7

1414 Kata
Zavier kembali melumat bibir Bryssa, ia mengangkat tubuh Bryssa, meletakan kaki Bryssa di atas kakinya lalu melangkah bersama. Langkah itu tak akan sampai ke ranjang jika Bryssa tak menginginkannya.     Dengan perlahan Zavier membaringkan tubuh Bryssa ke atas ranjang tanpa melepaskan lumatannya pada bibir Bryssa.  Lidah dan tangan Zavier bergerak menyusuri kulit Bryssa. Lidah yang berhenti pada gundukan kenyal Bryssa dan jari yang berhenti di kewanitaan Bryssa.     Mata Bryssa terpejam, mulutnya mengeluarkan desahan yang semakin memacu  nafsu Zavier.     Tanganya meraba punggung Zavier, mencengkramnya kuat mengalihkan siksaan itu ke ujung kukuknya. Zavier mendapatkan luka lain karena Bryssa.     Zavier tak membuat Bryssa memohon kali ini. Ia memasukan kejantanannya ke liang sempit Bryssa. Bergerak maju mundur dengan ritme yang  tak menyakiti Bryssa.     "f**k, Bryssa. Milikmu sangat sempit." Zavier mengerang. Ia menggila karena kenikmatan yang ia dapatkan dari Bryssa.     "Lebih cepat, Zavier." Bryssa bukan Bryssa jika sudah berhadapan dengan sentuhan Zavier. Ia berkata Zavier binatang tapi ia ketagihan akan sentuhan Zavier. Cara Zavier menyentuhnya tak sebuas binatang buas.     "Kau menyukainya, hm?" Zavier tersenyum memandangi wajah cantik Bryssa.     "Ya, ya, aku menyukainya." See, dia menyukai sentuhan Zavier. Zavier tertawa kecil, "Bagian mana yang kau sukai, Bryssa?"     "Menghujamku dengan cepat dan keras." Lagi-lagi Bryssa bersikap binal. Dan nanti ketika dia sadar dia pasti akan lupa bahwa dia telah memohon dan memuja sentuhan Zavier.     "Baiklah. Kau dapatkan apa yang kau mau, Little Princess." Zavier mencengkram  pinggul Bryssa dan mempercepat gerakannya. Bergerak lebih sedikit kasar dan dalam.     "Ah,, ya, ya, Zavier. Terus.." Bryssa meracau. Suara Bryssa sama sexynya dengan tubuh Bryssa, benar-benar menggairahkan bagi Zavier. **     Setelah beberapa kali bercinta Bryssa akhirnya terlelap. Ini bahkan belum jam 8 malam tapi wanita itu sudah terlelap.     Zavier memperhatikan wajah Bryssa, mengelus lembut wajah cantik itu, merapikan anak rambut yang berkeliaran nakal,     "Kau hanya milikku, Bryssa. Hanya milikku."  Tak akan ada yang bisa mengambil  Bryssa darinya. Zavier akan memastikan jika pria yang dimaksud Aeden tak akan mampu membawa pergi Bryssanya. Ia tak akan  membiarkan kejadian di masalalu terulang kembali. Tangan Zavier bergerak menyelimuti tubuh Bryssa setelahnya ia segera mengenakan kembali pakaiannya, "Ah, berdarah lagi." Zavier melihat ke balutan luka di perutnya yang berwarna merah. Jelas saja berdarah, ia bergerak tanpa memikirkan luka di tubuhnya. Tok,, tok,, suara ketukan terdengar. Zavier turun dari ranjang, ia segera melangkah menuju ke pintu.     "Ada apa?" Tanya Zavier.     "Kondisi Nona memburuk." Wajah Zavier mendadak kaku. Ia segera melangkah meningalkan kamar Bryssa dan melangkah  menuju ke sebuah ruangan yang ada di kediamannya.     "Apa yang terjadi, Gea?"     "Denyut jantungnya melemah, dia sepertinya tak mau bertahan lagi." Gea menjelaskan kondisi wanita yang saat ini terbaring di ranjang dengan peralatan asing yang menempel di tubuhnya.     "Lakukan sesuatu, Gea. Dia tidak boleh pergi sekarang!" Bola mata Zavier menajam.     Gea menatap Zavier meminta pengertian, "Lepaskan saja dia, Zavier. Dia sudah tidak bisa bertahan lagi. Hampir 5 tahun dia terbaring disini dengan bantuan dari alat-alat yang ada di tubuhnya."     "Aku tidak bisa, Gea. Dia masih belum menjelaskan apapun padaku. Dia belum menjelaskan apa kurangku padanya, kenapa dia berselingkuh dariku dan janin siapa yang ia kandung. Aku tidak bisa membiarkan dia pergi sebelum aku dapatkan jawaban darinya." Gea menghela nafasnya.     "Dok, jantungnya kembali berdetak normal." Asisten Gea yang memompa jantung wanita di  ranjang itu bicara.     Gea melirik ke arah  monitor. Ia tak tahu harus senang atau sedih, kenyataannya Gea berharap jika jantung itu berhenti berdetak. Gea pikir itu yang terbaik untuk sekarang. Lagipula Zavier sudah memiliki Bryssa. Zavier tak butuh lagi wanita yang ada di atas ranjang itu.     Zavier mendekat ke ranjang, ia mengamati wajah pucat wanita yang telah cukup lama menghiasi hari-harinya.  Wanita yang pernah  ia berikan seluruh hatinya namun ternyata mengkhianatinya. Wanita yang menyimpan banyak jawaban yang ingin Zavier ketahui. Wanita yang terus tertidur namun menolak mati.     Dua tahun lalu wanita ini koma penuh namun suatu hari ia akhirnya berada dalam kondisi vegetatif. Kondisi dimana mungkin saja ia dapat mendengar apa yang orang  lain katakan meski tak mungkin baginya untuk memberitahu orang lain bahwa ia bisa mendengar mereka. Hal ini yang membuat Zavier percaya jika wanita ini akan kembali membuka matanya lebar. Hal yang membuat Qween berakhir seperti ini adalah kecelakaan mobil. Di dalam mobil itu Qween bersama dengan seorang pria yang asing bagi Zavier. Setelah Zavier telusuri lebih jauh apa saja yang Qween lakukan hari itu adalah  Qween pergi ke sebuah hotel, lalu ke sebuah rumah sakit dan menemui dokter kandungan. Qween menanyakan tentang masalah menggugurkan kandungan, namun Qween hanya bertanya dan setelahnya Qween pergi bersama dengan pria asing tadi. Dalam perjalanan sebuah mobil bermuatan menghantam mobil Qween. Si pria tewas di tempat sedangkan Qween mengalami luka berat dan akhirnya berada dalam kondisi koma.     "Kau tidak bisa pergi sekarang, Qween. Kau harus menjawab semua pertanyaanku. Kau harus menjelaskan dimana letak kesalahanku hingga kau mengkhianatiku. Kau harus menjawabku, Qween. Harus." Zavier berbicara pada wanita yang ia panggil Qween.      Biasanya air mata Qween akan mengalir jika suara Zavier sampai ke alam bawah sadarnya namun saat ini kondisinya baru melewati kondisi buruk, ia tak bisa mendengar apa yang Zavier katakan.     "Apa pentingnya dia menjawab pertanyaanmu, Zavier. Kau hanya akan terluka." Gea menatap Zavier tak mengerti. Sebagai saudara Zavier, Gea tak ingin Zavier terluka. Cukup Alona saja yang membuatnya terluka, kenapa harus menambah luka dengan mendengarkan alasan Qween mengkhianatinya.     "Aku bahkan lebih suka jika wanita ini mati."     "Kau tak akan tahu jika kau tidak jadi aku, Gea." Zavier membalas singkat tapi mengena. Gea memang tak tahu rasanya jadi dia. Pengkhianatan Qween membuat Zavier berpikir apakah letak kesalahan memang ada padanya hingga orang-orang yang dia cintai meninggalkannya? Apakah  dirinya memang tidak pantas dicintai ataukah orang-orang ini yang tak mengerti cintanya?     Zavier hanya ingin mendengar jawaban Qween saja. Dia tidak akan memaksa Qween untuk tinggal bersamanya karena dia sudah memiliki Bryssa, lagipula Zavier tahu Qween tak mau bersamanya, nyatanya wanita ini mengkhianatinya. Memaksa Qween bersamanya hanya akan melahirkan seorang Zavier lainnya. Anak yang dibenci ibunya karena kegilaan sang ayah. Tidak, Zavier tidak akan menciptakan penderitaan bagi darah dagingnya.     "Apa yang akan Bryssa pikirkan jika ia tahu tentang Qween?"     "Perasaanku pada Qween telah lama kandas, Gea. Tak akan ada masalah yang timbul karena Qween. Lagipula Bryssa tak akan tahu ada Qween di rumah ini jika kalian tidak mengatakan apapun padanya." Gea lagi-lagi menghela nafas, tak akan ada hal yang tertutup selamanya. Gea tahu pasti itu.     "Jaga dia baik-baik, aku keluar." Zavier tak pernah lama berada di dalam ruangan itu. Melihat Qween hanya akan membuatnya mengingat pengkhianatan yang Qween rasakan. Meski ia tak terpaku pada masalalu tapi tetap saja ia merasa sakit ketika cinta tulusnya yang sepenuh hati disia-siakan begitu saja oleh Qween. **     Setelah hampir 3 jam terlelap, akhirnya Brysa terjaga karena perutnya yang minta di isi.     Bryssa membuka selimutnya, ia melihat ke tubuh bagian dadanya yang dipenuhi oleh jejak cumbuan Zavier. Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya., "Zavier membuatku jadi binal." Ia menyalahkan Zavier atas ketidakmampuannya mengontrol dirinya atas sentuhan Zavier. Melangkah menuju ke walk in closet, Bryssa memakai gaun malam  berwarna peach lalu keluar dari kamarnya dan melangkah menuju ke dapur.     "Apa yang kau lakukan disini?" Suara itu membuat Bryssa mengurut dadanya. Sialan! Mengejutkan saja. Maki Bryssa dalam hatinya.     "Aku lapar." Jawab Bryssa.     "Tunggu di meja makan. Koki sudah tidur."     "Memangnya kau bisa memasak?"     "Setahuku seseorang yang dipanggil Little Princess oleh Hilton yang tidak bisa masak." Ah, Zavier ini pandai sekali mengejeknya.     "Aku bisa memasak. Hanya tidak pandai saja."     "Yang aku dengar saat kau belajar memasak pertama kali kau nyaris membakar dapur." Bryssa mengerutkan keningnya, bagaimana bisa Zavier mengetahui hal yang terjadi beberapa tahun lalu.     "Daddyku yang mengatakannya padamu?" Zavier diam, ia tidak menjawabi pertanyaan Bryssa.     "Kenapa kau masih disana?! Cepat ke meja makan jika kau tidak ingin menjadi makan malamku." Bryssa berdecih, ia segera membalik tubuhnya. Ia lapar, ia ingin makan bukan dimakan.     Bryssa menunggu di meja makan. Ia bosan, menunggu tak pernah ia masukan ke daftar hal yang ia sukai. Akhirnya ia melangkah ke dapur lagi. Bau dari masakan Zavier sampai ke hidungnya. Belum sampai ke dapur langkahnya terhenti karena Zavier yang melangkah ke arahnya.     Zavier tidak mengatakan apapun, ia hanya melewati Bryssa. Wanita yang kelaparan itu mengikuti Zavier seperti terhipnotis dengan bau masakan Zavier.     Siapasih yang tega menyakiti Bryssa jika wanita ini begitu menggemaskan. Zavier sendiri tidak begitu tega menyakiti Bryssa, ia bahkan  tak menjalankan kata-katanya untuk menahan Bryssa dengan cara keras. Ia hanya sedikit tidak lembut pada Bryssa. Ia tak ingin terlalu lunak agar Bryssa tidak macam-macam dengannya.     "Makanlah." Seperti kerbau yang dicolok hidungnya, Bryssa segera memakan masakan Zavier. Lidahnya terlalu kaku  untuk memuji kemampuan memasak Zavier yang tidak buruk, ralat, kemampuan masak Zavier benar-benar baik. tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN