Dari kejauhan, aku melihat mereka berdua berbicara sangat akrab. Terlihat seperti kakak dan adik ipar. Hehehe.
“Kampret nih adekmu, malah nyindir,” ucap Jefri kesal. Dia meneguk minuman yang dia bawa.
“Hahaha, toh yang dia bilang itu kenyataan. Kalau kenyataan, enggak usah sebel gitu dong,” ucapku membela adikku. Sebenarrnya, aku juga sangat suka dengan ucapan Lely tadi. Karena, dengan begitu Dinda tahu, bagaimana belangnya si Jefri.
“Kenyataan sih kenyataan, tapi enggak di depan Dinda juga ngomongnya,” kata Jefri, dia meminum lagi jus jeruk yang dia bawa.
“Sudahlah, kita nikmati saja pestanya. Biar saja mereka menikmati berdua,” ucapku mencoba menenangkannya. Aku tersenyum tipis dibalik Jefri.
Kami berkeliling, menyapa beberapa teman, juga para atasan. Mereka terlihat saling memamerkan pasangannya. Sementara aku, malah gandengan sama Jefri. Seperti pasangan cucok meong.
“Loh Yo, kok sama Jefri sih? Bukannya tadi sama cewek cantik?” Nikolas bertanya padaku.
“Oh, dia adikku Nik. Lagi ngobrol sama pacarnya Jefri tuh disana,” ucapku menunjuk mereka berdua. Tapi mereka sudah tidak kelihatan. Tapi, ada banyak orang yang berkerumun disana.
“Eh ada apa ya itu?” tanya Nikolas. Dia menunjuk ke tempat, di mana aku juga menunjuk tempat Lely dan Dinda berada. Aku jadi penasaran, ada apa di sana.
“Eh, iya ya. Kita lihat yuk,” ajakku pada mereka.
Kami menghampirinya, aku menyibak beberapa orang yang ada di depanku. Setelah aku di depan mereka, aku melihat Lely sedang menindih seorang pria. ‘Aduh gawat nih, siapa yang dia hajar?’ batinku.
“Lel, ada apa?” tanyaku padanya.
“Dia godain aku kak!” jawab Lely, dia tetap menekuk tangan pria itu di belakang punggung, dan menindih dengan lututnya.
“Sakit, lepasin, lepasin,” ucap pria itu, dia mencoba memberontak. Tapi tidak bisa. Salah dia sendiri, memilih sasaran seorang gadis dengan sabuk hitam karate. Bukannya termakan rayuan, malah dipitinglah sama dia.
“Lel, lepasin dulu Lel,” pintaku padanya. Aku mencoba menarik dia. Tapi, dia menampik tanganku.
“Dia belum minta maaf sama aku, dia harus minta maaf dulu!” perintahnya. Sepertinya, dia menekan lututnya lebih keras. Karena, aku mendengar rintihan dari pria yang dia tindih.
Pria itu menoleh ke arahku, “Hah, Aldi,” ucapku. Aku kaget, melihat yang ditindih oleh Lely adalah Aldi.
“Yo, tolongin aku Yo!” pintanya, melas sekali wajahnya saat berbicara padaku. Wajahnya juga mulai memerah, karena menahan sakit.
“Iya, tapi kamu minta maaf dulu deh. Kan dia nyuruh kamu minta maaf, dari pada kamu gak dilepasin,” ucapku berbisik padanya.
Dia meringis, melirik dengan sinis kepadaku. Aku hanya mengendikkan bahu. Dia pun pasrah, dan meminta maaf pada Lely.
“M-maaf, tolong lepasin, s-sakit,” ucapnya sambil menahan sakit. Lely masih saja menindih Aldi dengan lututnya.
“Lel, lepasin Lel, banyak orang. Malu Lel,” ucapku mencoba menenangkannya. Namun, ternyata ucapanku tidak diturutinya begitu saja.
“Kenapa aku harus malu? Harusnya dia yang malu,” Lely melepaskan tindihannya, tapi kemudian dia menendang kaki Aldi.
“Awas, kalau sampai ketemu lagi, aku patahin lenganmu!” ancam Lely. Aku menarik lengannya, membawanya menghindar dari keramaian. Dinda dan Jefri juga mengikuti kami. Semua mata tertuju pada kami. Mampus, kalau sampai besok aku kena panggil hrd gara-gara masalah ini. Bisa hancur karirku yang baru saja aku rintis di kantor.
“Lel, ada apa sih? Kok, kamu sampai gituin dia?” tanyaku meminta penjelasan padanya. Juga sebagai jaga-jaga, jika aku dimintai penjelasan sama HRD.
Wajahnya masih kesal, terlihat dari hidungnya yang kembang-kempis. “Dia tadi godain aku kak!” ucapnya dengan menghentakkan kakinya.
“Godain gimana sih? Kok, kamu sampai marah begitu?” tanyaku, aku mencoba mendapatkan penjelasan darinya.
“Gimana aku enggak marah, dia nyolek-nyolek aku!” mendengar jawaban Lely yang seperti itu, ganti aku yang emosi. Aku melepas jas ku, kugulung lengan kemejaku. Sepertinya, Dinda tahu, apa yang akan aku lakukan. Tiba-tiba dia menahan tanganku.
“Jangan!” ucapnya padaku. Lembut sekali suaranya. Aku menjadi sedikit ragu, untuk melangkahkan kaki ke sana.
“Tapi, dia sudah kurang ajar sama adikku!” ucapku mencari pembenaran atas sikapku.
“Lely sudah membalasnya, sudah cukup. Kamu tidak perlu melakukan apapun. Toh, ini semua gara-gara kamu,” ucapnya panjang lebar. Aku jadi bingung, kenapa jadi aku yang disalahkan oleh Dinda.
“Kok jadi gara-gara aku?” tanyaku padanya. Aku mencari penjelasan. Kenapa dia bisa langsung mengatakan, bahwa ini semua adalah kesalahanku.
“Kamu yang ngajak dia kesini, dan paling parahnya. Kenapa kamu kasih dress sexy ke dia, Kakak macam apa kamu?” jelasnya padaku, mendengar itu aku melirik ke arah Lely. Tujuanku mengajaknya memang untuk pamer sih, makanya aku memberinya dress sexy. Aku tidak mengira, kalau bakal terjadi seperti ini.
“Heh! Malah bengong!” ucap Dinda padaku. Dia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
“Eh, iya iya, aku yang salah,” jawabku padanya. Aku mengalah, mengaku salah. Dari pada nanti menjadi semakin ribut. Aku enggak mau, kalau bertengkar dengan Dinda.
“Sudah mbak, enggak apa-apa kok,” ucap Lely, dia mencoba membelaku. Benar-benar adik idaman. Aku akan membelikanmu ice cream nanti, ucapku dalam hati.
“Ayo Lel, pulang,” ucapku pada Lely. Diluar dugaan, dia malah menolak. Aku jadi bingung dengan sikapnya ini. Tadi dia sudah membuat keributan seperti itu. Tapi, dia malah tidak mau pergi.
“Enggak ah, di sini enak-enak makanannya,” ucapnya ceplas-ceplos tanpa rem cakram.
“Nanti kalau ada yang godain lagi gimana?” ucapku padanya.
“Gampang, plintir aja tangannya kayak tadi. Siapa tadi namanya?” tanya dia dengan tanpa merasa berdosa sudah memelintir tangan Aldi.
“Aldi,” jawabku.
“Nah itu, kuplintir tangannya kayak si itu,” jawabnya dengan sangat percaya diri. Karena, dia sudah berkali-kali melakukan hal itu saat berlatih.
“Apa gunanya nanya nama, kalau enggak disebut,” ucapku pelan, nyatanya si Lely mendengarnya.
“Gak sudi aku nyebut namanya!” ucapnya ketus.
Kami pun kemali lagi ke dalam degung. Menikmati pesta, seperti tidak pernah ada kejadian apapun sebelumnya. Dengan santainya Lely berjalan ke sana-sini. Mengambil makanan dan minuman yang dia sukai. Berbicara dengan Dinda. Bahkan, dia berkenalan dengan beberapa temanku. Sungguh luar biasa, adikku yang sangat cantik dan juga menyeramkan itu.
Kami menikmati pesta itu, ada beberapa pengumuman tentang kenaikan jabatan. Tentu saja, aku tidak termasuk. Hahaha. Anak baru, bau kencur pula, mana dapat kesempatan langka seperti itu. Tapi, aku bertekad. Acara tahun depan, aku akan berada disana. Di atas panggung, bersama dengan teman-teman lain yang mendapatkan promosi.
Karena saking asiknya berhayal, aku tidak menyadari keberadaan Bosku. Dia tepat berdiri di sampingku. Sedang ngobrol santai dengan seseorang. Setelah kulirik, ternyata dia adalah Lely.
'Mampus, kena sp (surat peringatan) aku nih.’
Aku menghampiri mereka, mencoba sok asik. Walaupun enggak asik.
“Selamat malam Bos,” sapaku padanya.
“Ah, jangan panggil Bos. Panggil saja Fito,” ucapnya ramah.
“Kenalin Bos, eh Fito, ini adikku, namanya Lely,” ucapku memperkenalkan Lely padanya.
“Iya, tadi sudah kenalan kok,” jawabnya enteng. Membuatku sedikit merasa malu.
“Adik kamu, jago karate ya?” lanjutnya.
Aku mengangguk, “Iya Bos, eh Fito.”
“Aku lagi butuh guru karate nih,” ucapnya dengan tiba-tiba.
“Terus?” tanyaku padanya. Memastikan, kemana arah pembicaraan itu.
“Gimana kalau adikmu saja? Kamu setuju kan?” tanyanya padaku, tapi di telingaku itu terdengar seperti sebuah perintah. Hanya dengan embel-embel kesopanan saja. Aku melirik ke Lely, dia cuek saja. Sepertinya, dia mau.
“Tapi, kalau boleh tahu. Guru karate untuk siapa Bos, eh Fito?” ucapku. Mencari informasi terlebih dahulu itu penting.
“Keponakanku, dia sering di bully di sekolah,” jelasnya padaku. Dia meneguk minumannya.
“Di bully? Keponakanmu? Anak Pak Sujatmiko? Di bully?” tanyaku panjang seperti kereta api. Tapi, dia hanya mengangguk.
“Kamu mau Lel?” tanyaku padanya. Dia mengendikkan bahunya. Dia lebih fokus dengan kue yang seang dia makan. Dari pada memperhatikan aku, kakaknya sendiri. Menyebalkan.
“Keponakan dia itu cowok, namanya Rafa. Sekolah kelas XI SMA, berarti, dia dua tahun lebih tua darimu,” ucapku padanya. “Yakin mau?” lanjutku. Aku mencoba memberikannya penjelasan, tentang siapa yang akan dia latih.
“Tapi ... ,” ucap Lely menggantung.
“Tapi apa?” tanyaku padanya.
“Tapi, gajinya berapa?” kini ucapannya enggak di rem lagi. Benar-benar adik ajaib.
“Kamu mau berapa?” tawar Fito. Dia tidak menyebutkan nominal, malah balik bertanya pada Lely. Berapa yang dia minta. Jadi Bos emang gitu kali ya? Enggak pusing mikirin duit.
“Bisik-bisik lewat WA (Whats App) saja Pak,” jawab Lely. Dia mengunah potongan kue terakhirnya.
“Kenapa memangnya?” tanyaku penasaran. Aku merasa, adikku sudah mulai bisa berbisnis.
“Aku kan bukan guru Kak, enggak enak saja gitu,” jawabnya.
“Ah, baiklah. Ini kartu namaku, nanti kamu bisa hubungi aku di nomer itu,” ucap Fito pada Lely. Lely menerima kartu itu, kemudian memasukkannya ke dalam tas.
“Gaji pertama, makan-makan ya?” rayuku padanya. Aku mencolek dagunya.
“Tuh kan, belum apa-apa udah minta jatah!” jawab Lely ketus. Dia menyentil keningku. Aku mengaduh, mengusap bekasnya perlahan.
“Ish, pelit,” ucapku.
“Biarin!” jawabnya.
Dia memang adik yang ajaib. Dia bisa jadi cewek cantik dan seksi. Bisa jadi guru karate. Bahkan dia juga bisa pemukul yang ulung. Sudah terbukti, dengan ditekuknya tangan Aldi dan ditindihnya tadi. Entah, aku ini beruntung atau tidak. Karena, dia selalu meminta segala hal padaku. Padahal, ada Bapak yang berkewajiban memberrinya uang jajan. Apa jangan-jangan, selama ini dia meminta pada aku dan Bapak ya? Entahlah. Aku berhenti memikirkan hal-hal aneh semacam itu.
Aku melanjutkan menikmati pesta, sajian, dan juga pemandangan wanita-wanita seksi yang menjadi pendamping teman-teman kantorku.