanya akan segera menemukan senjanya. Tenggelam, kemudian terbit lagi. Tidak akan lama.
***
Selamat tinggal Read Eat. Welcome...
"Kita namai bisnis kita apa, Nay?"
Gerakan Naya yang sedang mengemas kue pie ke dalam plastik terhenti. Lalu dia menaruh telunjuknya di dagu.
"Pieku?" Pungkasnya. "Eemm.." Dia menaruh telunjuknya di dagu seolah berpikir keras.
"VAN bakery?" Vivi menyahut. "Vivi, Ana, Naya."
"Kenapa namamu paling awal, Vi?" Protes Naya.
"Karena aku yang membujuk investor agar mau investasi di bisnis ini. Lalu Ana, adalah chef kita. Yang akan membuat inovasi pada usaha ini. Dan kau... Tugasmu apa di sini, Nay?"
"Aku pendiri dari bisnis ini. Aku adalah pelopornya. Ide itu mahal, Vi." Tandas Naya.
"Sudah... Sudah... Kita semua punya peran masing-masing di bisnis ini. Sekarang bukan lagi soal 'aku' tapi, 'kita', oke." Aku berusaha menangahi.
Kami semua sedang ada di rumahku. Naya memang penyumbang terbesar dalam usaha ini. Dia menamai kue pie ini dengan Korean Mini Tart. Kue pie ukuran kecil yang dimasukkan ke dalam kotak dengan sekat. Setiap pie memiliki variasi yang berbeda. Kemudian ada banoffee mini pie. Pie dengan rasa kopi. Bisnis ini memang belum banyak di Jakarta. Semoga saja usaha kami menjadi pelopor di negri ini.
"Sepertinya kita harus segera membuat label dan mempatenkan brand kita. Agar tidak ada pihak lain yang memakai nama yang sama."
Ide itu juga muncul di kepala Naya. Entah dia memang berbakat menjadi pengusaha, atau karena memang karena kepepet butuh uang. Jadi sistem kerja otaknya berjalan lebih cepat. Biasa kan, kalau kepepet otak kita akan bekerja lebih cepat dan ide cemerlang sering bermunculan.
"Oke, setelah ini kita desain logo nya. Yang penting kue-kue ini, kita bagikan terlebih dahulu sebagai sample. Agar masyarakat mengenal terlebih dahulu rasanya."
"Kita butuh ruko tidak?" Tanya Vivi, sambil memasukan kue pie ke dalam kotak dengan sekat.
"Seprtinya tidak perlu. Kita kerja di rumah saja, kalau kue ini sudah terkenal baru kita buka toko." Sahut Naya.
"Ya, benar." Timpalku. "Lagipula sewa ruko itu mahal, lebih baik kita gunakan modal ini dengan baik. Kita kencangkan saja promosinya." Lanjut ku. "Nay, kau buat akun i********:, serta kalau bisa buat website juga khusus untuk usaha ini."
"Ya, itu semua akan menjadi tugasku." Naya menepuk dadanya merasa bangga.
Sebelum kami membagikan kue pie ini secara gratis, kami mengambil gambar kue-kue pie ini untuk nanti kami posting di sosial media. Karena Vivi lumayan jago dalam pengambilan gambar, jadi dia yang memotret kue-kue ini. Dengan background kain putih dan meja warna coklat kayu, hasil fotonya jadi estetik.
Proses potret memotret kue-kue lucu ini berlangsung dengan rusuh. Vivi dan Naya terus berdebat sepanjang pemotretan. Tentang angle, pencahayaan, posisi kuenya dan lain sebagainya yang membuat aku pusing tujuh keliling.
Tapi satu hal yang bisa aku nilai dari perdebatan antara Vivi dan Naya adalah Vivi sudah jauh lebih dewasa. Dia tidak mendominasi, menjaga sikap dan tutur katanya. Walau semuanya belum sempurna, tapi dia lebih baik dari kemarin.
Cara duduknya yang menyilangkan kedua kakinya, juga perlahan berubah. Bukan hanya penampilannya saja yang anggun, tapi juga sikapnya. Christian, sudah mengubah Vivi terlalu banyak.
***
Wangi dari kertas-kertas dalam buku yang tidak pernah aku benci. Aku selalu suka aroma buku. Apalagi buku baru. Jadi, aku betah berlama-lama berada di toko buku. Seperti hari ini. Aku berkeliling mencari keberadaan n****+ baru. Sebenarnya aku mengincar n****+ milik Shopie Kinsella, tapi toko buku ini kehabisan stok. Aku selalu suka cara dia bercerita, menggunakan diksinya, dan narasi yang santai, tidak terlalu berat.
Saat aku akan mengambil n****+ metropolitan berwarna abu-abu, tiba-tiba ada sebuah tangan yang sigap akan mengambil buku tersebut. Aku menoleh cepat, kemudian menyipitkan mata.
"Miss Shafiya?" Tebak ku begitu melihat siapa pemilik tangan itu. Dia nampak terkejut melihatku.
"Eem.. Bidadari Rey?" Dia menunjuk padaku. Kemudian tertawa renyah. "Lusiana." Lanjutnya.
"Ana, saja." Sergahku.
Miss Shafiya. Guru TK Rey yang memiliki imajinasi yang sulit dijangkau seperti Rey. Dia memakai kerudung warna hijau mint. Dan gamis hitam yang panjangnya menyapu lantai. Dia memakai tas selempang terbuat dari kanvas. Sama sekali tidak terlihat seperti seorang guru. Kurasa di masih cocok kalau memakai seragam SMA.
"Hai, sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Bagaimana kabar Rey?"
"Dia baik, kau sendiri bagaiamna?"
"Aku baik. Aku sekarang mengajar di sekolah dasar, bukan lagi di TK."
"Oh, iya." Aku mengangguk.
"Oke, silakan dibeli." Dia mengambil buku dengan sampul abu-abu. Lalu menyodorkannya padaku. "Lalu dibaca. Kau mau tanda tangan penulisnya?" Katanya.
"Oh tidak perlu," Aku mengibaskan tanganku. "Lagipula mungkin acara fan signed nya juga tidak ada."
"Aku penulisnya!" Dia berjengit. Kemudian langsung mengeluarkan pulpennya dalam tas.
Aku terpana saking terkejutnya dengan mulut yang terbuka lebar. Menjatuhkan tatapanku pada buku n****+ berjudul Perfect Blue, kemudian membolak-balikkan n****+ tersebut. Dan menegaskan pandanganku pada nama si pengarang. Penashafi.
"Jadi, Penashafi itu.."
"Ya, itu aku." Dia mengerlingkan sebelah matanya, dengan intonasi suara yang rendah. "Sstt... tidak banyak yang tahu. Aku sengaja merahasiakannya. Can you keep a secret, Ana?"
"Ah.. ya.. ya.. kau tenang saja. Rahasiamu aman ditanganku." Aku mengangguk-anggukan kepalaku beberapa kali. Masih dalam rasa tidak percaya bahwa salah satu penulis favoritku ternyata dalah Miss Shafiya. Si guru cantik yang berimajinasi tinggi.
Aku tersenyum getir ketika miss Shafiya perlahan mengambil novelnya di tanganku, kemudian membuka halaman paling awal dan membubuhi coretannya di sana.