Sebuah pembuktian

1021 Kata
Pernikahan adalah sebuah bukti bahwa aku akan mengabdikan diri untuk satu pria itu. Aku akan menerima semua yang akan terjadi pada kami di kemudian hari. Akan menanggung bersama-sama setiap masalah yang akan kami hadapi. Dan aku akan menerima dia dalam kondisi apapun. Selama dia masih ingin tetap tinggal, aku akan terus bertahan. "Aku menemukan ini di ponselnya." Fay menjatuhkan tatapannya pada layar ponsel yang aku geser ke dekatnya. "Coba kau perhatikan baik-baik, ada pantulan seorang wanita di sana." Kami sedang berada di apartemen Fay. Aku mengunjunginya setelah mengantar Rey ke sekolah. Setelah malam itu aku berhasil membuka ponsel Abi yang terkunci. Dengan bermodalkan tutorial di YouTube, aku menemukan berbagai, kejanggalan pada Abi. Ponselku tergeletak di depan Fay. Sampai akhirnya dia mengambilnya. Kemudian memeriksa sebuah foto, dari sebuah rumah. Rumah yang lengang, tanpa furniture. Dan jendela yang menghubungkan ruang tengah dengan halaman belakang, memantulkan bayangan seorang wanita. Aku yakin itu. "Kau punya pikiran apa tentang foto ini?" "Aku sudah cek, foto ini diambil langsung dari camera ponsel. Ini ponsel miliknya, berarti dia sendiri yang memotret. Lantas, siapa bayangan wanita ini?" Fay menyodorkan kembali ponselku. *Aku tidak tahu," ucap Fay. "Bisa jadi, ini hanya foto biasa." Dia mengambil tanganku. *An, kau sedang ada masalah apa? kenapa bisa kau curiga dengan suamimu sendiri? dia Abi. Orang terakhir yang aku pikirkan, punya tingkah nakal di luar sana." "Waktu bisa mengubah seseorang, Fay." Lirih ku. Menatap lelah pada Fay. "Mungkin sebaiknya, kau tanyakan soal ini langsung pada Abi. Daripada kau bertanya-tanya sendiri seperti ini." Aku kembali menempelkan punggungku ke sandaran sofa milik Fay. Menyisir rambutku ke belakang. Ya, Abi si pria baik hati. Dia sangat tulus. Tapi tidak ada satu orang pun yang bisa menjamin apakah dia akan terus menetap pada setianya. Walau aku tahu, pengkhianatan ada di urutan terakhir (bahkan nyaris tidak ada) pernikahanku, Tapi bukan berarti tidak ada kemungkinan terjadi. "Ini soal feeling, Fay." Aku menatap Fay. Menyoroti kedua matanya, berusaha menyalurkan bahwa apa yang aku katakan bukan bualan. *** Siang itu, aku memutuskan untuk menjemput Rey ke sekolah. Hari ini tidak ada kegiatan apa-apa setelah pulang sekolah. Aku memarkir mobilku di parkiran khusus untuk orang tua murid. Sambil menjinjing tas, aku melihat ada mobil Ben di sini. Anak-anak mulai berhamburan keluar dari kelas mereka, tanda bahwa jam pelajaran sekolah telah usai. Aku melangkah masuk ke dalam sekolah, menyusuri koridor kelas. Dari kejauhan aku melihat Ben sedang berdiri di bawah pohon rindang, dekat dengan kelas Rey. Aku mulai mendekat dengan menyebrangi lapangan yang luas. Rey, bersekolah di sekolah swasta dengan gedung tiga lantai. Mereka memiliki gedung kesenian sendiri, Aula serba guna, lapangan basket dan juga lapangan untuk upacara. Walau biaya sekolah untuk satu bulan cukup merogoh kocek, tapi terbayar dengan bagusnya fasilitas, dan kualitas dalam mengajar. Salah seorang anak laki mengenakan seragam sekolah dasar, berlari cepat menuju tangga. Dia berlari sambil berteriak pada teman-temannya. "Ada yang bertengkar!" katanya berkelakar. Otomatis semua murid yang dia lintasi mengundang rasa penasaran, dan mereka semua langsung berlari menaiki tangga. Aku memanjangkan leherku demi menyaksikan keributan di depan sana. Tapi, sia-sia. Keributan itu tertutup oleh kerumunan. Pasti keributan kecil, yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Saat aku melambaikan tangan pada Ben, dia yang awalnya fokus dengan ponselnya, mengalihkan pandangannya padaku. Tepat saat aku sampai di hadapan Ben, anak-anak itu bersorak kemudian setelah itu satu orang anak menggelinding si anak tangga. Terjatuh mencium lantai. Mataku mwmbukat, kemudian berlari kencang, diikuti oleh Ben. Pria itu juga menyadari kalau yang jatuh itu adalah Rey. "Rey!" Seorang anak laki-laki dengan baju sekolah yang amburadul, berlari kemudian melompat ke atas tubuh Rey, dan memukuli wajah anakku. Astaga! Ben lari lebih cepat, kemudian memisahkan mereka dengan mendorong anak laki-laki yang ada di atas tubuh Rey. Dia terkapar, dan punggungnya membentur dinding. Tepat saat Ben mengais Rey, ibu dari anak itu muncul. Menyadari ketika Ben mendorong anaknya. "Apa-apaan ini!" ibu itu memapah teman Rey. Ben tidak menanggapi, dia langsung berlari membawa seeta Rey. "Maaf, Bu. Tapi anak Ibu nemukuli anakku." Jelasku. "Jelas-jelas Brandon di dorong oleh pria tadi." *Itu karena anak Ibu memukul anak saya." Aku kembali menegaskan. Kini dengan penekanan di setiap kata. Aku tidak punya waktu lagi untuk meladeni ibu ini. Aku menyusul Ben ke depan, saat itu Ben sedang memasukkan tubuh Rey ke dalam mobilnya. Ben menyuruhku untuk ikut menemani Rey yang batuk-batuk. Urusan mobil nanti aku suruh orang untuk mengambilnya. Rey terus meringis dan mengatakan sakit, menekan sebelah tangannya di bagian perut. Lalu sebelah tangannya lagi terkulai, dan dia mengaduh saat aku menyentuhnya. "Kemungkinan tangannya patah, jangan dipegang." Terang Ben yang menyetir di depan. Hatiku mencelus mendengarnya. Seragamnya sudah tak berbentuk. Kotor di mana-mana. Bahkan dia kehilangan sebelah sepatunya. Wajahnya peluh oleh keringat. Dan seperti sobek di bagian alis. Matanya terpejam sambil menangis menahan sakit. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengatakan padanya, kita akan segera sampai rumah sakit dan dia akan baik-baik saja. Dan dengan tangan yang gemetar, aku mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Abi. Tapi pria itu tak kunjung mengangkatnya. Jadi, aku memutuskan untuk menelpon Nessa. "Nes," kataku begitu tersmbung. "Ya, An." "Tolong berikan ponselmu padanya, aku mau bicara." "Bukankah hari ini pak Abi ambil cuti, untuk tidak masuk kerja." Keningku mengernyit. Cuti? jelas-jelas tadi pagi dia memakai baju kantor dan pamit untuk bekerja. Aku mulai tidak tenang, dengan pikiran ke mana-mana. Pantas, dia menyuruhku untuk mengantar Rey ke sekolah. Sekali lagi aku menghubunginya. Dan dia langsung menjawab. "Kau di mana?" tanyaku begitu tersambung, dengan nada paling dingin yang pernah aku keluarkan. "Aku sedang ada meeting, An." "Di mana?" "Di... kan-tor." Aku menyeringai. Jelas terdengar nada bicaranya yang meragukan. "Ada apa?" "Anakmu bertengkar di sekolah, tangannya patah dan aku sedang membawanya ke rumah sakit." *Apa, An? kau serius?" "Nanti aku kirim alamat rumah sakitnya." Aku tidak peduli teriakan Abi di sebrang sana. Kali ini benar-benar sangat fatal. Dia sudah banyak membohongiku, dan sudah tidak bisa aku diamkan lagi. Entah di mana dia sekarang, aku tidak mau tahu. Kami sampai di rumah sakit. Tim rumah sakit bergerak cepat dengan membawa Rey ke dalam ruang tindakan di IGD. Aku dan Ben disuruh menunggu di luar, namun teriakan Rey memanggil namaku membuat hatiku sakit. Sedangkan ayahnya. Ben duduk bersimpuh di lantai. Terlihat sangat tidak berdaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN