Derita Nicholas

1131 Kata
Hati Nicholas berpacu kencang, rasa takut menjalar dari ujung kaki hingga kepalanya. Di tempat yang sunyi dan tak ada seorang pun untuk membantunya, ia harus menemukan cara untuk menyelamatkan diri. Tangan kecilnya mencengkeram tanah, berusaha mencari benda apa pun yang bisa ia gunakan sebagai pelindung. Mata Nicholas memerah, air matanya menetes deras, menembus kotoran di pipinya. Dengan tubuh gemetar, ia menyeret dirinya mundur, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Papa... Papa..." lirihnya, penuh rasa takut. Ia meraup tanah di sekitarnya dan melemparkannya ke arah ular yang semakin mendekat, meskipun tangannya gemetar hebat. Nicholas memanfaatkan kesempatan itu. Dengan cepat, ia bangkit meski rasa sakit merambat di seluruh tubuhnya. Ia menggenggam makanan yang hampir saja hancur berantakan, lalu berlari sejauh mungkin, meninggalkan tempat itu. Setiap langkah membuat luka di kakinya semakin perih, namun ia tak punya pilihan selain terus berlari, bertahan dari rasa takut dan dingin yang menusuk tulang. Beberapa jam kemudian, Nicholas akhirnya tiba di rumah, lelah dan kotor. Namun, sambutan yang ia terima hanyalah kemarahan. Jones, ayah angkatnya, melampiaskan amarah dengan melempar makanan kotor ke wajahnya. "Hanya makanan murahan ini yang kau dapatkan? Apa yang kau lakukan di luar sana, hah? Lihat ini, kotor dan tidak bisa dimakan!" bentaknya penuh kebencian. Nicholas berdiri terpaku, wajahnya yang kotor masih menunduk, darah menetes dari luka-lukanya kaki dan tangannya. Suaranya keluar pelan, seperti bisikan yang hampir hilang ditelan angin. "Aku terjatuh, Papa. Aku... aku bukan sengaja," katanya, menahan rasa sakit di tubuh dan hatinya. Wajah Jones semakin mengeras. "Membawamu pulang hanya membawa kesialan ke rumahku! Istriku mati karenamu, dan kau tidak lebih dari beban. Sekarang, aku akan menjualmu! Kau tidak pantas tinggal di sini lagi!" Tangan kasar Jones menyeret Nicholas ke kamar, tanpa peduli pada luka dan kesakitan yang dialami bocah itu. "Papa, tolong! Jangan jual aku, aku akan berusaha lebih keras, Pa," tangis Nicholas pecah. Ia meronta, namun tenaganya kalah jauh dibandingkan cengkraman Jones. Setibanya di kamar, Jones mendorongnya kasar hingga tersungkur. Pintu langsung dikunci dari luar, menutup ruang harapan Nicholas. "Jangan coba-coba keluar lagi. Besok akan ada yang datang menjemputmu," kata Jones dengan nada dingin dari balik pintu. "Papa, aku mohon... jangan. Aku akan bekerja lebih keras... aku hanya ingin tetap di sini," pinta Nicholas, suaranya gemetar, diiringi pukulan kecil di pintu yang tak dihiraukan. Tangisannya meledak malam itu, bercampur dengan rasa sakit dan keputusasaan. Walau selama ini ia sudah terbiasa dengan kelaparan dan kerja keras, kali ini berbeda. Rasa takut benar-benar menguasainya, membalut tubuh kecilnya yang terluka. Dengan tubuh menggigil, Nicholas memeluk lututnya. Air mata terus mengalir, membasahi pipi yang dingin. "Aku... aku tidak mau dijual," bisiknya di tengah sesenggukan, mencoba menenangkan diri di dalam gelap, memohon keajaiban yang tak kunjung datang. Di sisi lain, Mansion Fernando. Jessie menarik selimut dengan lembut, memastikan Felix dan Devano tetap nyaman dalam tidurnya. Wajah mereka tampak tenang, seolah dunia luar tak pernah menodai kepolosan mereka. Dengan senyum tipis, Jessie menatap mereka, hatinya dipenuhi kehangatan sekaligus rasa pilu yang tak ia mengerti. "Mereka anak-anak yang luar biasa, baik, dan cerdas. Tapi kenapa hatiku selalu terasa berat? Mengapa ada rasa ingin menangis yang tak pernah hilang?" pikir Jessie dalam diam, dadanya terasa sesak. Ia bangkit perlahan dan berjalan menuju jendela. Pandangannya menerobos ke luar, menatap langit malam yang penuh bintang. Di tengah keheningan kamar, Jessie berdiri dengan tubuh yang dibalut kerinduan yang tak bernama. "Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ini hanya perasaanku, atau ada sesuatu yang benar-benar hilang?" gumamnya lirih, suara itu nyaris tertelan oleh gelap malam. Matanya yang berkaca-kaca menatap bintang-bintang seolah mencari jawaban. "Ibu... Kakak... Apakah kalian baik-baik saja? Apakah aku merindukan kalian begitu dalam tanpa menyadarinya?" lanjut Jessie," selama ini kalian sama sekali tidak peduli padaku." *** Di tengah malam yang sunyi, suasana di dalam rumah terasa mencekam. Nicholas, yang tadinya tertidur dengan mata bengkak akibat tangisannya, terbangun mendengar suara percakapan di luar kamarnya. Dia mengusap matanya yang masih berat dan mencoba mendekatkan telinganya ke pintu, berusaha mendengarkan apa yang sedang terjadi di ruang tamu. Dengan jantung yang berdebar kencang, suara yang ia dengar begitu jelas dan menusuk telinga. Itu adalah suara pria asing yang berbicara dengan Jones, ayah angkatnya. “Nicholas masih kecil, tentu saja sangat laku kalau dijual. Perdagangan manusia sangat menyukai anak-anak. Mereka akan dipaksa menjadi pengemis di saat masih kecil. Usia lima tahun sangat mudah menarik simpati dari orang-orang. Setelah dewasa dia akan dikirim ke pabrik untuk bekerja. Setelah tiba waktunya dia juga akan diambil organ dalamnya dan mendapatkan lebih banyak keuntungan. Kalau kau menjualnya, kau akan dapat banyak uang,” kata pria itu, setiap kata-katanya menghantam hati Nicholas seperti palu. “Dijual? Papa... akan menjual aku?” kata Nicholas pelan, matanya membelalak penuh ketakutan. Guncangan itu merayap ke seluruh tubuhnya. Semua yang didengarnya terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Tubuhnya gemetar, tidak bisa menahan rasa takut yang begitu dalam. "Asalkan dapat banyak uang, tentu saja aku mau. Lagi pula anak itu bukan anakku. Jual saja, jadikan uang. Daripada membebankan aku!" kata Jones dengan suara yang terdengar sinis dan tanpa belas kasihan. Suaranya yang kasar semakin memperburuk hati kecil Nicholas. Nicholas tak bisa lagi menahan tangisnya. Tubuhnya yang kecil itu terhuyung, lemas, seakan seluruh dunia runtuh di hadapannya. Ia merasa seperti terjebak dalam sebuah mimpi buruk yang tak bisa ia hindari. Dengan gemetar, Nicholas merangkak mundur ke sudut kamar, menangis dalam diam. Hanya bisu, tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutnya, hanya air mata yang terus mengalir. "Aku tidak mau... Aku tidak mau dijual," bisiknya, sambil memeluk lututnya erat-erat, mencoba menghalau rasa takut yang semakin menyelimuti dirinya. "Bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini? Paman dan Bibi tidak tahu kalau aku dikurung. Aku harus cari jalan keluar," batin Nicholas, berusaha mencari solusi di tengah ketakutannya. Dia terjaga dalam kesunyian malam yang penuh rasa dingin dan cemas, tubuhnya menggigil, dan matanya yang sudah lelah masih terbuka, mencoba berpikir. Namun, akhirnya tubuh kecil itu tak dapat lagi menahan kelelahan dan ketakutannya. Perlahan, Nicholas jatuh pingsan, terkulai di lantai kayu yang keras dan dingin, tubuhnya yang lemah terbebani oleh ketakutan dan kelaparan. Dalam keadaan terbaring, wajahnya yang pucat tak terlihat oleh siapa pun. Beberapa jam kemudian, saat fajar mulai menyinari rumah tua itu, pintu kamar dibuka dengan kasar. Jones berdiri di ambang pintu, melihat anak itu tergeletak di lantai. "Bangun!" seru Jones dengan suara keras, menendang tubuh Nicholas yang tak bergerak. "Dasar pemalas," bentak Jones sambil menarik tangan mungil Nicholas dengan kasar. Anak itu tetap tak bergerak, hanya ada keheningan di ruangan itu. Nicholas masih terbaring tak sadarkan diri, matanya tertutup rapat. "Apakah kau sudah mati? Bangun!" Bentakan Jones semakin menggeram, ia menepuk kasar wajah Nicholas dengan telapak tangannya yang besar, berharap anak itu bangun. Namun, tidak ada reaksi. "Demam? Anak ini sakit? Menyusahkan sekali..." gumam Jones dengan nada kesal, menyadari betapa merepotkannya keadaan ini. "Orangnya sebentar lagi akan datang," lanjutnya dengan nada tak sabar, tidak peduli dengan kondisi anak itu.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN