Abi versus Vivian

1003 Kata
"Ngomong-ngomong, kenapa kita harus ke rumah sakit?" Vivi bertanya saat kami berhenti di persimpangan lampu merah. Saat pandanganku menembus kaca jendela mobil ini, tidak ada satu pasang mata yang terlepas memandang benda mati yang kunaiki ini. Mobil ini sudah menyedot seluruh perhatian warga Lembang. Otomatis aku melihat penampilanku saat ini. Mereka pasti akan mengira kalau aku seorang pembantu dan Vivi sebagai majikan, jika kami keluar dari mobil secara bersamaan. Dunia sudah terbalik rasanya. "An, are you okay?" Vivi menyentuh pundakku. Aku menoleh padanya sekilas. Dia sudah berubah terlalu banyak dan mengejutkan. "Ya, Sera dan Rey masuk jurang." "Hah? Masuk jurang?" Suara Vivi membuat sang supir melirik pada kami. "Apa yang terjadi?" Sebelum aku menjawab, aku menghela napas terlebih dahulu. Dan pikiranku langsung melayang ke keberadaan Sera dan Rey. Bagaimana kondisi mereka saat ini. Jurang di perkebunan ayah cukup curam. Bahkan aku tidak bisa melihat sosok Rey saat dia terperosok ke bawah. Mobil mahal ini seketika melaju, dan aku langsung menatap jalanan yang penuh oleh kendaraan berdesakan. "Aku dan Sera terlibat dalam perdebatan, dia ingin menemui Rey, sementara bocah itu tidak mau. Lalu Rey berlari masuk ke perkebunan teh. Dia terus lari sampai menemukan jalan buntu, yaitu jurang. Dan kejadiannya begitu cepat, tiba-tiba Rey terpeleset dan jatuh. Sera juga ikut." Potongan-potongan kejadian bagaimana aku dan Sera berlari mengejar Rey, hingga sampai anak itu terperosok ke dalam jurang, dan Sera juga ikut-ikutan berputar cepat memenuhi kepalaku. Termasuk saat Abi menemukan kami, dan menuduhku yang melakukan semuanya. Aku meringis mengingat semua itu, begitu sangat menyakitkan. Pria itu memang memiliki cinta kepada Sera. Kalau tidak, dia tidak mungkin berpikir kalau terperosoknya Rey dan Sera ke dalam jurang adalah ulahku. Aku memang tidak suka dia, tapi bukan berarti aku jadi tidak waras dengan melakukan hal kriminal seperti itu. Ini baru Abi. Belum lagi Ben. Pria itu pasti juga akan menuduhku yang tidak-tidak. Bukannya aku berprasangka buruk, tapi aku masih ingat pagi itu, Ben pernah datang ke rumahku. Melabrak aku karena aku datang ke Jakarta Fashion Week dan mencari tahu soal Sera diam-diam. Suara wanita pasa mesin penunju arah terdengar, membuyarkan lamunanku. Ternyata kami sudah sampai di rumah sakit. Aku memandang sekitar dengan linglung. "An, ayok." Vivi membuka pintu mobil, diikuti olehku. Dia memberikan perintah pada sang supir untuk menunggu, sebelum kami keluar dari mobil. "Aku tidak mereka di mana." Saat aku dan Vivi memasuki lobi rumah sakit, tatapanku teralihkan oleh sosok Sha. Ada apa dia di sini. Aku langsung meghampirinya saat dia berjalan menuju arak lift. "Sha!" Dia berhenti kemudian menoleh padaku. Bisa kulihat, wajahnya yang tegang berubah lega saat melihatku. "An, syukurlah aku bertemu kau di sini," katanya. "Aku mendapat telepon dari rumah sakit kalau Sera kecelakaan." Justru aku yang heran saat ini. Kenapa Sha yang dikabari oleh pihak rumah sakit. Sedekat apa hubungan Sera dan Sha. "Oh, ya." Ucapku terbata. "Dia masuk jurang bersama Rey." Walau masih ada banyak pertanyaan yang menggelayut di wajahnya, tapi Sha langsung mengajakku dan Vivi ke ruang ICU. Pihak rumah sakit mengabarkan Sha, kalau Sera ada di ruang ICU. Aku memilin ujung bajuku persis seperti anak kecil yang hilang di keramaian. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abi kalau melihatku di sini. *** Sha berlari begitu kami keluar dari dalam lift, kemudian bergegas mencari ruang ICU. Saat kakiku berpijak menyusuri lorong rumah sakit, tiba-tiba ingatan soal mendiang ayah menyerangku. Menghantap telak kepalaku. Ini adalah rumah sakit yang sama tempat ayah mengembuskan napas terakhirnya. Aku melihat Sha sudah sampai di depan pintu ruang ICU. Terlihat ada Abi di sana. Tapi kakiku berubah jadi kaku, sulit untuk digerakkan. Dulu, ayah juga di sana. Meragang nyawa, menunggu kedatanganku. Begitu aku muncul di depan wajah ayah yang sekarat, ayah pergi persis saat aku memeluk tubuhnya. Di sana, di ruang ICU diujung lorong ini. Bagaimana jika Rey pun begitu. Dan bagaimana jika Abi terus menyalahkanku atas segala yang terjadi. Bisa kurasakan kedua pundakku di cengkeram kuat oleh Vivi. Seperti mengerti apa yang sedang aku rasakan saat ini, dia menopangku, memapahku untuk berjalan menuju ruang ICU. Sesampainya di sana aku tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Abi tegang, berantakan, dan kusam. Pakaiannya juga tampak kotor oleh noda tanah kecoklatan. Dia berdiri persis di depan pintu. Dia menyadari keberadaanku, tapi dia tidak peduli. Vivi menuntunku untuk duduk di bangku panjang. "Aku akan bertanya pada Abi." Aku menatap Vivi. Sebelum aku bisa menjawab, wanita itu sudah menghampiri Abi. "Pak, Abi." Ucap Vivi. Tubuh abi yang bersandar di dinding, langsung berdiri tegak. "Bagaimana keadaan Rey?" Pria itu tidak langsung menjawab. Dia diam, sambil meneliti Vivi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Abi pasti tidak mengenali siapa wanita cantik itu. Dia pasti akan terguncang dua kali kalau tahu kenyataan bahwa yang ada di hadapannya adalah Vivi. "Si..apa?" Suara Abi nyaris tak terdengar. Dia sangat kacau balau. Vivi menepuk keningnya. Dia baru sadar kalau dirinya sudah berubah, dan tidak ada yang bisa mengenal nya di dunia ini. Si bodoh itu hanya tersenyun kecil, menertawakan kebodohannya. "Saya Vivi, Pak." Vivi mengangguk kecil, dan agak sedikit membungkuk. Aku berdecak melihat ekspresi wajah Abi yang melongo parah. Kalau bukan dalam berada dalam situasi genting, aku pasti sudah tertawa terpingkal-pingkal. Ya, aku tahu apa yang ada di kepala Abi kalau sekarang ada di kondisi yang normal. Kulihat Sha bergerak maju, dia pasti mendengar percakapan mereka. Buktinya, dia mendekat ke arah Abi dan Vivi. "Vivi?" Tubuh Vivi seketika berputar arah pada Sha, karena wanita itu memutar tubuh Vivi dengan cepat. Sha juga pasti terguncang. "Yes, i'm Vivi." Ujar Vivi setengah kesal. "Okay everyone, biar kuberitahu. Aku adalah Vivi. Vivian si cewek tomboy itu. Aku berubah, okay, semua orang punya hak, kan?" Lanjut Vivi serta merta. Kedua tangannya terangkat ke atas. "Aku hanya ingin tahu, bagaimana keadaan Rey di dalam sana." Bisa kulihat dari sini wajah Abi yang melongo, kini rahangnya mengeras. Sorot matanya menatap Vivi dengan tajam. Seperti sedang menahan gejolak amarah di dalam dadanya. Dan detik berikutnya yang dilakukan Abi membuat aku berdiri dari bangku, dan melotot tidak percaya. Abi mencengkeran baju bagian depan Vivi kemudian mendorong wanita itu ke dinding. Sehingga punggung Vivi membentur cukup keras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN