Aku terus menatapnya dengan sorot mata yang hanya bisa digambarkan sebagai tatapan mendamba ke arah Abi, yang sekarang sedang menempelkan keningnya padaku. Terjadi keheningan yang bergemuruh. Seulas senyum menggerakan sudut-sudut mulut Abi. Karena jarak kami hanya beberapa centimeter, aku bisa merasakan deru napas Abi yang menerpa kulit wajahku.
Tanpa bisa aku cegah dan tidak menduganya. Aku menaruh jari di bibirnya. Menyeka sisa-sisa lipstik yang kini menempel di sudut bibirnya. Seketika merasa menyesal aku telah memercayai sales kosmetik yang mengatakan kalau produknya jenis lipstik waterproof. Padahal sama sekali tidak.
Dan juga, Abi tidak bisa menyembunyikan kekehannya membuatku agak bingung. Tapi detik berikutnya saat ibu jari Abi mengusap permukaan bibirku, aku mengerti arti kekehannya itu.
"Maaf, aku membuatnya berantakan."
Aku bergerak mundur membuat jarak diantara kami, kemudian dengan cepat mengusap bibirku oleh telapak tangan. Masih dalam kegugupan, aku segera mengubek tas dan langsung menemukan kaca berukuran kecil, memeriksa keadaan wajahku saat ini. Benar saja, lipstik yang katanya waterproof justru membuat bibirku belepotan.
"It's okay, aku lebih suka lipstikku yang berantakan daripada maskaraku."
Aku tertawa dan tersipu, lalu melihat Abi termenung-menung. Entah sejak kapan fokusnya seperti berantakan. Wajahnya yang gelap membuat aku bertanya-tanya apakah setelah aku melakukan aktifitas orang dewasa dengannya, dia memikirkan 'istrinya'. Merasa bersalah atau apa.
Karena kenyataan ini memang masih mengganggu pikiranku. Walau Abi baru saja meyakinkanku bahwa status suami istri mereka hanya di atas kertas, tapi tetap saja rasa takut perasaannya kembali bersemi pada Sera, masih menggelayutiku. Bayangan kalau pesona wanita itu perlahan mengikis perasaanya padaku, dan menumbuhkan kembali cintanya yang terkubur dalam terus berputar-putar.
Seperti yang wanita itu katakan, kalau Rey memang seharusnya bersama dengan kedua orang tuanya yang utuh. Bersama Abi dan Sera, ibu kandungnya. Bukan bersamaku yang bukan siapa-siapanya. Rey, bisa saja menjadi sebuah alasan yang kuat untuk Abi kembali meninjau ulang, apakah harus berpisah atau mempertahankan pernikahan semu mereka. Sejauh ini banyak dari guncangan pernikahan yang tetap dipertahankan dengan anak sebagai alasan. Mungkin Rey juga demikian. Semua bisa saja terjadi.
Sebelum semua itu membuatku gila, aku memutuskan untuk bergegas masuk ke dalam rumah.
"Aku.. Akan turun."
"Ya,"
Sebelum aku benar-benar ke luar dari mobilnya, Abi mengusap rambutku terlebih dulu dan mengecup singkat pelipisku. Walau hanya kecupan kecil tapi sukses membuat hatiku sedikit lebih tenang. Setidaknya untuk malam ini. Sebagai pengantar tidur.
***
Aku dikejutkan dengan beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan w******p dari Rama. Semalam aku terlalu lelah untuk memeriksa kembali ponselku sebelum tidur, jadi segala pesan-pesannya terbengkalai tidak terjawab.
Karena hari ini aku free (memang sudah tidak ada kerjaan) aku memutuskan mengunjungi show room Rama untuk mengambil barang yang tertinggal. Dia enggan memberitahuku barang apa yang tertinggal. Katanya biar aku saja yang lihat sendiri. Perasaan aku tidak menaruh dokumen rahasia negara di dalam mobil.
Jam 10 kurasa masih pagi. Tapi show room dan bengkel Rama sudah ramai pengunjung. Saat aku sedang mencari keberadaan Rama ada yang menepuk pundakku dari belakang. Rama. Hari ini dia tidak mengenakan seragam bengkelnya, tapi mengenakan kemeja abu-abu gelap sepasang dengan celana cino. Serta sepatu vans hitam.
"Hai,"
"Oh, hai."
"Maaf membuatmu harus datang ke sini, hari ini lumayan ramai."
Rama mengedarkan pandangan ke sekeliling memeperlihatkan padaku kalau semua orang yang ada di sini itu pengunjung bengkelnya bukan hantu.
"Tidak apa-apa, aku memang lumayan senggang."
Bukan senggang lagi, sekarang aku termasuk ke dalam kategori 'manusia gabut'. Ya, menjadi pengangguran dan miskin di usia 28 tahun ku rasa bukan bagian dari rencana hidupku. Ditambah lagi sekarang ini aku sedang dalam melakukan misi menunggu bercerainya pria beristri. Oh, apa yang sedang aku lakukan di dunia ini. Apakah ada nasib yang lebih parah lagi dari yang aku alami saat ini.
"Barangnya ada di dalam," Rama menunjuk ke arah sebuah pintu terbuka di belakangnya. "Kantorku."
Aku mengangguk. Rama berjalan di depanku, dan aku mengikutinya dari belakang. Kami masuk ke dalam sebuah ruangan yang dia bilang kantor. Ku rasa ini tidak bisa di bilang kantor, mungkin lebih tepatnya ruang kerja. Karena hanya ada satu ruangan yang di dalamnya terdapat satu set meja dan kursi kayu, yang di atasnya terdapat komputer.
Rama mempersilakan aku duduk di sebuah bangku besi. Sementara dia berjalan ke arah meja, lalu membuka laci di sana dan mengeluarkan sebuah tas kecil berwarna pink. Hah! Tas pink!
"Tapi, maaf karena ku pikir ini bukan apa-apa jadi ku buka isinya.." Rama berkata hati-hati. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk lanc,"
Sebelum Rama bisa menyelesaikan kalimatnya, aku sudah bangkit berdiri lalu beringsut dengan gerakan secepat mungkin dan merampas tas pink yang menggantung di udara, di tangan Rama.
"Okay," ucapku gugup. Sambil terengah aku mendekap tas kecil warna pink di d**a. Memeluknya posesif agar tidak ada yang bisa meraihnya. Termasuk Rama. Walau dia sudah mengetahui isinya. "Terima kasih."
Aku memejamkan mata, mendesah malu. Lalu berjalan lunglai kembali duduk di kursi besi. Mengutuk diriku dalam hati, bisa-bisanya aku meninggalkan pakaian dalamku di dalam mobil yang akan kujual.
Aku membuka tas kecil pink ini, mengintip pelan isinya, memeriksa isi di dalamnya. Setidak-tidaknya ini adalah pakaian dalam terbaik dan termahal yang aku punya. Dan bersyukur karena pakaian dalam dari Victoria's Secret Angel yang tertinggal. Jadi Rama yang melihatnya pun tidak begitu menjijikan. Tapi aku kembali mendesah, sedikit menyesal kenapa aku membeli warna kuning. Kuning menyala. Astaga!
Dari tempat Rama berdiri, dia mengulum senyum. Berusaha sekuat mungkin tidak terlihat sedang menertawakanku. Tapi aku masih bisa melihat dari balik punggung tangannya yang dia gunakan untuk menutup mulutnya. Perasaan canggung yang menyergap diantara kami sukses buyar oleh seseorang yang mendadak masuk ke dalam ruang kerja.
Pria yang mengenakan seragam bengkel warna biru dongker itu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia memegang dongkrak di tangannya. Seragamnya tampak lusuh dan kotor, mungkin karena oli atau apa. Tangannya juga sama, begitu belepotan, menggambarkan tangan itu memang bukan bekerja di ruangan ber AC yang nyaman. Tapi di tempat yang bergumul dengan bensin, oli, dan minyak-minyak lain yang akan membuat baju serta tanganmu kotor.
"Parah Mas, harus turun mesin kayanya."
Pria itu tetap mengelap peluhnya di wajah oleh tangannya yang penuh noda. Tidak peduli, yang penting dia bisa menyeka keringatnya.
"Panggil Adi saja kalau tidak bisa sendiri. Terus kasih tahu yang punya motor."
Pria itu mengangguk, dan saat itulah aku bisa melihat wajahnya dengan jelas ketika pria itu berbalik akan keluar dari ruang kerja.
Wait. Tunggu. Pria itu.