Bukan Anak Kandung

1206 Kata
Jessie menatap wajah bayi mungil yang kini terlelap di ranjang bayi rumah sakit, d**a kecilnya naik-turun dengan ritme lembut. Ada rasa lega yang menyeruak di hati Jessie, sebuah kebahagiaan yang tak tergantikan melihat putranya yang begitu damai. Senyum lembut terbentuk di wajahnya, meskipun rasa lelah masih jelas tergambar dari raut wajahnya. Langkah berat terdengar mendekat, membuat Jessie menoleh. Di sana, Roy berdiri di sampingnya dengan tatapan tajam yang tak biasa. Suaranya terdengar rendah namun tegas, “Aku tidak menyangka, kau bisa menikam wanita itu dan percaya padanya begitu saja.” Jessie menarik napas dalam, lalu menjawab dengan tenang, meski hatinya bergemuruh. “Demi anakku, aku bisa melakukan apa saja.” Ada kegetiran dalam suaranya yang terselip di balik keteguhan itu. Roy mengerutkan alis, mempertanyakan sikap tenangnya. “Kau percaya begitu saja?” tanyanya, tatapannya tajam seperti sedang menguji keyakinan Jessie. “Kenapa aku harus menolak percaya?” Jessie menoleh kembali pada bayinya yang masih terlelap. “Dia telah mengembalikan anakku. Aku tidak ingin apa-apa lagi.” “Lebih baik kau periksa dulu bayi ini, apakah dia memang adalah putramu. Atau ada tanda apa yang bisa membuatmu mengenalnya.” Jessie terdiam sejenak, kenangan pahit kembali membanjiri benaknya. “Aku tidak sadarkan diri setelah menjalani operasi. Aku bahkan tidak sempat melihatnya,” suaranya terdengar lirih. Roy mendesah pelan, mencoba meredam kekecewaan yang ia rasakan. “Kau percaya kalau ini adalah bayimu?” tanyanya, tatapannya penuh keraguan. “Seorang selingkuhan yang berniat memisahkanmu dengan suamimu, mana mungkin rela memberitahumu keberadaan putramu?” Jessie menggigit bibirnya, menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. “Aku tidak ingin berprasangka buruk,” ujarnya pelan namun tegas, seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Aku percaya kalau bayi ini adalah anakku. Aku bisa merasakannya.” Roy memberi sebuah amplop besar kepada Jessie. "Apa ini?" tanya Jessie. "Baca baik-baik!" jawab Roy. Jessie menatap amplop di tangannya dengan perasaan campur aduk. Jari-jarinya gemetar saat mengeluarkan lembaran kertas di dalamnya. Ketika matanya mulai membaca kalimat demi kalimat, dahinya mengernyit. Teks yang tertulis terasa menekan, membuatnya semakin bingung dan tidak nyaman. "Ini adalah...," katanya perlahan, masih belum sepenuhnya memahami maksud dokumen tersebut. Jessie mengangkat wajahnya, menatap Roy dengan sorot mata bingung, berharap penjelasan darinya. "Perjanjian," jawab Roy dengan tegas. "Sebelumnya aku menawarkanmu menjadi simpananku dan merawat anakku. Kau hanya perlu tanda tangan, setia, dan tetap di sisiku. Aku juga akan menyambut putramu. Selain itu, kau bisa bangkit dan tidak perlu menghadapi mereka lagi." Jessie merasa hatinya seperti diremas. Perkataan Roy membuatnya bergeming. "Kenapa aku harus menyetujui permintaanmu? Aku sudah menemukan anakku. Aku bisa merawatnya sendiri," jawab Jessie, suaranya penuh keraguan dan penolakan. Roy menggelengkan kepalanya, nadanya semakin mendesak. "Karena kau tidak punya pilihan lain, Jessie. Bayimu masih dirawat dan butuh biaya besar. Sementara, dirimu diusir begitu saja tanpa sedikit pun uang untuk bertahan. Bagaimana kau bisa hidup bersama bayi yang baru lahir tanpa dukungan? Kau tidak bisa melakukannya sendiri." Jessie terdiam, merasa terjebak dalam situasi yang semakin menekan. "Simpanan?" ia berbisik dengan getir. "Apa bedanya aku dengan Lina kalau begitu?" tanyanya, suaranya bergetar di antara kemarahan dan kesedihan. Roy menatap Jessie dengan tegas, seolah-olah tidak ada ruang untuk kompromi. "Sudah sampai di titik ini, kau masih mengutamakan harga dirimu? Apakah kau ingin selamanya hidup dalam penderitaan seperti ini? Bagaimana dengan anakmu? Apakah kau ingin dia hidup menderita bersamamu? Sebagai seorang ibu, kau seharusnya mengutamakan kebahagiaan anakmu, bukan memikirkan perasaanmu sendiri. Tanda tangani surat perjanjian ini, Jessie." Jessie menunduk, merasa terjebak oleh kenyataan pahit yang tidak bisa ia hindari. Dalam hatinya, ia merasakan perlawanan, namun suara anaknya yang membutuhkan membuatnya ragu. "Perjanjian ini berlaku sampai kapan?" tanyanya, suaranya bergetar penuh kepasrahan. Terdengar jelas bahwa menjadi simpanan Roy bukanlah keputusan yang mudah baginya. Roy menghela napas, suaranya sedikit melunak. "Tidak ada batas waktu," jawabnya. "Aku tidak akan mengekang kebebasanmu dan anakmu. Aku akan membiayai anakmu sampai dia dewasa, bahkan memberinya tempat di perusahaanku. Setidaknya, putraku tidak akan tumbuh sendirian." Jessie menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. Pilihan yang harus diambilnya terasa seperti beban yang nyaris tak tertanggungkan, namun satu hal terus bergema di pikirannya: masa depan anaknya. “Kondisi jantungku tidak baik, Mungkin saja aku akan tiba-tiba tidak sadarkan diri atau meninggal mendadak. Apakah kamu masih sudi memiliki simpanan yang tidak tahu bisa hidup lama atau tidak?” Jessie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. “Harry keberatan dengan kondisiku sehingga dia menyakitiku seperti ini.” “Masalah kesehatan, aku memiliki dokter yang terkenal,” jawab Roy dengan suara mantap, “Kau tidak perlu khawatir. Tetap jaga kesehatanmu demi anakmu,” lanjutnya. “Bagaimana... kalau suatu saat Harry mengetahui kalau anakku bersamaku? Mungkin dia tidak akan diam saja. Dan pasti akan mencari masalah. Saat itu akan melibatkanmu,” kata Jessie, suaranya bergetar. “Aku tidak mencemaskan hal itu,” ujarnya santai, “Bukankah dia yang melakukan kesalahan sejak awal? Untuk apa kau harus takut. Laporan medis juga bisa membuktikan bahwa dirimu terluka akibat dibuang ke jurang dan diselamatkan olehku. Hanya dengan ini, kita bisa menuntutnya,” lanjutnya dengan senyum yang menguatkan. Jessie terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Roy. Hatinya sedikit lega, meski bayang-bayang Harry masih menghantuinya. “Istirahat dengan baik, Setelah kamu sembuh, aku akan membawa kalian ke tempat tinggal yang sudah aku aturkan,” ucap Roy dengan nada penuh keyakinan. *** Di sebuah perdesaan yang terpencil dan dikelilingi perumahan kumuh, rumah-rumah kayu berdiri seadanya, dindingnya sudah lapuk dan atapnya bocor di sana-sini. Di dalam salah satu rumah yang sempit dan gelap, terdengar tangisan bayi yang memecah keheningan malam. Bayi itu menangis tanpa henti, tubuhnya kecil dan rapuh, seolah mengungkapkan kesedihan yang belum bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Seorang wanita dengan pakaian lusuh melangkah pelan memasuki kamar yang hampir kosong, diterangi oleh cahaya redup dari celah jendela yang sudah tak layak. Di sudut ruangan yang sempit, hanya ada sebuah kasur usang yang diletakkan di atas lantai kayu yang mulai lapuk. Udara dingin merembes masuk, membuat suasana semakin terasa dingin dan sunyi. Dengan wajah letih dan mata sayu, wanita itu mendekati bayi kecil yang terbaring di atas kasur. Wanita itu mengambil botol s**u yang sudah lama tak terpakai, kini hanya berisi air putih, dan menyodorkannya ke mulut si bayi. Bayi itu langsung mengisap dot botol itu dengan lahap, tak peduli bahwa yang ia hisap hanya air tanpa rasa. Kelaparan telah membuatnya menerima apa pun yang bisa mengisi perut kecilnya. “Tidak tahu siapa yang tidak bertanggung jawab membuangmu ke sini,” gumam wanita itu, suaranya terdengar pahit. Matanya memperhatikan tanda lahir di leher kiri bayi itu, sebuah tanda kecil yang menjadi satu-satunya petunjuk tentang asal usulnya. “Orang tuamu benar-benar iblis,” gerutunya, menahan emosi yang ia sendiri tak bisa pahami. Tiba-tiba, terdengar suara keras dari luar kamar. Seorang pria, dengan nada marah, berteriak, membuat wanita itu tersentak. “Hei, untuk apa anak itu kau bawa pulang? Buang saja!” seru pria itu dengan nada memerintah, suaranya penuh kebencian dan keengganan. Wanita itu menunduk, seakan tertekan oleh kata-kata pria tersebut. Namun, di dalam hatinya ada rasa iba yang tidak bisa ia abaikan. Meskipun hidupnya penuh kesulitan, ia tidak tega membuang bayi tak berdosa itu. Bayi itu adalah korban dari Lina yang membuangnya jauh dari kota. Sehingga diadopsi oleh warga desa di sana. Tidak tahu bagaimana nasib putra Jessie dan Harry, akankah Jessie menyadari bahwa bayi yang dia rawat saat ini bukan putra kandungnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN