Sweety Pie

1337 Kata
"HAHAHAHAHAHAHA." Ternyata ada yang lebih menyebalkan selain wanita aneh tadi, yaitu suara tawa Abi yang menggelegar hingga pasang mata di koridor rumah sakit yang berpapasan dengan kami melirik dengan tatapan penuh tanya. Seakan menerka-nerka apakah kami baru saja keluar dari psikiater. "Kalau kau tidak berhenti tertawa, aku akan mencongkel matamu dan membuatmu benar-benar masuk ruang operasi." Jari tengah dan telunjukku ku angkat ke depan matanya persis seperti akan mencongkel matanya. "Demi Tuhan, Abi berhenti tertawa sebelum kita diusir dari sini." Aku jengkel setengah mati karena Abi masih saja terus tertawa. Tidak memedulikan tatapan orang-orang yang seperti ingin membunuh kami. "Rey, apa ayah sudah gila?" Kepala Rey mendongak karena usapan tanganku di rambutnya. Telapak tangannya menutup mulutnya menahan kekehan. "Ayah tidak berhenti tertawa sejak aku menelpon yang mulia ratu." Katanya sambil melirik Abi yang kini sedang mengatupkan bibirnya menahan tawa. "Ayah bilang, akan ada tontonan yang sangat menarik. Dan ternyata ayah benar. Tidak lama kemudian yang mulia ratu datang dengan wajah merah dan memakai sepatu yang tertukar." Otomatis aku melirik ke kakiku yang begitu sangat memalukan. Memperlihatkan betapa bodohnya diriku saat ini memakai sepatu milikku dan Naya. Oke, aku bisa mengatakan ini sebagai trend baru dalam fashion tapi tatapan mata orang-orang tidak memercayai itu. Apakah ada terapi yang dapat membuat orang lebih sedikit cerdas saat sedang panik? "Seharusnya aku merekam wajah panikmu. Dan," Jari Abi mengusap air mata yang keluar di sudut matanya, kemudian beralih menunjuk ke bawah, ke kedua kakiku. Sedangkan aku menahan marah sekaligus malu di diriku. "Astaga An, bahkan kau salah memakai sepatu." "Tidak lucu!" tandasku penuh penekanan. "Jangan sekali-kali lagi menyuruh Rey untuk berbohong. Apalagi membuat aku cemas. Beruntung, aku selamat sampai tujuan dengan kecepatan maksimal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya." Kami berbelok menuju tempat parkiran dan masih tak lepas dari tatapan heran orang-orang. Bisakah mereka biasa saja? "Walau sedikit bodoh dengan memakai sepatu yang berbeda." Gerutuku terdengar seperti bisikan. "Dan itu semua gara-gara, kau." Aku memukul d**a Abi sekuat tenaga membuat dia mengaduh. Tapi, masih melanjutkan tawanya yang sempat terhenti. Otaknya memang sudah bergeser dari tempat seharusnya dia berada. Kalau tidak, Abi tidak akan menyuruh anaknya untuk menelponku dan memberitahu hal yang membuat aku nyaris hilang kesadaran. Aku sudah membayangkan kalau Abi menggelepar di dalam ruang operasi. Aku sudah berpikiran yang tidak-tidak selama perjalanan. Mungkin tabrakan, kaki di amputasi dan lain sebagainya. Ternyata saat aku sampai di rumah sakit, dia sedang duduk santai di kursi depan ruang eye center dengan tubuh yang utuh tanpa kurang satu pun. Dia melakukan laser mata. Tapi, Rey mengatakan seolah-olah ayahnya akan mati dalam beberapa detik. Rey menarik-narik kemejaku membuat aku menunduk melihatnya. "Kenapa, Rey?" "Ayah bilang aku akan mendapat waffle pizza dari yang mulia ratu setelah aku bisa membuatmu datang ke sini." Aku mendelik jahat pada Abi. Bisa-bisanya dia menyogok anaknya sendiri hanya untuk kepentingan dirinya. "Kau benar-benar." Desisku murka. "Kau tidak bisa membayar seorang anak demi kebohongan." "Siapa yang berbohong?" "Yang mulia ratu." Kudengar Rey merengek sambil menarik kemejaku lagi. Kali ini membuat ujungnya keluar dari celana jeansku. "Ya, oke oke yang mulia ratu akan buatkan waffle pizza untukmu." "Asssiikkk." Kedua tangannya mengepal dan diangkat ke udara. "Dilihat dari kacamata hukum mana pun, kau itu telah berbohong padaku. Kau bilang, kau di operasi. Tapi kenyataannya apa?" "Melakukan laser mata minus itu termasuk ke dalam operasi, kalau kau tidak tahu." Astaga!! Aku menjejakan kaki ke tanah dengan jengkel. "Tapi, kau melakukan laser mata sudah beberapa hari yang lalu, tadi itu kau hanya melakukan pemeriksaan pasca operasi." "Memang iya." Katanya santai lalu mengayun-ayunkan tangan yang bergandengan dengan Rey, terlihat begitu sangat bahagia di bawah terik matahari. "Lalu, kenapa Rey menelponku seolah kau sedang melakukan operasi besar?" Aku memegang kepalaku seolah beberapa detik lagi mau pecah berantakan. "Kau saja yang menanggapinya berlebihan. Bukankah Rey hanya mengatakan 'yang mulia ratu, ayah sedang diperiksa dokter. Ayah di operasi'." Dia menirukan suara Rey yang sama sekali tidak mirip. "Pada saat itu dokter memang sedang memeriksa mataku, dan aku memang melakukan operasi laser mata. Jadi, di mana letak kesalahannya?" "Abyan!!!" Aku berteriak kencang. "Kau, benar-benar menyebalkan!" Aku bukan nabi yang bisa sempurna. Kesabaranku ada batasnya yang tak sanggup aku bendung lagi. Jadi, demi menyalurkan betapa kesalnya aku sekarang, dengan sekali hentakan aku melompat ke punggung Abi dan melayangkan serangan brutal padanya. "Aarrggghhh!! Ana hentikan! Astaga, kau gila, ya!" aku tidak akan berhenti di sana. Tubuh Abi berputar-putar berusaha menyingkirkan tubuhku di punggungnya seperti aku ini monyet nangkring yang harus dienyahkan. "Astagfirullah, Lusiana. Turun dari punggungku! Ana, turun! Ya ampun leherku, aahh rambutku. Sakit. Ana, lepaskan!" "Rasakan!" Aku tertawa puas. "Itulah akibatnya kalau kau mempermainkanku." Kini giliranku yang tertawa di atas penderitaan Abi. Rasakan! "Ayah, yang mulia ratu, kalian jadi tontonan!" Suara Rey yang melengking menghentikan aktifitas brutalku. Mataku mengerjap berkali-kali merasa malu setengah mati, saat aku menyadari bahwa kami sudah berada di tengah lapangan parkiran dan semua orang menonton kami. Ana, apa yang baru saja kau lakukan. "Lusiana, turun dari punggungku atau kau ingin terus jadi tontonan seperti ini?" Abi menggeram dan aku luar biasa malu hingga rasanya ingin mengubur Abi hidup-hidup. Aku menggeram melihat tangan kiriku menjambak rambut Abi, tangan kananku melingkar di lehernya menyumbat pernapasannya. Kedua kakiku yang melingkar di pingganya dengan erat mengendur dan perlahan turun dari punggungnya. Lantas, kami berdua membungkuk meminta maaf kepada orang-orang sekitar sambil menahan malu. Dan secara bersamaan ponselku berbunyi. "Hallo," Suara khas miss Joana terdengar di seberang sana. "Miiss Joana, maaf aku baru mau berangkat. Bisakah kau menunggu sebentar lagi? Aku akan segera ke sana." Aku segera hengkang dari tempatku berpijak menghalau segala rasa malu menuju letak di mana mobilku diparkir. "Mau bertemu dengan seseorang?" Langkah Abi menyamaiku, diiringi gerutuan Rey yang mengeluh kepanasan. "Bukan urusanmu." Aku berhenti, mengawasi sekitar mencari keberadaan mobilku. Sepertinya aku butuh sebuah alat yang bisa menggiringku menuju tempat mobilku diparkir. "Kalau yang mulia ratu pergi, lalu bagaimana dengan waffle pizzaku?" Aku menghela napas saat Rey tiba-tiba berkata, lalu melihat pada Abi. "Aku akan menemui miss Joana. Wedding plannerku. Sebentar saja, kalau kau mau, kau bisa menunggu di Read Eat." "Tapi, kami sudah lapar yang mulia ratu." Rey merengek keras seperti Nobita yang akan ditinggal menikah oleh Sizuka. Sementara aku masih belum menemukan mobilku. "Abi, please tolong bujuk Rey. Aku hanya punya waktu hari ini saja untuk membicarakan soal pernikahanku." "Oke, kalau begitu aku akan ikut bersamamu." Nah, itu dia mobilku. "Tidak bisa." Tentu saja aku menolak. "Kau tidak bisa ikut bersamaku." Aku menonaktifkan alarm mobil tapi bersamaan dengan aku membuka pintu mobil, aku menyadari ban mobil bagian depanku kempes. Ya Tuhan apalagi ini. Kakiku menendang ban tersebut, lalu menelitinya. Dan benar-benar kempes. "Nah, takdir memang menginginkan kita bersama." Senyum tipis menghiasi wajah Abi, merasa puas. "Tidak. Aku akan pergi bersama Ben." "Ben?" Tanyanya bingung. "Mendengar dari percakapanmu di telepon dengan miss Joana, kau sedang buru-buru. Apa masih ada waktu untuk menunggu Ben, pulang dari Bandung?" "Dari mana kau tahu Ben pergi ke Bandung?" "Bagaimana aku tidak tahu kalau dia mengumumkannya ke seluruh dunia." "Astaga!" Aku menepuk dahiku. Lalu memasukan kembali kunci mobil ke dalam tas dan merogoh ponselku untuk menghubungi bengkel. "Kau pikir untuk apa aku menyuruh Rey, menelponmu agar kau datang ke sini." "Untuk apa? Untuk menghiburku?" Dia mengedikkan kedua bahunya sambil memalingkan wajah. Mungkin sedang menyembunyikan wajahnya yang memerah. Aku menyipitkan mata berusaha mereka-reka apakah dia benar-benar melakukan hal tersebut. "Waahh,kau manis sekali." Aku tersenyum jahil. "Tentu saja, tidak." Serunya cepat dan tampangnya berubah jadi malu-malu membuat aku ingin tertawa. "Aku hanya ingin mencoba mata baruku dengan melihat jeleknya wajah jengkelmu, karena ditinggal Ben ke Bandung untuk merayakan hari ulang tahun mantan pacarnya." "Abyan!" Aku berteriak kencang. Wajah menggemaskannya musnah sudah. "Kau benar-benar minta di mutilasi." Detik berikutnya yang dia lakukan adalah merangkul leherku dengan satu tangannya sementara satu tangannya yang bebas menggandeng Rey, dan memasukan kami berdua ke dalam mobilnya persis seperti sebuah penculikan. "Kenapa orang dewasa tidak bertingkah seperti orang dewasa." Aku dan Abi saling pandang mendengar sebuah suara berupa sindiran lalu memalingkan pandangan ke kursi penumpang di belakang, dan mendapati Rey duduk di dana dengan wajah datarnya sambil menyesap s**u kotak rasa coklat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN