What a day

1128 Kata
Tempat ini, dunia yang berputar seperti kekonyolan srimulat. Seolah sedang mempermainkanku, menjadikan aku badut jalanan. Hari ini seharusnya aku menikahi Ben, tapi baru saja aku merusak segalanya. Lebih parahnya lagi, aku mempersatukan kembali cintanya Ben yang hilang. Sempurna. Aku memang pacar yang sangat pengertian. Aku hendak berjalan menuju dapur ingin membuat kopi untuk diriku sendiri, tepat saat itu Lidia tergopoh masuk ke dapur mencari sesuatu. "Ada apa?" badanku berbalik, mengambil kopi yang baru saja keluar dari mesin pembuat kopi. Lidia menghela napas lega saat melihatku. "Mbak, ada banyak orang di luar sana." keningku berkerut bingung. Kalau tidak salah aku masih berada di Reat Eat, bukan surga. Apa yang salah dengan banyak orang di luar sana. "Mereka mengusir para pengunjung." "Apa?" aku kembali menyimpan cangkir yang belum sempat aku minum di atas meja. "Maksudnya? Mengusir bagaimana?" Tanpa menunggu jawaban dari Lidia, bergegas aku berjalan keluar dari dapur. Diikuti Lidia dengan wajah ketakutan dan penuh keringat. "Apa-apan ini?" Beberapa pria berperawakan tambun terlihat sedang mengusir para pengunjung Read Eat. Mereka satu per satu pergi dari mejanya tanpa membayar. Gila! Satu orang pria jangkung, rambut klimis belah pinggir dengan kumis tipis menghampiriku. Gayanya petantang petenteng dengan kalung emas rantai menghiasi lehernya. Ya, inilah panggung srimulat. Dia memainkannya dengan sangat baik. "Lusiana Natawijaya." Katanya sambil meneliti sebuah dokumen di tangannya seolah sedang membaca naskah. "Ada apa?" ujarku. "Mulai hari ini, kau harus angkat kaki dari sini." "APA?!" suaraku menggelegar di seluruh kafe. "Apa maksudmu dengan aku harus angkat kaki dari restauranku sendiri? Hah?" Pria-pria tambun yang memakai jaket kulit hitam itu bergerak maju, mengerumuni pria si rambut klimis, berkacak pinggang, membusungkan dadanya lalu menatapku tajam. Aku tak mau kalah. Walau ku pikir bisa saja mereka menghajarku sampai babak belur. "Karena kau tidak bisa membayar semua hutang-hutangmu, jadi restauran yang kau jaminkan padaku, harus aku sita." "APA?!" kini suaraku lebih keras dari biasanya. Melengking memekakan telinga. Pria rambut klimis itu nyaris lompat dari tempat. Lidia yang berada di sampingku mengelus dadanya sambil mulutnya bergerak tak karuan. Seperti sedang membaca mantra. "Aku tidak pernah menjaminkan restauran ini kepada siapapun. Dan, apa kau bilang tadi? Hutang? Sejak kapan aku meminjam uang padamu!" Si klimis itu menyunggingkan senyumnya. Dia melemparkan dokumen yang ada di tangannya padaku, lalu dengan sigap aku menangkapnya, membuka setiap lembar demi lembar pada dokumen tersebut. Aku tidak bisa memahami apa-apa di dalam nya selain tanda tanganku yang tercetak di atas materai. Tanda tanganku! Sejak kapan aku melakukannya. "Bisa kau jelaskan apa ini?" Aku mengangkat dokumen itu ke udara. "Hutangmu 500 juta," katanya sambil memelintir ujung kumisnya. "800jt dengan bunga yang masih berjalan. Karena ini sudah melebihi jatuh tempo, dan tidak ada niat untuk membayar jadi, restauran yang kau jaminkan ini jadi milikku." Ya Tuhan. "Sejak kapan aku berhutang padamu? Aku tidak pernah merasa membubuhi tanda tanganku di sana." Dokumen yang ada di tanganku melayang-layang di udara. Kedua mata si pria klimis bergerak mengikuti gerakan dokumem yang aku pegang. Gigiku menggemeretak menahan emosi. "Kau tidak bisa mengelak," dengan cepat dia merampas dokumen tersebut. "Semua bukti ini asli. Termasuk sertifikat restauran ini." Hah. Sertifikat. Bagaimana bisa dia memegang sertifikatnya. Aku harus tenang. Bisa saja dia penipu yang berusaha sedang memerasku. "Mana buktinya?" Ujarku menantang. Tetap berusaha terlihat setenang mungkin. Satu orang pria tambun berambut kribo membuka tas hitam, mengeluarkan beberapa kertas dari dalam, kemudian memberikannya pada si klimis. "Ini sertifikat restauran," dia mengacungkannya ke udara, lalu melemparkan ke atas meja. "Ini, surat izin usaha, ini bukti transaksi yang langsung masuk ke nomor rekening restauran, ini foto kopi kartu penduduk, dan ini rincian penghasilan restauran ini. Semua bukti-buktinya ada di sini." Semua yang dia keluarkan dari tas berserakan di atas meja. Aku memeriksanya dengan acak. Meneliti satu per satu dengan benar. Semua yang sedang aku lihat semua milikku. Milikku! Tapi aku tidak pernah memberikan semua ini padanya. Ada apa ini ya Tuhan. Kepalaku mulai berdenyut, berputar-putar seperti sedang menaiki ombak banyu di pasar malam. Aku memegangi ujung meja kayu demi mempertahankan kesimbangan. Aku tidak boleh pingsan. Setidaknya untuk sekarang. Bagaimana bisa ini terjadi. Mereka memungut bukti-bukti itu di atas meja, memasukan kembali ke dalam tas hitam. Mendekapnya posesif seakan-akan aku akan merampasnya. Tapi ingin aku lakukan, kalau aku bisa. Namun sekarang untuk bergerak saja aku tidak mampu. "Aku beri waktu sampai besok untuk mengosongkan restauran ini." Begitu yang dikatakan si klimis. Mendadak aku benci rambutnya, kumisnya, kalung rantai emasnya dan cara dia berjalan seperti orang dengan salah urat. Aku memandang kekosongan restauran ini. Menghela napas kemudian menatap lantai yang cemerlang dengan nanar. Apakah sebentar lagi aku akan bangkrut. Menjadi yatim piatu yang gagal menikah dan miskin. "Lid, ambilkan aku air putih." Kado ulang tahun jenis apa yang sedang aku terima. *** "Aku yakin ini perbuatannya Vivi." Aku sedang bersama dengan para sahabatku. Ya, siapa lagi yang bisa aku andalkan selain mereka ketika sedang berada dalam masalah seperti ini. Aku tidak bisa menghubungi Ben sejak pertemuan kami dengan Sera. Dia syok berat. Abi. Terakhir melihatnya sedang bersama Sera. Aku bahkan terlalu gengsi untuk bertanya pada Nessa. "Aku bahkan tidak bisa menghubunginya, dia juga sudah tidak ada di rumah kosnya." Wajah-wajah mereka begitu tegang. Naya mengusap dagunya dengan telunjuk. Fay mengutak atik ponselnya seolah dia akan menemukan jawaban di sana. Sha menyilangkan kedua tangannya di d**a. Sedangkan Nessa, dia sedang membuatkan minuman untuk kami di dapur yang sepi. Read Eat sudah dipasang tulisan 'Disita' besar-besar. Mustahil ada orang yang memaksa masuk. Kecuali.. Suara pintu private zone terbuka. Nessa masuk dengan beberapa minuman di atas nampan. Diikuti bang Arsen yang cengar cengir mengekor Nessa dari belakang. "Ada apa dengan restauranmu?" Begitu bang Arsen masuk dia langsung bertanya membuat moodku makin turun. Tidak lupa dia mengerling pada Nessa menjijikan. Kenapa gayanya seperti itu. Sedangkan Nessa, sama sekali tidak menanggapi. Kabur darinya lalu duduk di kursi panjang. "Tadi pagi ada orang debtcollector mendatangi Ana dan mau menyita restauran ini," tahu kalau aku sedang terguncang jadi Fay mewakiliku. "Sepertinya Vivi sudah menjebak Ana." "Dari awal aku sudah mengira memang ada yang tidak beres dengan anak itu." Jawab bang Arsen sambil duduk bersama kami. Lalu menenggak air sirup yang ada di atas meja. Nessa melotot tapi bang Arsen justru tersenyum. "Bagaimana kronologisnya?" "Sertifikat restauran ini, serta izin usaha dan buku tabungan rekening semua dijadikan jaminan. Termasuk memalsukan tanda tangan Ana. Dia sudah tamat. Kalau pun mau dibawa ke jalur hukum semua bukti memang milik Ana. Agak susah untuk menang." Riwayatku memang benar-benar sudah tamat. Sebentar lagi aku akan jatuh miskin. Semua warisan Ayah akan jatuh ke tangan sang penagih hutang. Si klimis itu. Membayangkannya saja sudah cukup membuatku mau mati. "Kau bisa sewa pengacara, dan cari Vivi." Mataku terpejam. Rasa kantuk mulai menggelayuti, tapi ini bukan saatnya untuk tidur. Harus ke mana aku mencari Vivi. Aku tidak tahu rumahnya di kampung halaman. Lagi pula Palembang itu jauh. Aku mencari dia di mana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN