Weekend memang selalu menjadi dambaan setiap orang. Bagaimana tidak, mereka akan bisa leluasa bersantai, tanpa perlu dipusingkan dengan segala pekerjaan. Tapi tidak denganku, weekend malah akan menjadi hari yang paling ku benci. Kalau lagi di rumah saja tentunya. Karena Emak akan mulai memancing - mancing pertanyaan, mulai dari teman, merepet ke pacar, merepet ke mantu, bahkan merepet ke cucu. Aku selalu pusing menjawab pertanyaan-pertanyaan Emak yang ajaib itu.
“Le, bantuin Emak memetik ekor kecambah!” Perintahnya padaku yang baru saja meneguk teh hangat di meja makan.
“Suruh Lely saja Mak. Masa, Pio yang ganteng dan gagah ini disuruh metik ekor kecambah?” jawabku.
“Lely sedang metik luntas, di rumahnya Jeje. Menenge ndi ono cah lanang ganteng lan gagah, tapi ra duwe pacar.” (lagi pula mana ada anak laki – laki ganteng dan gagah tapi gak punya pacar).
“Emak mulai deh.” Aku berdiri, menuju tempat Emak menaruh kecambah. Mau tidak mau, aku harus melakukannya. Dari pada nanti semakin panjang.
“Pancene bener to?” (Memang benar kan?) ucap Emak. Dia memang tidak akan mau mengalah.
“Iyo wes iyo, tak petikine,” (iya deh iya, aku petikkan) jawabku.
Baru juga aku memulai memetik ekor dari kecambah. Emak sudah mulai membuatku frustasi. Ternyata dengan memetik kecambah pun, aku tetap tidak bisa menghindar dari segala macam pertanyaan Emak.
“Le, anaknya bude Mol katanya mau ngelamar anak orang loh,” ucapnya memulai pembicaraan. Aku sangat sadar, ini akan berujung dengan merepet ke pertanyaan mantu dan cucu.
“Ya iyalah Mak, anak orang, masa anak monyet,” sahutku sekenanya. Masih dengan terus memetik ekor kecambah yang sangat menjengkelkan itu.
“Kowe iki, nek dikandani kok yo mesti mblehar ae jawabe,” (kamu ini, kalau dikasih tahu kok pasti ada aja jawabannya) ucap Emak. Dia sedang mengupas beberapa bawang di sampingku.
Baru aku membuka mukutku Emak sudah menyela.
“Meh jawab opo mane?” (Mau jawab apa lagi?) ucapnya sambil emmandang ke arahku. Ujung pisaunya terlihat begitu mengkilap, dia mengarahkannya padaku. Aku tidak bisa berkutik.
Aku mengurungkan niatku untuk menjawabnya. Aku diam membisu sambil memetik ekor kecambah dan memisahkan pucuk hijaunya.
“Masak apa, Mak?” tanya Bapak yang baru saja keluar dari kamar. Bapak membetulkan sarungnya, lalu duduk di sampingku. Membantuku memetik ekor kecambah.
“Urap – urap,” jawab Emak singkat.
Lely sudah datang dari memetik luntas di rumah Tante Jeje. Tanpa di komando, dia langsung mencuci dan meniriskannya. Lalu dia menyiapkan panci dan mengisinya dengan air. Menghidupkan kompor, lalu memasak air tersebut.
“Mak, jarene Bulek Jeje dikon ngapek kabeh luntase. Dekne ra are.” (Mak kata Tante Jeje disuruh ngambil semua lunasnya. Dia gak suka) Lely duduk, dan meminum segelas air.
“Halah, ra arep piye. Dikirimi urape yo di koret – koret i wadahe.” (Halah, ga suka gimana. Dikirimi urapnya ya di makan sampai bersih wadahnya). Emak menjawab dengan menirukan gaya membersihkan piring sampai bersih.
Aku dan Bapak tertawa pelan. “Opo guyu? Wes ndang dimarekno iku metikine!” (apa tertawa? Cepet diselesaikan itu metiknya) aku dan Bapak kena semprot. Akhirnya, kami diam dan melanjutkan pekerjaan kami.
Aku memberikan kecambah yang sudah bersih ke Lely. “Lel, tanggal tujuh nanti, apa kamu bisa temani aku?” ucapku pada Lely, dia masih sibuk dengan luntas yang dia masak.
“Kemana mas?” tanya dia. dia memandang ke arahku.
“Ada acara kantor. Disuruh bawa pasangan kesana.” Aku mengucapkannya dengan pelan, berharap Emak tidak mendengarnya. Tapi, sepertinya Emak mendengarnya. Karena, saat aku melirik ke arah Emak. Dia memasang senyum aneh diwajahnya. Aku jadi ngeri, mebayangkan posisiku nantinya.
“Ooooh.” Lely ber-oh. Tapi Emak seakan menemukan senjata baru untuk memojokkanku.
“Mangkane tala, ndang dolek pacar kono.” (Makanya, cepat nyari pacar sana) Emak mengucapkannya dengan penuh penekanan. Puas sekali rasanya dia mengatakan hal itu padaku. Karena, aku melihatnya tersenyum, tapi tidak lagi aneh seperti senyum sebelumnya.
Aku mencep, lalu keluar dari dapur. Membiarkan mereka menyelesaikan acara masak. Dari pada nimbrung disana, yang ada malah dipojokkan terus. Bapak mengikutiku, dia membawa cangkirnya yang berisi kopi. Sabtu pagi memang selalu begini. Duduk di teras bersama Bapak, sambil bercincang apa saja yang bisa dijadikan topik.
“Lely wonten Pak?” (Lely ada Pak?) tanya Nur, dia adalah teman sekolah Lely.
“Ono nduk, melbuo. Sekolah e melbu jam piro?” (Ada Nak, masuk saja. Sekolahnya masuk jam berapa?) tanya Bapak padanya. Dia menyeruput kopinya dan menunggu jawaban dari Nur.
“Ngge jam pitu Pak,” (Ya jam tujuh Pak) jawab Nur.
“Oh yowes ndang budal mariki, wes meh setengah pitu,” (Oh yasudah cepat berangkat, sudah hampir jam setengah tujuh) ucap Bapak mengingatkannya.
“Ngge,” (Iya) jawabnya, lalu dia masuk ke dalam rumah. Entah apa yang dilakukannya, tak lama, dia sudah keluar lagi.
Bapak menyalakan rokoknya. Baru beberapa sedotan, Emak sudah memanggil kami untuk sarapan.
“Pak, Yo, ayo sarapan.” Sebelum panggilan itu berubah jadi sebuah teriakan, kami langsung menuju meja makan. Lely sudah makan lebih dulu. Terlihat di wajahnya, kalau dia sedang buru – buru.
“Pelan – palan saja Lel,” ucapku padanya.
“Sudah dijemput sama Nur tadi kak,” jawabnya. Dia terus menyendokkan nasi ke mulutnya.
“Dia kan baru saja pulang. Palingan juga masih ganti baju,” sahutku. Aku duduk di samping Lely.
“Lelyyyyyyy.” Suara Nur terdengar memanggil Lely.
“Tuh kan, aku bilang juga apa. Aku berangkat dulu Pak, Buk, Kak.” Dia salim dan langsung menemui Nur.
“Cepat sekali dia berganti baju, padahal baru saja papasan sama kita ya Pak?” ucapku.
“Punya ilmu ninja kayaknya si Nur tuh Yo. Hahaha,” jawab Bapak. Dia terkekeh setelah mengucapkannya. Aku pun demikian.
“Hus, makan enggak usah ngomong. Nanti keselek nyaho,” ucap Ibu sambil menyuap urap ke mulutnya.
***
Aku duduk di beranda kamarku. Kamarku berada di lantai dua rumah ini. Di lantai dua ada dua kamar. Kamarku dan kamar Lely. Tapi Lely lebih suka tidur di kamar tamu. Katanya kalau tidur di lantai atas suka ada yang mengetuk pintu kamarnya. Dan dia selalu menuduh, bahwa itu aku. Boro – boro ngetuk pintu kamar dia malam – malam. Jam tidurku saja rasanya masih kurang.
Rumah ini memang ada di sebuah perumahan, walaupun berada di dekat jalan raya, entah kenapa rumah ini masih menyimpan misteri. Aku juga pernah mendengar ketukan itu. Tapi aku lebih memilih diam. Karena aku tahu, itu bukan manusia. Sementara Lely langsung berlari ke bawah dan membuat gempar seisi rumah saat pintunya diketuk.
“Mak, tolong buka pintunya Mak,” Katanya sambil menggedor – gedor pintu kamar Emak dan Bapak. Emak yang notabene masih merem, sedikit terhuyung saat membuka pintu. Sementara Lely langsung menyerbu ke pelukan Emak. Emak yang bingung langsung melek seketika.
“Ada apa Lel?” tanya Emak yang masih bingung dengan tingkah Lely.
“Ada yang ngetuk pintu kamarku Mak,” ucap Lely. Dia masih memeluk Emak dengan erat.
“Siapa? Mas mu?” tanya Emak. Dia langsung saja menuduh kalau itu aku.
“Gak tahu Mak,” ucapnya tetap dengan memeluk Emak. Aku turun dari tangga, mengucek mata. Baru setengah sadar, dan langsung di semprot oleh Emak.
“Eh Yo, ngapain kamu ngetuk pintu kamar adekmu?” omelnya padaku. Dengan mata melotot dan berkacak pinggang.
“Lah aku aja baru bangun kok Mak,” ucapku membela diri.
“Terus siapa yang ngetuk pintun kamarnya Lely?” tanya Emak. Dia terlihat sangat marah padaku. Padahal, aku tidak melakukan apapun. Aku terbangun karena mendengar suara larian Lely.
“Mana Pio tahu Mak, aku baru bangun saat dengar Lely lari gedubrukan,” jawabku.
“Tidur di bawah saja kalau gitu Lel,” perintah Emak padanya. Aku kembali naik tangga, bermaksud kembali ke kamarku. Tapi Emak malah mencegahku.
“Kamu tidur di sofa saja Yo, temani Lely,” tanpa mendengar jawabanku, Emak langsung menutup pintu kamarnya. Aku hanya bisa berdecih kesal, tapi tak berani bersuara. Takut dicoret dari KK (Kartu Keluarga).
***
“Kak, ajarin dong. Aku ada PR nih,” Ucap Lely sambil membawa bukunya. Kalau sudah begini, aku tidak akan bisa menolak. Karena Emak akan langsung nyerocos dan mengeluarkan jurus andalannya. Enggak dapat jatah camilan.
“PR apa?” tanyaku malas.
“Matematika,” jawabnya. Dia duduk disebelahku.
“Buset, kamu mau bikin kakakmu yang ganteng ini ubanan apa gimana?” ucapku, saat aku mendengar mata pelajaran apa yang akan dia kerjakan.
“Sebelum aku minta tolong, kakak juga sudah ubanan tahu!” ucapnya, dengan ekspresi yang sangat meyebalkan.
“Yaudah sini, mana coba lihat,” aku melihat soalnya. Baru saja aku lihat soalnya, langsung terasa puyeng kepalaku.
“Lel,” panggilku.
“Hemm?” dia memandang ke arahku. Mungkin dia sudah mengira, kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Alias, aku malas.
“Ke rumah Ana aja yuk?” ajakku.
“Ngapain?” tanya dia, dia memandang aneh ke arahku.
“Minta ajarin dia ajalah, gimana?” ucapku, aku menaik turunkan alisku.
“Emangnya kak Ana mau?” ucap Lely ragu-ragu.
“Kita coba dulu, siapa tahu mau kan?” aku masih terus memprofokasinya, agar dia mau ke rumah Ana. Sehingga, aku bisa terbebas dari kesengsaraan itu.
“Sekalian caper ya kak?” sindirnya. Aku melihatnya tersenyum, saat mengucapkan itu. Ingin kujitak kepalanya saat itu.
“Hus, anak kecil tahu caper apaan sih,” jawabku.
“Kirain mau tp tp ke kak Ana,” ucapnya lagi. Aku semakin tidak mengerti dengan anak jaman sekarang. Apa lagi yang dimaksud dengan tp.
“Tp tp apaan? Tunjungan Plaza?” tanyaku, aku memang benar-benar tidak mengerti dengan maksud ucapan Lely.
“TEBAR PESONA, GITU AJA GAK TAHU. DASAR KUDET,” jawabnya dengan keras. Membuat telingaku terasa sakit mendengarnya. Tentu, hatiku juga sakit.
“Kudet apaan lagi?” tanyaku padanya. Sungguh, aku tidak pernah mendengar ucapan-ucapan semacam itu selama ini.
“Kurang apdet! Yaudah ayuk ke kak Ana,” ucpanya. Dia terlihat sangat kesal. Apa karena aku benar-benar kurang apdet ya? sampai yang remeh begitu saja, aku tidak tahu. Aku merutuki diriku sendiri.
Aku mengantarnya ke Ana, mencari aman agar otakku tidak ngebul. Rambutku enggak ubanan, dan aku masih bisa mempertahankan kewarasanku.