Pusing kapalaku

1001 Kata
"Terima kasih Mbak, Ana." Hatiku lega saat Lidia memasukan amplop coklat berisi uang gaji dan pesangon selama dia bekerja di Read Eat ke dalam tasnya. Diikuti Sarah, Beni, dan juga Umar. Karyawanku ada 5 orang termasuk Vivi, tapi anak itu masih tidak aku ketahui keberadaannya. Tanggung jawabku kepada para karyawan sudah selesai. Mereka bisa mencari pekerjaan lain di luar sana yang lebih baik, dan tidak bangkrut. Mereka berempat pamit setelah menerima uang, dan aku mengantar sampai depan pintu. Mereka bekerja dengan tulus. Aku beruntung punya mereka. Sore ini aku ada janji temu dengan agent properti. Aku memang sengaja menggunakan jasa mereka untuk menjual rumah ini. Naya bilang tidak perlu dijual, cukup disewakan saja. Tapi ku rasa aku tidak akan kembali lagi ke Jakarta. Walau ada yang memintaku untuk menunggu, tapi aku sudah memutuskan untuk pergi. Lagipula tidak ada alasan untuk aku menunggu. Menunggu untuk apa, dia juga tidak menjelaskan apa-apa. Ternyata Ibu Hana sudah berada di kantor agent saat aku datang. Aku melangkah masuk dengan ragu. Bu Hana dengan ceria menyambut kedatanganku. Seolah sedang mengatakan 'uangku datang'. Tentu saja, semua agent properti dapat untung besar dari hasil penjualan. Kalau menjadi pemetik daun teh terlalu berat aku bisa alih profesi jadi agent properti. Bu Hana mengatakan kalau ada yang mau membeli rumahku tanpa penawaran. Itu bagus, terjual lebih cepat dari yang aku kira. Kalau rumahku terjual cepat itu artinya aku juga akan pulang kampung lebih cepat. Lebih cepat lebih baik, kan. "Hai, Bu Lusi." "Ha.. Hai." Agak sedikit terkejut saat dia memanggilku Lusi. Sejauh ini, seumur hidupku tidak ada yang memanggilku dengan nama depan. "Orang yang akan membeli rumahmu akan segera datang. Kita bisa tunggu di sini. Kalau kita sudah sepakat dengan harganya, aku akan langsung mengurus pemindahan kekuasan hak milik rumah dan tanah. Di sini sudah ada notaris yang akan membantu. Tenang saja, kau tidak perlu mengeluarkan biaya. Semua beres." Apa tidak ada kesempatan untuk aku menyela atau bicara. Apa semua agent properti fasih berbicara seperti ini. Jadi yang bisa aku lakukan hanya mengangguk patuh, menunggu si pembeli yang banyak uang itu datang dengan jantung berdebar. Ya, menunggu lagi. Bu Hana sibuk mengotak-atik ponselnya dan sesekali menerima panggilan lalu memeriksa brosur-brosur. Dia bilang bulan ini banyak sekali orang yang akan membeli rumah baru, rumah over kredit sampai rumah sengketa Bank. Senyumnya selalu terbit saat membicarakan kesibukannya dengan calon pembeli. Aku juga akan seperti itu kalau jadi Bu Hana. Ceria dan gembira. Ya, jelas. Uang mana yang tidak bisa membuat kita bahagia. Pintu kantor pemasaran terbuka dan tertutup. Dua orang pria paruh baya masuk dengan setelan jas hitam yang rapi, serta sepatu pentofel mengilap seperti baru di semir. Mengingatkanku pada si klimis penagih hutang. Kepalaku kembali berdenyut ketika ingatan itu datang. Bu Hana menyambut dua orang itu dan mempersilakan mereka duduk di kursi plastik. "Bu Lusi, ini orang yang akan membeli rumahmu." Aku tersentak, lalu membungkukan badan sebagai salam pada mereka. Dua orang pria itu memberikan salam kembali padaku. "Saya, Ana." Aku memperkenalkan diri dan melirik bu Hana sekilas berharap dia mendengar namaku disebut. Bahwa aku Ana, bukan Lusi. "Seperti yang sudah saya katakan tempo hari, rumah Bu Lusi," aku menolehkan kepala pada Bu Hana saat nama itu kembali disebut. "Akan dijual sebesar 400juta. Itu harga cash. Tapi kalau Bapak ingin membelinya secara kredit itu juga bisa. Saya bisa membantu prosesnya ke Bank, dan harganya akan lebih tinggi lagi karena pembayarannya dengan sistem mencicil." Wah.. Bukan hanya aku saja yang melongo di sini, tapi ke dua bapak-bapak itu juga bengong mendengar bu Hana berbicara. Aku hanya menggeleng melihatnya. "Saya akan membeli rumah itu secara cash." Salah satu bapak itu berseru. Wajah bu Hana berseri-seri. Tapi, kenapa perasaanku tidak senang. Dengan cepat dan senyum yang lebar, bu Hana mempersiapkan segala yang di butuhkan untuk transaksi jual beli. "Kita bisa melihat rumahnya hari ini?" tanya Bu Hana. "Tidak perlu melihat, saya akan langsung beli. Saya tidak bisa menunggu lama lagi." Aku menghela napas, begitukah yang orang banyak uang lakukan. Bahkan dia tidak perlu melakukan survey dan semacamnya untuk sebuah rumah dengan harga 400juta. Tapi, benar. Tidak bisa menunggu untuk hal yang ingin kau lakukan. Kalau sekarang bisa dilakukan untuk apa menunggu. Bu Hana segera mengeluarkan berkas-berkas untuk ditanda tangani penuh semangat, tapi aku justru tidak menggebu-gebu. Aku memusatkan pandanganku pada maket perumahan yang dibungkus kaca, ditaruh di atas meja kayu. Transaksi jual beli rumah membuat aku hilang minat. Padahal sebelumnya aku begitu bersemangat. Aku tahu ada apa denganku sekarang ini. Itu pasti karena dia. Dia yang memerintahkan aku untuk menunggu. Menunggu, bukan kegiatan yang menyenangkan. Aku pernah menunggu tapi akhirnya kandas juga. Lalu sekarang aku diminta kembali untuk menunggu. Siapa yang akan menjamin kalau hatiku tidak akan lagi terluka. Dia pikir aku ini halte bus. Aku tidak akan mendengarkan apa yang dia perintahkan. Tidak akan. Sekali lagi aku tidak mau menunggunya lebih lama. Aku akan segera menjual rumah ini dan pergi dari Jakarta. Ya, benar. Aku harus.. Tapi.. Apa aku harus menjualnya sekarang? Apa aku harus menunggu? Astaga.. Astaga.. Aku harus bagaimana. Oke, aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan menunggu. Aku tidak akan... "Tunggu!" Mereka menghentikan aktifitas. Bapak-bapak yang akan membeli rumahku menggantungkan bolpoinnya di udara saat akan menandatangani berkas-berkas, semantara bu Hana tertegun dalam keterkejutan melihat aku meremas berkas-berkas itu. "Ada apa, Bu Lisa?" suara bu Hana terdengar panik. "Aku tidak bisa menjual rumah ini." "Tapi, kenapa?" "Aku.. Hanya.. Aku tidak bisa saja. Apa harus ada alasannya?" "Bukankah kita sudah sepakat, Bu Lisa?" aku bisa mendengar agent properti ini menggeram. "Ya, tapi aku berubah pikiran." "Tapi," "Aku tidak bisa!" "Tapi dia akan membayar cash, Bu Lisa." bu Hana menatapku kesal. "Tapi aku tidak bisa. Dan aku bukan Lisa!" Aku berdiri, menghentakan kaki ke lantai, meremas berkas-berkas dan melemparnya ke lantai keramik. Lalu pergi dari kantor agent pemasaran. Meninggalkan bu Hana dalam keterpanaan. Gagal mendapat uang ratusan juta. Dan bapak-bapak si pembeli rumah yang melongo t***l. Aku bodoh. Aku merasa begitu payah saat aku mencari keberadaan mobilku, yang baru saja aku ingat kalau aku sudah menjualnya. Ya Tuhan ada apa dengan otakku ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN