Pemetik daun teh

1012 Kata
Akhirnya hari ini pun tiba. Takdirku sebagai pemetik daun teh sudah menjadi kenyataan. Dan inilah waktunya. "Agar aroma dan rasa teh terjaga, ada beberapa hal yang harus diperhatikan." Aku menyeka bulir-bulir keringat sebesar biji jagung di pelipis, leher dan kening. Namun Adit masih saja meneruskan penjelasannya tanpa melihat aku yang begitu lelah. "Daun teh yang baik untuk dipetik adalah berwarna hijau muda. Jangan memetik daun teh yang sudah berwarna hijau tua. Karena aromanya kurang kuat. Selain warnanya, daun teh yang baik adalah daun yang ukurannya tidak terlalu lebar. Perlu kau cermati, bagian daun ke tiga dari atas yang biasanya tidak terlalu lebar. Nah, untuk menjaga..." "Dit, Stop it." Aku memotong kalimat Adit yang semakin ke sini semakin membingungkan. Tidak masuk ke dalam otakku sama sekali. Aku ke sini untuk jalan-jalan, refreshing. Bukan mendengarkan penjelasan panjang lebar tentang daun teh. "Bisa tidak, kau tunjukan saja yang mana daun yang harus aku petik. Tidak usah pakai teori. Otakku tidak sanggup untuk menangkapnya." Adit melepas capingnya, membiarkan pengaitnya menggantung di leher, lalu menyentil keningku dengan jarinya. Sakit sekali. "Memangnya sejak kapan kau punya otak pintar?" kelakar Adit, lalu memetik ujung daun teh yang warnanya masih muda. "Nih," lalu menunjukan daun itu tepat di depan mataku. Aku berdecak, lalu mencontek Adit memetik daun teh yang sama. "Astaga!" Adit memekik, dan aku terlonjak di tempat. "Bukan seperti itu, jangan memetik terlalu bawah. Nanti akan berimbas pada lambatnya pertumbuhan pucuk baru." "Masa bodoh, Dit." Aku melempar daun teh yang tadi ku petik. "Tadi bilangnya yang ujung, sekarang bukan yang itu. Bikin ribet." Sungutku. Kedua tangan Adit berkacak pinggang. Lalu dia menghela napasnya, menyerah mungkin. Untuk mengajari aku yang otaknya memang bebal harus kuat-kuat iman. "Istirahat dulu deh." Nah itu baru gagasan yang tepat. Kami duduk di saung yang berada di tengah-tengah perkebunan teh. Saung yang berpondasi batang pohon bambu, serta atapnya yang terbuat dari jerami. Saung ini mengingatkanku padanya. Abi. Apa kabar dia. Aku sama sekali tidak memberitahunya kalau aku pulang ke Lembang. Ya, kalau bilang-bilang bukan kabur namanya. Aku juga mematikan ponselku sejak kemarin. Kebiasaan wanita pada umumnya kalau sedang dirundung galau asmara. Aku hanya tidak ingin diganggu siapa pun. "Boleh nanya?" Aku melirik Adit sekilas. "Nanya apa?" "Penyebab batalnya pernikahanmu, bukan karena pria yang pernah datang ke sini bareng anaknya, 'kan?" Aku menoleh cepat-cepat pada Adit. Dia hanya mengangkat kedua bahunya santai, sedangkan aku semaput. Tahu dari mana dia soal Abi dan Rey. "Sama sekali tidak." Pungkasku cepat. "Tapi kepanikanmu justru menjawab bahwa itu adalah benar." "Dit, tidak ada hubungannya dengan Abi. Ini semua murni karena aku memang tidak berjodoh dengan Ben. Itu saja." "Tapi pasti awalnya juga ada masalah." "Masalahnya rumit, Dit." Ketusku. Mengingat apa yang dikatakan Abi. semua tampak rumit. "Sampai aku tidak bisa meluruskannya." Adit menjadikan capingnya sebagai kipas, berusaha mendapat udara segar untuk tubuhnya yang kepanasan. Cuaca Lembang memang tidak terlalu terik seperti di Jakarta, tapi entah kenapa hawanya panas. Mungkin akan turun hujan. "Kau cinta pada pria beranak itu?" Pengucapan kata 'beranak' yang disebut Adit membuat aku tertawa. Seolah memang Abi lah yang mengeluarkan anak. "Sangat, Dit." Ada rasa nyeri di dadaku saat aku mengatakannya. Sementara aku masih berpikir dari mana Adit tahu soal Abi. "Aku tidak pernah merencanakan untuk jatuh cinta pada Abi, perasaan itu muncul begitu saja. Di saat hati ku mulai terasa hampa." "Tapi, seharusnya kau tidak terlalu larut terhadap perasaanmu. Bisa jadi itu semua hanya sesaat ketika kau merasa lelah dengan Ben. Cobaan mau menikah datangnya dari mana saja." Aku tersenyum getir. Andai saja memang masalahku sesederhana itu kejadiannya. Jika semudah itu pasti aku tidak akan membatalkan pernikahanku. Jika memang tidak serumit itu pasti aku akan tetap menikah dengan Ben, dan tidak ada di sini. Bukan hanya aku yang tidak menginginkan pernikahan itu, Ben juga. Tapi dia terlalu lambat untuk menyadarinya. "Kalau saja semudah itu, Dit." Kataku. "Kau tahu tidak kalau pria beranak itu, anakanya itu anak Ben." Aku memandang Adit, yang kini juga sedang memandangiku. Dia termenung dengan sorot mata penuh kebingungan. Adit memiringkan kepalanya, lalu menengadah ke atas seperti mencari-cari sesuatu. Sepertinya dia sedang mencerna kalimatku. "Anak.. Ben?" Cicit Adit dengan nada yang ragu. "Anaknya Ben?" Ulang Adit, dengan meyakinkan pertanyaannya bahwa dia tidak salah dengar. Aku mengangguk di tengah keterpaannya. "Ben punya anak?" Jerit Adit selanjutnya. Dia nyaris saja terjungkal ke belakang kalau saja aku tidak menarik bagian depan kausnya. "Iya, Dit. Ben punya anak dari wanita lain, di luar nikah." Aku terkekeh saat Adit hampir hilang keseimbangan. "Hah? Tapi kenapa anaknya bersama pria itu? Siapa namanya?" Adit mengingat-ingat. "Ah, Abi!" Dia berseru kemudian. "Sudah aku bilang Dit, masalahnya panjang dan rumit. Jadi, daripada otakku meledak lebih baik aku batalkan saja pernikahannya." "Bagus kalau begitu." Tandasnya mengacungkan jempol ke depan wajahku. Aku harus sampai memundurkan kepala, lalu menangkis jempol Adit. Aku hanya bisa tertawa melihat reaksinya. Satu menit sebelumnya dia seolah membela Ben, lalu satu menit berikutnya dia sudah murka terhadap Ben. Ya, memang kita sebagai manusia tidak boleh melihat sebuah masalah hanya dari satu sisi saja. Dan tidak perlu berkomentar terlalu jauh kalau tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Setiap insan tidak perlu tahu behind the scene kehidupan orang lain. Dengan sisa-sisa hari ini, aku menceritakan semua pada Adit. Semuaaa. Saat aku mengisahkan tentang bagaimana awalnya bertemu Abi sampai aku berpisah dengan Ben, Adit hanya menanggapi dengan 'Hah' 'Ya ampun' 'Duh' 'Sialan'. Katanya tidak ada kata lain selain 'f**k you' untuk Ben. "Untung urusan ini kau pintar. Cepat tanggap dan berani mengambil keputusan. Laki-laki macem Ben memang harus di tinggalkan. Masih bisa hidup juga sudah untung dia." Aku tidak tahu apa jadinya Ben kalau dia ada di hadapan Adit. Pasti sudah jadi bulan-bulanan pria cungkring macem triplek itu. Adit memang kurus, kulitnya putih, wajahnya baby face. Cocok lah kalau jadi artis Korea. Mukanya mirip mirip sama Cha Eunwoo gitu. Tapi tidak akan pernah aku katakan itu pada Adit. Bisa besar kepala dia. "Ana." Saat aku sedang menertawakam reaksi konyol Adit, ada yang memanggilku dari belakang. Otomatis aku memutar tubuhku, melihat siapa yang datang. "Duh, siapa lagi nih?" Gerutu Adit, menatap laki-laki itu dan menelitinya dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan mata tajam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN