"ANA, tanggal-tanggal di kalender itu tidak akan pernah berubah sekalipun bola matamu keluar jatuh ke lantai."
Aku menggeram sebal. Waktu yang tersisa hanya tinggal 20 hari lagi. Kenapa waktu begitu cepat berlalu. Apa aku harus mulai menyusun daftar rencana apa saja yang akan aku lakukan di setiap harinya, agar waktuku bersama Abi tidak terbuang sia-sia. Kalau seperti itu aku persis orang yang telah di vonis hidupnya tidak akan lama lagi.
"Dua puluh hari lagi." Gumamku tanpa semangat.
"Tidak sabar untuk menjadi istri Benandra, sampai-sampai kau harus melihat tanggal setiap hari?" Nada bicara Fay masih tetap sinis jika membicarakan soal Ben. "Ana, calm down." Ucap Fay terdengar jengah. "Apa istimewanya, sih, jadi istri Ben?"
"Mana aku tahu, jadi istrinya saja belum."
"Hey!" Fay berteriak saat aku beranjak dari tempat duduk secara tiba-tiba dengan membanting bantal sofa ke lantai. "Apakah menjadi calon pengantin membuatmu jadi senewen?"
"Fay.."
"Hey, apa yang terjadi padamu?" Fay mendekat dengan tergopoh-gopoh. Mulai menyadari ada yang tidak beres denganku. "Ini bukan air mata bahagia?" Telunjuk lentiknya menunjuk ke mataku, dan disaat itulah aku sadar kalau aku menangis. Ah, aku tidak suka situasi seperti ini. "Kau bisa bicarakan apapun padaku, An."
"Jika ada seseorang yang mengaku cinta padamu disaat kau akan menikah, apa yang akan kau lakukan?"
Fay mengernyitkan dahi. "Yang mengaku cinta padaku banyak." Katanya sombong. "Tapi, mereka selalu mengaku saat akan mencapai k*****s, bukan saat aku dilamar orang."
Seharusnya aku tidak mengatakan apa-apa padanya. Aku berdecak lalu membelakangi Fay menatap keluar jendela private zone. Kudengar Fay tertawa jalang. "Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?"
"Ada seseorang yang mengaku cinta padaku."
"Abi?"
Kepalaku otomatis menoleh menatap takjub pada Fay. Senyum meledek seketika muncul di wajahnya.
"Sepertinya aku tidak perlu lagi menjabarkan apa yang aku rasakan sekarang," aku mencibir. "Anggap kau mengerti apa yang terjadi pada diriku, sekarang pertanyaannya." Aku mengela napas. "Bagaimana dengan Ben?"
"Kenapa kau mengkhawatirkan Ben?" Tanyanya. "Yang harus dikhawatirkan itu, hatimu." Dia menunjuk ke arah dadaku. "Bagaimana caranya kau mengendalikan sesuatu yang ada di hatimu saat ini."
"Aku tidak tahu." Fay bersandar ke kusen jendela lalu melipat kedua tangannya di d**a. "Anak muda jaman sekarang mengatakan kalau aku ini sedang galau. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pada hatiku. Seperti tidak tahu arah."
"Bukankah arahnya sudah jelas. Ben?"
"Dia justru semakin jauh meninggalkanku."
"Kalau begitu dikejar agar tidak ketinggalan."
"Bagaimana mau dijekar, kalau Ben saja akhir-akhir ini tidak menoleh padaku. Dia fokus ke arah lain. Ke arah yang bahkan tidak nyata."
"Ibunya Rey?"
Aku mengangguk. "Yang membuat aku semakin tidak mengerti, kenapa dia bisa bersamaku sementara masih ada Sera di hatinya."
Fay mengibaskan rambutnya lalu menghadap padaku sepenuhnya. Gerak-geriknya memperlihatkan kalau masalah ini hanya setipis kulit bawang baginya.
"Kadang kaum pria hanya perlu melanjutkan hidup, karena tidak semua pria ingin terus berdiam diri di tempat tanpa melakukan perubahan. Instingnya akan terus mencari, kemudian berhenti saat menurut mereka sudah menemukan orang yang tepat. Tapi, tidak sedikit pula kaum adam salah dalam memahami keadaan. Mereka berpikir telah menempatkan hatinya untuk seseorang yang mereka pilih. Tapi, kenyataannya tidak." Fay diam sejenak, sementara aku mendengarkannya dengan khidmat. "Dan untuk kasusmu, bisa jadi, Ben hanya teringat masa lalunya. Karena menurutku kisah dia dan perempuan itu tidak tuntas. Terputus karena takdir."
"Dan jika perempuan itu masih hidup, apa ada kemungkinan Ben akan kembali padanya?"
"Bisa jadi," ucap Fay santai. "Seorang pria akan mempertahankan apa yang dia kehendaki. Ada banyak kemungkinan yang terjadi jika perempuan itu masih hidup. Satu yang sudah pasti, Abi akan bersama dengan Sera jika wanita itu masih ada di dunia ini, dan ceritanya akan berbeda."
Kalimat terakhir yang Fay ucapkan terdengar mengerikan di telingaku. Abi akan tetap bersama Sera. Lalu, Ben mungkin saja akan merebut Sera kembali, apalagi jika perasaan Sera kepada Ben masih tetap sama. Lalu aku? aku akan jadi kacang polong dalam makanan. Disingkirkan.
"So Ana, who are you going to choose between Ben and Abi? Which one makes you feel complete inside?"
"Seperti aku memang benar-benar punya pilihan saja." Aku mendengus sebal.
"Tentu saja kau punya,An. Tanyakan pada hatimu. Jangan sampai kau menyesal seumur hidupmu." Fay mengernyit seketika saat aku menatap wajahnya secara tidak fokus. Pikiranku mulai berkecamuk tidak teratur. "Ana." Dia mengibaskan tangannya di depan wajahku.
"Fay, apa hubunganku dengan Abi bisa dikatakan selingkuh?"
Kali ini Fay melongo sempurna. Kemudian bergerak mondar-mandir sambil menatap heran padaku.
"Jangan-jangan dua puluh hari yang kau bilang tadi, ada hubungannya dengan Abi dan pengakuan cintanya?"
Seharusnya aku curiga pada Fay. Selain belajar bisnis di Korea, mungkin saja dia juga belajar membaca pikiran seseorang. Dia benar-benar menakjubkan.
"Kau, 100% jenius."
***
Falshback
Pengakuan cintanya membuat aku bungkam seribu bahasa seharian penuh. Seperti seseorang yang baru saja terkena stroke yang menyerang otak dan menghilangkan ingatan sebuah bahasa. Aku linglung seketika.
Hingga sampai Abi menjemput Rey di Read Eat, aku masih tidak bisa menemukan kalimat apa yang harus aku katakan. Jantungku seakan jatuh ke perut saat tiba-tiba Abi menerobos masuk ke dalam private zone. Mengurung aku dan dia di dalam berdua.
Aku tersenyum canggung saat pria jangkung itu mengambil posisi duduk di sampingku. Dari situ, aku baru merasakan bahwa ternyata Abi punya sikap mengintimidasi dengan tatapannya. Atau mungkin aku yang terlalu gugup. Oh ayolah, kami sudah dewasa. Pengakuan cinta dari seseorang, seharusnya tidak membuat aku seperti anak remaja yang baru jatuh cinta.
Dua menit berlalu tanpa ada yang mulai berbicara. Aku mengusap belakang leherku menghilangkan rasa gugup. Abi masih dengan tenang dan damai duduk di sampingku, tidak melepas pandangannya dariku barang sedetik saja. Terpesona, ya?
Ah sial, aku tidak mau seperti orang asing yang berada di sebuah kendaraan umum. Duduk bersampingan tapi tidak berbicara, jadi aku harus memulai. Aku harus memberanikan diri untuk bertanya.
Bismillah....
"Sejak kapan?"
"Hah?" aku menoleh saat suaranya terdengar terkejut. "Suaramu kenapa? Seperti tikus terjepit pintu." Oya? Masa sih? Reflek aku berdehem seperti iklan obat batuk. "Tadi, kau mengatakan apa?"
"Sejak kapan?" suaraku mendayu-dayu jijik. "Sejak kapan kau... memiliki perasaan itu padaku?"
Wah pasti wajahku sudah memerah norak. Tanpa diperintah tanganku terangkat mengusap kedua pipiku.
"Sejak pertama kali kau menginjakan kakimu, di BBC bank." Katanya membuat aku terperangah "Dan seenaknya tebar pesona padaku."