Mereka semua berencana untuk menginap di rumah bi Endah. Karena sudah terlalu malam untuk pulang. Vivi tidak ikut menginap. Dia memilih pulang karena dihubungi oleh calon suaminya yang tajir parah. Akhirnya Vivi sepakat untuk menunda menyelesaikan masalah utang piutang tersebut dengan Sera sampai wanita itu pulih kembali.
Aku menekan tombol kunci, lalu mematikannya lagi saat aku tidak menemukan pemberitahuan apa-apa di sana. Aku tidak bisa bohong, kalau aku memang sedang menunggu menghubungiku. Tapi nyatanya ponselku sepi selain ada notifikasi dari aplikasi e-commerce tentang pemberitahuan diskon akhir bulan.
"An, pria gondrong tadi, siapa sih?"
Aku mendongak menatap Naya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia berjalan ke arahku sambil mengeringkan rambutnya. Wajahnya jelas sedang berseri-seri.
"Rama?" Tanyaku meyakinkan.
Naya sudah duduk di atas ranjang, menempel padaku. "Oh, jadi namanya Rama?"
Aku memandang Naya lekat-lekat. Lalu detik berikutnya aku menemukan sebuah pemahaman. Dan tawa itu menyembur keluar. Lalu Naya melempar handuk basah itu kepadaku.
"Kau tertarik padanya?" Tanyaku di tenga-tengah tawa.
"Aku suka pria gondrong." Tukas Naya sambil cengar-cengir.
"Kau bukan menyukai pria gondrong. Tapi, kau suka pada pria tampan yang kebetulan gondrong."
"Kenalin, dong." Tembak Naya. Aku saja sampai kaget.
"Dia itu baru lulus kuliah, Nay."
"Selain gondrong, dia juda brondong?" Aku menoleh cepat saat mendengar suara Fay. Diikuti Sha dan Nessa. Masuk ke dalam kamar.
"Apa salahnya dengan cowok brondong?"
Naya mengangkat kedua bahunya.
"Haduuhh... Nay, sebentar lagi kau akan keriput, dan dia tidak akan sudi menikahi mu."
Aku, Nessa dan Sha langsung tergelak bersama mendengar ejekan Fay. Sedangkan Naya memberenggut di tempat lalu memasang ancang-ancang siap untuk menerkam Fay. Fay mengetahui gerak-gerik Naya, maka dari itu wanita dengan rambut Burgundy nya naik ke atas ranjang lalu membungkus dirinya dengan selimut. Tapi Naya tidak mau menyerah. Wanita yang baru saja mendapat pemutusan kontrak kerja secara sepihak oleh Emma, meniban tubuh Fay.
Lalu mereka bergelut di atas ranjang persis seperti bocah kecil. Aku, Nessa, dan Sha menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka. Fay, memang selalu menabuh genderang perang pada kami. Mulutnya yang pedas tapi selalu benar, dan tingkahnya yang angkuh tapi peduli. Fay, satu-satunya orang yang bisa memahamiku dan menerimaku dalam keadaan apapun. Aku sudah cukup bahagia bersama mereka.
***
Aku baru ingat kalau hari ini adalah hari libur. Pantas saja Nessa ikut menginap di sini. Sha, juga. Biasanya dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kalau Fay, dia sih sepertinya fleksibel dengan waktu kerjanya. Dan pagi ini aku dan Naya sedang berjalan-jalan di kebun teh. Menikmati dinginnya embun pagi, dan udara segar sehabis hujan.
"An,"
"Hmm."
"Aku serius soal Rama." Naya memukul-mukulkan ranting pohon pada daun teh yang dia dapatkan entah dari mana.
Aku menoleh pada Naya lalu tersenyum sekilas. Mataku menyipit heran. Bukan apa-apa, sedikit sekali pria yang dekat dengannya. Perempuan ini nyaris tidak pernah dekat dengan pria. Terakhir dia berpacaran pun saat kami masih duduk di bangku kuliah. Dia seperti tidak tertarik dengan percintaan. Tidak, dia bukannya tidak normal. Dia hanya sudah terbiasa sendiri. Dia bilang menjalin hubungan emosional antara laki-laki dan perempuan hanya akan buang-buang waktu, tenaga dan juga uang.
"Please, Nay. Usianya 22 tahun." Aku tertawa kecil. "Yang benar saja, Nay. Jiwanya pasti masih mengembara, bermain-main."
Langkah Naya terhenti. Aku juga jadi ikut berhenti. Lalu dia menatapku intens. "Kau percaya dengan kalimat, love at the first sight?" Pandangannya nampak serius.
Aku memandang Naya dengan seksama, lalu menyunggingkan senyum. "Kita bukan lagi ada di fase memercayai kalimat konyol itu, Nay. Kita ada di fase menggunakan akal sehat."
"Ya, kita semua punya akal sehat. Tapi, ketika jatuh cinta apakah akal sehatnya masih berfungsi? Memangnya siapa sih yang bisa waras kalau lagi jatuh cinta." Gerutu Naya. Dia sepertinya tidak setuju dengan pendapatku. "Sha. Memangnya dia masih waras saat masih menginginkan Kamandanu. Lalu, kau. Kau pikir saat ini otakmu berada di tempat seharusnya? Menaruh hati pada Abi. Pria yang ternyata masih belum bercerai dengan istrinya."
Aku mendelik pada Naya. Apa yang dikatakan Naya memang semuanya benar. Dan aku justru tidak suka mengetahui kenyataan itu. Kenyataan pahit yang entah kapan akan berakhir.
Dari kejauhan aku melihat sebuah cevrolet spin silver melaju di jalan raya. Aku tahu itu mobil siapa. Keyakinanku tentang pemilik mobil itu di perkuat dengan berbelok nya ke arah kiri. Ke arah rumah bi Endah. Tapi aku sama sekali tidak berniat untuk menghampirinya.
"Ya, kau benar. Tidak ada yang waras ketika seseorang sedang jatuh cinta." Aku berjalan pelan, diikuti Naya masih sambil memukulkan ranting kecil yang dia pegang.
"So, bagaimana? Kau bisa kenalkan aku pada Rama?"
"Kau serius?" Naya mengangguk yakin. "Kalau dia sudah punya pacar, bagaimana?"
"Memangnya dia punya pacar?"
"Aku tidak tahu, Nay." Aku menggelengkan kepala. "Aku juga belum lama kenal, dan tidak dekat juga. Dia hanya pemilik showroom yang membeli mobilku. Itu saja."
Kami berbelok ke kiri semakin jauh dengan rumah bi Endah. Kami melihat sudah ada beberapa pemetik daun teh di tengah-tengah perkebunan sedang memetik daun teh. Aku jadi teringat rencana awalku, untuk beralih profesi menjadi pemetik daun teh. Sampai hari ini belum terlaksana. Terlalu sibuk mengurusi hati.
"Bagaimana dengan rencanamu yang menjadi pemetik daun teh. Seperti orang-orang di sana."
"Ternyata tidak mudah. Kupikir kita memetik daun teh yang mana saja. Tapi nyatanya ada beberapa kriteria, daun mana yang harus dipilih dan tidak. Juga membedakannya pun sulit."
"Tidak ada yang mudah, An. Semuanya perlu ilmu."
Aku mengangguk tanda setuju dengan pernyataan Naya.
"Pekerjaanmu bagaimana? Kau jadi di PHK?"
"Kalau pun Emma tidak memutus kontrak kerja denganku, aku akan memutus sendiri. Aku sudah tidak tahan bekerja dengannya." Katanya serta merta. Bahkan dia masih saja emosi walau dia sudah bebas dari belenggu Emma. "Kalau kau mau menjadi pemetik daun teh, aku akan ikut denganmu."
Mataku menyipit, kemudian tawaku meledak. Naya juga jadi ikut tertawa bersamaku. Mungkin kami sedang menertawakan hidup kami masing-masing. Tiba-tiba tawa Naya lenyap. Kupikir dia lihat hantu, tapi saat Naya menunjuk ke arah belakangku, aku tahu siapa yang ada di belakangku.
Seolah mengerti bahwa kami butuh ruang, Naya pamit pergi dari tempat ini. Entah ke mana. Semoga saja dia tidak tersesat.
"Sudah makan?"
Kukira dia akan bicara hal penting apa. Kalau hanya bertanya soal perutku, bisa lewat pesan singkat. Tidak perlu jauh-jauh datang kemari.
"Sudah," jawabku agak ketus. Memalingkan wajah ke arah jalan raya.
"Aku datang ke sini bukan cuma sekadar ingin bertanya jadwal makan mu. Sejak kemarin aku kehilangan semangatku, kupikir kenapa. Ternyata aku belum melihatmu tersenyum."
Aku mendelik menatapnya. Sejak kapan dia punya rayuan norak seperti itu. Wajahnya tampak lebih segar sejak terakhir kali aku bertemu dengannya di rumah sakit. Mungkin dia sudah mandi atau apa. Dan senyumnya juga sedang terbit bak matahari pagi. Menyilaukan.
"Sudah lupa caranya tersenyum?" Tanyanya retoris. "Mau aku ingatkan?" Setelah bertanya, dia menundukan kepalanya, mendekat padaku. Reflek aku memundurkan wajah, untuk memberi jarak. "Caranya seperti ini."
Detik berikutnya dia mendaratkan bibirnya di pipi kananku. Mataku melebar, lalu mendorong perutnya agar menjauh. Lalu aku mengedarkan pandangan melihat ke sekeliling. Bagaimana bisa dia melakukan ini di tengah orang-orang pemetik daun teh. Abi gila.
"Kau gila." Desis ku. Sambil terus meninju perutnya. Dia terkikik sambil menghindari tinjuanku. Tawanya menular padaku. Dan pagi ini, dia bukan hanya sukses melihat senyumku, tapi juga tawaku.
"An," Dia mengunci kedua tanganku sehingga aku tidak lagi berkutik. "Kita menikah saja, ya?"
Apa dia bilang?