Roy mendorong Jessie ke atas kasur dengan keras, suaranya menggema di kamar yang sunyi. Matanya menyala penuh d******i saat ia menindih tubuh Jessie, mencengkeram kedua tangannya dengan kekuatan yang membuatnya tak berdaya.
"Sudah cukup melawanku, Jessie." Suara Roy rendah, penuh ancaman yang terselubung oleh janji. Ia mencondongkan wajahnya lebih dekat, aroma napasnya membanjiri indra Jessie. "Kalau kau tahu apa yang baik untukmu dan anakmu, berhenti bersikap seperti ini. Aku bisa memberimu kehidupan baru, yang lebih baik."
"Aku belum siap," jawab Jessie.
Roy menyeringai, menarik dagunya dengan paksa dan mendekatkan bibir mereka hingga nyaris bersentuhan. "Kau tidak punya pilihan," bisiknya dingin sebelum mencium bibir Jessie dengan kasar. Ciuman itu tidak mengandung cinta atau kasih sayang; ia hanya menunjukkan kekuasaan dan penaklukan.
Jessie meronta, tubuhnya menggeliat di bawah beban Roy. Namun, perlawanan itu justru membuat pria di atasnya semakin menikmati kekuasaan yang ia pegang. Roy melepaskan satu tangannya hanya untuk mencengkeram wajah Jessie, menahannya agar tak bisa menghindar.
"Melawan hanya akan menyulitkanmu, Jessie," katanya sambil mendekatkan wajah mereka lagi, tatapannya penuh n4fsu bercampur ancaman. "Aku bisa menjadi segalanya yang kau butuhkan… atau mimpi terburukmu."
Jessie mencoba memalingkan wajahnya, tapi tangan Roy tidak memberinya celah. Ia merasakan ciuman itu lagi, kali ini lebih dalam, penuh paksaan. Tubuhnya menegang, namun kekuatan Roy membuat setiap perlawanan terasa sia-sia.
Dalam keheningan yang mencekam, nafas mereka bercampur, hanya diiringi bunyi gesekan kain dan ketegangan yang menggantung tebal di udara.
Jessie hanya bisa p4srah, di saat Roy melepaskan pakaiannya sehingga tanpa sehelai benang. Ciuman Roy semakin menurun hingga ke bagian d**a yang menonjol.
Jessie memejamkan matanya, dan sedikit cemas. Roy kemudian melepaskan pakaiannya sehingga tanpa balutan apapun.
Ia kembali menindih tubuh Jessie dan mencium lehernya. Aksinya membuat Jessy semakin cemas dan merasakan sentuhan dari pria itu.
"Kenapa aromanya tidak asing? Di mana aku pernah mencium aroma ini?" batin Jessie.
Roy bangkit dan melakukan penyatuan, Ia bergerak maju mundur dengan perlahan menikmati tubuh simpanannya.
Roy melanjutkan ciuman bibir dengan wanita itu sambil melakukan pergerakan di bawah sana.
Malam itu dipenuhi dengan ketegangan dan g4irah yang mengalir di antara mereka, menciptakan sensasi yang tak bisa dilukiskan oleh kata-kata. Jessie mencoba mengalihkan pandangan, tetapi setiap sentuhan Roy seakan membuat tubuhnya tunduk, terhanyut dalam pusaran rasa yang tak pernah ia bayangkan.
Roy mempercepat gerakannya, dengan tatapan yang hanya tertuju pada satu tujuan. Ketika akhirnya ia mencapai puncak kenikmatan, des4h napasnya melemah namun tangannya masih erat memeluk Jessie, seolah takut kehilangan dirinya. Setelah momen itu, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Jessie, bibirnya mengecup lembut pipinya yang memerah, lalu tangannya menelusuri rambutnya dengan lembut.
"Jessie Olivia," bisik Roy dengan nada penuh kepastian dan ego, "Kau hanya bisa menjadi milikku. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuhmu."
Setelah melakukan hubungan, Jessie terlelap dengan nyenyak, tubuhnya terbungkus selimut sementara Roy yang masih terjaga menatap wajah wanita itu dengan penuh perasaan. Dia memperhatikan setiap detil, memori mereka yang terbentuk di malam ini masih terasa hangat dalam pikirannya.
"Jessie Olivia, apakah kau tahu, ini bukan malam pertama kita?" batin Roy, matanya tak lepas dari wajah Jessie yang tampak damai dalam tidurnya. "Walau kau telah menikah dan memiliki seorang anak, aku masih tetap ingin menilikimu. Aku juga akan membesarkan putramu dan menganggapnya sebagai anakku."
Di sisi lain, jauh dari sana, Harry yang merasa kesal sedang berusaha mencari keberadaan Jessie. Keheningan malam tak mampu mengurangi kegelisahannya. Ia tak tahu di mana istrinya berada, dan kehilangan putranya membuatnya semakin tidak tenang.
Lina, yang sudah mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya, dengan sengaja memprovokasi Harry. Matanya menyala penuh api kebencian. "Harry, istrimu sudah gila, dia rela menikamku dan menuduhmu melarikan putranya. Padahal dia sendiri yang membawa pergi," ujarnya dengan nada yang terisi kecaman dan kebencian.
Harry yang mendengar kata-kata Lina itu hanya bisa mendengus marah. Raut wajahnya mencerminkan amarah yang sedang memuncak. "Di mana dia sekarang? Jangan sampai aku menemukan dia. Kalau tidak, aku pasti akan menjebloskannya ke dalam penjara," ancam Harry dengan nada kesal yang memancarkan kebingungannya.
Lina tersenyum sinis, seperti menikmati rasa sakit yang Harry rasakan. "Ada seorang pria kaya yang membawanya pergi, tidak tahu siapa pria itu," jawab Lina, mencoba menyembunyikan senyuman liciknya.
Harry mendengus kesal, tak bisa menahan kekesalan yang mendalam. "Hebat sekali, begitu cepat dia telah menemukan pria lain. Memang j4l4ng, tidak tahu malu!" ketus Harry dengan nada penuh penghinaan.
"Harry, tidak usah lagi mencarinya, Kita akan memiliki anak juga. Berapa yang kau inginkan...Akan kuberikan untukmu!" ujar Lina.
"Kita akan memiliki anak," katanya, dengan suara tegas namun dingin. "Tapi, Jerry tetap akan ikut denganku. Aku tidak akan membiarkan wanita itu yang merawatnya. Kondisi kesehatannya saja tidak bagus. Bagaimana kalau dia tiba-tiba mati? Jerry akan terlantar dan menjadi yatim."
Keesokan harinya, Roy berdiri di samping Devano, yang berbaring dalam ranjang bayi kecil dengan wajah polos. Ada kerutan samar di dahi Roy saat ia memandang anak itu. Seolah-olah sedang mencoba mengurai teka-teki rumit yang tak berujung. Kecurigaan terukir dalam matanya, menambah berat pikirannya yang sudah penuh dengan ketidakpastian.
Andy datang mendekat dengan langkah tenang. "Tuan," sapanya lembut.
Roy hanya bergumam, matanya tetap fokus pada bayi itu. "Hm..."
"Kenapa Tuan mengamati anak ini sejak tadi?" tanya Andy, sedikit ragu.
Roy menghela napas, lalu menjawab dengan nada yang penuh kehati-hatian. "Anak ini ditemukan di panti asuhan. Lina yang memberitahu Jessie. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bayi ini benar-benar anaknya."
Andy tampak berpikir. "Nona Jessie belum pernah melihat bayinya sejak dia melahirkan. Andaikan anak ini bukan putra Nona Jessie. Lantas, ke mana anaknya sebenarnya?" Pertanyaan Andy menggantung di udara, membawa kesunyian yang mencekam.
Roy menyipitkan mata, memikirkan kemungkinan yang paling gelap. "Dengan sikap Lina yang tidak tahu diri, dia akan melakukan apa saja, bahkan terhadap seorang bayi. Dia tidak akan ragu membuang bayi itu jika itu menguntungkannya."
Andy mengangguk perlahan. "Apakah Nona Jessie sudah tahu pemikiran Anda, Tuan?"
Roy menggeleng perlahan, merasa terbebani. "Dia tidak akan percaya. Aku lebih berharap aku salah. Anak kecil tidak bersalah. Mudah-mudahan saja anak ini benar-benar adalah anaknya."
Tiba-tiba, suara lirih namun tajam memecah keheningan. "Apa yang kamu katakan?" Jessie berdiri di belakang mereka, matanya penuh kecurigaan dan rasa sakit yang bercampur. Entah sejak kapan dia muncul, tetapi jelas kata-kata Roy telah didengarnya.
Roy dan Andy berbalik, wajah mereka menegang saat menatap Jessie.