Game Over

1313 Kata
Hari ini, hari terakhir fitting baju pengantin. Selama perjalanan menuju butik miss Joana, hanya kuhabiskan dengan melamun. Aku masih belum bisa melupakan perpisahan yang diucapkan Abi dua hari yang lalu. Bayangan itu terus bersarang di kepalaku, bergelut seolah sengaja tak ingin lenyap. Ben menyadarkanku saat kami sudah sampai di depan butik. Miss Joana menyambutku dengan tatapan heran. "Ini.." miss Joana memandangi Ben penuh tanya. "Ini calon pengantin prianya, Miss." Aku menerangkan. Mata miss Joana tidak lepas dari keterkejutan. Begitu pun dengan Rani sang asisten yang berada di belakang punggung miss Joana. "Bisakah tunanganku mencoba kembali bajunya?" Masih dalam kebingungan, miss Joana mengangguk dan menyuruh Rani mengambilkan kebayaku serta baju Ben. "Kenapa mereka memandangiku seperti hantu?" "Mereka terkejut karena ternyata aku punya calon pengantin pria." Aku menjawab seadanya kemudian melengos pergi mengikuti Rani. Aku kembali melihat bayanganku di cermin mengenakan kebaya ungu pastel yang sempat rusak di bagian bawahnya. Saat aku akan membalikan badan, jantungku berdegup cepat. Mataku mengerjap berkali-kali saat retinanya menangkap sosok bayangan seorang pria di cermin sedang berdiri di belakangku. Abi. Ini tidak mungkin. Aku mengangkat kain kebayaku yang menjuntai menyapu lantai, demi menghampiri sosoknya yang berdiri sambil tersenyun padaku. Aku berjalan nyaris berlari ke arahnya, tapi dengan keseimbangan yang kurang, kakiku terjerambap oleh heelsku sendiri. Dan tubuhku terhuyung ke depan, tapi seseorang menahannya. Ben. Aku mengerjap, memandangi sekitar berusaha mencari keberadaan Abi. Tapi tidak kutemukan dia di mana-mana. Sesaat aku tersadar kalau itu hanya ilusi. Dia tidak nyata. Alih-alih merasakan sakit di pergelangan kakiku, aku melangkah melepaskan rengkuhan Ben di tubuhku. Aku duduk di bangku panjang di antara jejeran baju-baju pengantin. Ben ikut duduk di sampingku. "Ada yang aneh padamu, An." Ben berkata. "Kau sering melamun. Tidak mendengarkanku saat bicara, bahkan tidak membalas apa yang aku katakan." Aku tahu itu. Dan aku tahu apa penyebabnya. Aku tahu siapa yang sedang menyita perhatianku saat ini. "Seperti yang sering kau katakan padaku, untuk saling jujur dan bicara apapun yang kita rasakan kepada pasangan." Aku menelan ludah sambil tercenung memandangi lantai. "Jadi, bisakah kau katakan, ada apa dengan dirimu?" Aku harus bicara? Apa kalimat yang tepat untuk aku katakan disaat tiga hari lagi menuju hari pernikahanku. Akankah ini terdengar adil? "Aku.. aku..." aku tak sanggup melihat wajah Ben. Tapi kurasa aku harus mengatakannya. Ini soal hati. Soal perasaan. Aku memejamkan mata berusaha mengumpulkan keberanianku. "Aku tidak bisa melakukan ini, Ben." "Melakukan apa?" Kepalaku berusaha mendongak menatap wajah Ben yang tenang dan datar. "Aku merasa bahwa hatimu untukku kosong." Dahi Ben berkerut. "Aku tidak ingin kita salah mengambil keputusan." Mataku berkeliaran kemana-mana. "Jadi sebelum kita jauh melangkah, kurasa kita harus akhiri ini semuanya." "Apa?!" Ben terlonjak di tempat seperti ada yang menyulutkannya dengan api. "Maksudmu, kau mau... kau mau kita..." "Aku mau kita batalkan pernikahan kita." Ucapku. Suaraku tertahan di tenggorokan. "Kau gila." Ben berdesis sambil menggelengkan kepalanya. "Kau bergurau, An." "Aku serius." Ucapku ngotot. "Tapi, kenapa?" Kenapa? Aku hanya merasa membohongi diriku sendiri jika ini aku teruskan. Aku mungkin hanya pura-pura bahagia. "Aku hanya.. tidak bisa. Maaf." *** Ben membuka pintu private zone seolah dia memang tahu bahwa aku akan lari ke sini. Seketika ada bunyi pintu terkunci. Aku segera membalikan badan menghadapnya. Wajahnya merah padam. Dia mulai bergerak mendekat padaku lalu berhenti di jarak kira-kira satu meter dariku. "Aku tidak bisa menerima alasan apapun, An. Ini konyol." Dia mengacak rambutnya. "Kau memutuskan hubungan kita disaat tiga hari lagi kita akan menikah." "Kau lebih mengkhawatirkan kegagalan pernikahan kita dibandingkan dengan takut kehilangan diriku?" Dia memiringkan kepalanya. "Sekarang aku tanya, apa alasanmu menikahiku?" Dia menatapku antara tidak percaya dan marah. Dia memang tidak mengerti. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah mengerti terhadap perasaannya sendiri dan aku. Kakiku yang berpijak di lantai bergerak menuju sebuah laci parsiti, membukanya dan mengambil sebuah kotak motif polkadot yang berisi setumpuk surat yang Viona berikan padaku. "Awalnya aku marah sekali," aku menyodorkan kotak tersebut ke hadapan Ben. Dia mengulurkan tangannya menerima kotak tersebut. "Tapi, sepertinya aku harus berterima kasih pada Viona." Dia membuka penutupnya dan seketika mengejang saat mendapati apa isi di dalamnya. Ben menatapku sekilas melihat ekspresiku lalu kembali memusatkan seluruh perhatiannya ke amplop-amplop berisi surat yang aku yakini sudah dia hapal isinya diluar kepala. "Tolong lepaskan aku, Ben." Kudengar diriku memohon pada Ben persis seperti pelaku pembunuhan yang minta dilepaskan dari hukuman mati. Ben masih menatap tumpukan amplop-amplop tersebut kemudian mengambilnya satu secara acak. "Aku tidak ingin kau jadikan pelarian hanya untuk membuatmu melupakan Sera. Apakah aku serendah itu dan sama sekali tidak berarti di matamu?" Aku tidak tahu apakah dia mendengarku atau tidak. Ben mulai membuka amplop dan mengeluarkan suratnya. "Surat terakhir yang kau kirim untuknya itu tiga bulan yang lalu." Aku menelan ludah susah payah. "Dan tertulis di sana bahwa kau masih ingin bertemu dengannya. Apa itu masih tidak cukup membuktikan bahwa kau masih mencintai dan menginginkannya, Ben? Apa setelah aku tahu bahwa aku sama sekali tidak ada di hatimu, aku akan tetap bertahan?" Dia meremas kertas yang ada di tangannya. "Aku mencintaimu, Ben." Rasa sesak didasar hati seakan menghimpit dadaku. "Tapi aku tidak sebodoh itu untuk tetap bertahan bersama pria yang sama sekali tidak mencintaiku." "Aku juga mencintaimu, Ana." Ben menjawab dengan cepat. "Aku cinta." "Tidak, Ben!" Aku membentaknya. Mulai mendominasi dengan mempertahankan argumenku. "Kau hanya pria putus asa terhadap wanita yang kau cintai, kemudian memutuskan untuk melanjutkan hidupmu dengan menggunakan aku sebagai objek percobaanmu agar kau bisa melupakan Sera. Kau mencari peruntungan di tengah kemungkinan yang terjadi di hidupmu bilamana kau tidak bisa lagi jatuh cinta." Dia diam dengan kertas yang sudah tidak jelas bentuknya di dalam genggaman tangannya. Aku memutuskan kembali bersuara saat Ben tidak menunjukan tanda-tanda akan membuka mulutnya. Tapi sebelumnya aku menarik napas dalam mengumpulkan seluruh keberanianku. "Aku ingin kita berpisah." Suaraku tercekat. Aku merasa ada yang menyumbat tenggorokanku. "Aku ingin berjalan dengan dirimu secara utuh bukan hanya dengan bayanganmu saja. Aku tidak ingin menetap di hati orang yang sedikitpun tidak menempatkan aku dihatinya." Aku tercenung memandangi lantai keramik yang cemerlang. "Maafkan aku harus memutuskan disaat kita mulai mendekati akhir. Maaf, Ben." Aku tahu bahwa mulai detik ini semuanya berakhir. Begitu saja. Penantianku selama ini tidak berarti apa-apa lagi. Semuanya terasa berat dan melegakan disaat yang bersamaan ketika Ben menurunkan kotak polkadot sialan itu ke atas meja lalu bergerak mendekat padaku. Aku membiarkan Ben memelukku dengan kedua tangannya yang kokoh. Kedua tanganku menjuntai di sisi tubuhku, tidak bergerak sama sekali seperti manekin. Air mataku luruh membasahi wajahku. Saat ketika Ben mencium lembut kepalaku, aku membenamkan wajahku di bahu Ben. Bisa kurasakan ada isakan halus yang tertangkap indra pendengaranku dan kedua bahuku bergetar hebat. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mendeskripsikan perasaanku. Andai saja aku memiliki kemampuan menulis lirik lagu dan bernyanyi, aku akan abadikan nama Ben disana seperti Taylor Swift mengabadikan kisah-kisah cintanya dengan setiap mantan pacarnya di lagu-lagu terbarunya sehingga Ben bisa tahu perasaanku tanpa aku mengatakannya secara langsung. "Oke, aku tidak akan memaksamu lagi, An." Ujar Ben pada akhirnya. "Kita bisa menundanya, bukan membatalkan. Kita tidak bisa berpisah begitu saja." Aku melepas pelukannya. "Jika Sera masih hidup dan menemuimu, apa kata-katamu masih tetap sama?" "An, tidak perlu membahas dia lagi." Suara Ben terdengar putus asa. Dia memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. Kakiku bergerak menuju rak-rak buku. Mencari n****+ Kidung Sunyi di deretan buku buku yang memadati isi ruangnya. Begitu aku menemukan buku bersampul biru langit yang kusam, aku menariknya lalu mengambil satu lembar kertas kosong. Mencatat sederet nomor ponsel di sana. Aku menarik napas dalam sebelum aku berkata pada Ben. "Hubungi nomor ini, bilang padanya kalau kau memiliki n****+ Kidung Sunyi." Ben menatap n****+ tersebut bersama dengan satu lembar kertas di atasnya berisikan nomor ponsel Sera. "Nomor siapa ini?" "Kau cinta padaku, 'kan?" aku bertanya namun kening Ben berkerut bingung. "Kalau kau ingin buktikan apakah kau cinta padaku atau tidak, lakukan apa yang aku pinta, Ben. Hubungi nomor ini dan kau akan temukan jawaban." Pada akhirnya Ben mengambil n****+ itu dan kertasnya walau masih dalam keadaan kebingungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN