Sandra keluar dari kamar dengan langkah lemah, tubuhnya membungkuk sedikit dan batuk yang terus-menerus mengguncang tubuhnya hingga napasnya terdengar berat. Wajahnya yang sudah tua tampak penuh kelelahan, tetapi matanya menyiratkan tekad yang tak akan goyah. Setelah memastikan bayi yang ada di depannya sudah tenang, ia melangkah perlahan ke ruang depan, tempat suaminya, Jones, duduk dengan botol minuman di tangannya.
"Apa kau bisa diam, ha? Kenapa kau bicara seperti itu?" Tanya Sandra dengan suara serak, mencoba menyembunyikan amarah dan kesedihannya.
Jones menatapnya sambil menghela napas panjang, seolah bosan dengan pembicaraan yang sudah berkali-kali mereka lakukan. "Sandra, kondisi kita saja sedang dalam kesulitan," katanya, suaranya datar namun penuh niat. "Bagaimana kalau kita jual saja anak itu? Kita juga tidak bisa merawatnya. s**u dan bajunya tidak murah. Kita bahkan tidak makan kenyang setiap hari. Kita jual dan dapatkan uangnya."
"Jones, kalau kau berani menjual anak ini," ucap Sandra dengan suara gemetar, tetapi nadanya penuh ancaman, "Aku akan membunuhmu. Bayi ini sangat malang nasibnya. Lagi pula, di desa ini semuanya hidup bercukupan bahkan ada yang tidak makan kenyang seperti kita. Siapa yang ingin membelinya?"
Jones mengangkat bahu seakan masalah itu tidak penting baginya. Dengan santai, ia meneguk minumannya lagi, cairan pahit mengalir ke tenggorokannya. "Kita jual saja kepada bos judi," ujarnya tanpa rasa malu. "Tukar dengan uang. Bukankah itu lebih bagus?"
"Lihatlah dirimu," katanya lirih, namun tajam, "Selalu saja minum sampai mabuk-mabukan. Uang yang kita dapat dalam sehari tidak seberapa. Aku bahkan tidak sanggup beli obat. Seharusnya kau beli makanan untuk kita. Kau malah menghabiskan ke minuman." Napasnya semakin berat, tetapi ia memaksa dirinya melanjutkan. "Kapan kau akan sadar, kita sudah tua."
Ia kemudian berbalik, melangkah pelan ke kamarnya, punggungnya yang rapuh tampak semakin jauh dari pandangan Jones. Tapi bukannya tersentuh, Jones malah mendengus kesal. Ia menatap punggung Sandra yang kian hilang di balik pintu kamar dan berkata pelan, nyaris berbisik.
"Dasar wanita tidak tahu diri," gumamnya dengan nada meremehkan. "Anak itu akan aku jual. Lihat saja nanti!" Matanya menyipit dingin, sementara pikiran gelap berputar di kepalanya. "Mana mungkin begitu bodoh membesarkan anak orang tanpa imbalan."
***
Zoanna mengamuk di dalam penthouse mewah, amarahnya tak lagi bisa terbendung. Dengan gerakan kasar, ia melempar vas bunga ke arah dinding, pecahan kaca dan serpihan vas berserakan di lantai marmer. Barang-barang lainnya ikut beterbangan, menciptakan pemandangan berantakan yang menegangkan. Para pekerja rumah tangga hanya bisa menunduk diam, tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Suasana terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
"Brak!"
"Roy Fernando, aku adalah istrimu! Tapi kau tidak pernah menghargaiku!" seru Zoanna, suaranya bergetar oleh rasa sakit dan kemarahan yang tertahan terlalu lama.
Roy tiba tak lama kemudian, menggendong putra mereka, Felix. Ketika langkahnya memasuki rumah, pandangannya segera jatuh pada lantai yang dipenuhi pecahan dan barang-barang berserakan.
"Mama!" Felix berseru dengan suara kecil. Matanya membesar penuh ketakutan saat melihat ibunya dalam kondisi seperti itu. Anak kecil itu berpegangan erat pada ayahnya, seolah mencari perlindungan dari pemandangan yang menyeramkan.
Zoanna menoleh, matanya penuh emosi yang campur aduk. Saat melihat Roy dan Felix, amarahnya tampak bertambah, namun ia berusaha menahan diri. Ia menghampiri mereka dengan tatapan penuh ketidakpercayaan.
"Apa kau mengila lagi? Kenapa tidak sekalian saja membakar rumah ini?" sindir Roy, suaranya dingin, namun ada kilatan kekesalan yang tak bisa disembunyikan.
Zoanna menatap Roy dengan tajam, matanya memerah. "Kau membawa anak kita ke rumah jalang itu? Aku yang melahirkannya, dan kau menyerahkan dia pada wanita lain. Roy Fernando, apa masih tidak cukup kau menyiksaku?" Suaranya bergetar, emosi yang ia tahan meledak seketika.
Roy menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarah. "Aku tidak ingin ribut denganmu di depan Felix. Felix minta pulang karena ingin bertemu denganmu," katanya. Suaranya datar, tetapi tegas, mencoba menenangkan situasi.
Zoanna terdiam sejenak. Ia menatap putranya, berusaha menguasai diri. Tangannya gemetar ketika ia mencoba tersenyum, meski sorot matanya masih penuh kesedihan. "Felix, maafkan Mama. Kemarilah!" katanya, suaranya melembut saat berbicara kepada anaknya.
Roy menurunkan Felix dengan perlahan. Anak itu ragu-ragu, tetapi kerinduan pada ibunya tak bisa disembunyikan. Dengan langkah kecil dan hati-hati, ia berjalan mendekat.
"Mama!" serunya sekali lagi, suaranya pecah oleh perasaan campur aduk. Ia berhenti tepat di depan ibunya, menatap wajah wanita itu dengan tatapan polos dan penuh harap.
Zoanna berjongkok, menyentuh wajah Felix dengan lembut, seperti takut merusaknya. "Sayang, bagaimana denganmu? Apa kamu baik-baik saja? Bibi itu... apakah merawatmu dengan baik?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Setetes air mata jatuh di pipinya, tetapi ia berusaha tetap kuat di depan putranya.
"Felix merindukan Mama," jawab anak itu dengan polos, membuat hati Zoanna terasa remuk.
Roy, yang menyaksikan pemandangan itu, merasa marah sekaligus khawatir. "Walau kau selalu keras padanya, dia selalu ingin dekat denganmu. Aku hanya meminta, jangan melukainya dan membuatnya trauma denganmu!" katanya tegas, matanya menatap Zoanna penuh peringatan.
Zoanna menarik napas dalam dan mengangguk pelan, memeluk Felix erat-erat. "Aku akan menjaganya dengan baik, tenang saja," ucapnya, berusaha menunjukkan ketulusan.
Roy menghela napas, seolah mencari keyakinan di balik kata-kata Zoanna. "Apa aku bisa percaya padamu?" tanyanya.
"Aku adalah ibunya. Mana mungkin aku tega menyakitinya," jawab Zoanna, membenamkan wajahnya di rambut Felix.
Jam dinding menunjukan pukul 23.00
Felix, putra kecil mereka, telah lama terlelap di kamar Zoanna, menuntut perhatian sang ibu di malam yang dingin itu. Sejenak, Zoanna menatap wajah polos putranya, menarik selimut ke bahunya, sebelum beranjak ke kamar Roy dengan harapan kecil di hatinya.
Roy tidak berpaling dari laptop. Jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, seolah-olah dunia di sekitarnya hanya berupa bayang-bayang yang tidak penting. Zoanna menghela napas. Ia mendekati ranjang dengan langkah pelan, merasa udara di kamar semakin dingin seiring tatapan Roy yang tetap terpaku pada pekerjaannya.
"Sudah malam, Kenapa masih belum istirahat?" Suaranya lembut, penuh harap. Ia ingin menghilangkan jarak yang tak kasatmata, merobohkan tembok dingin di antara mereka.
"Ada yang belum aku selesaikan," jawab Roy tanpa mengangkat pandangan. "Apakah Felix sudah tidur?"
"Sudah!" kata Zoanna singkat. Ia mendekat, menyentuh bahu Roy perlahan. Ada kerinduan dalam matanya, bercampur dengan kepedihan yang tak lagi bisa disembunyikan. "Roy, kita sudah lama tidak melakukannya," ia berbisik, memiringkan wajahnya untuk mencium pria yang pernah menjadi dunianya. "Bagaimana kalau malam ini kita...?"
Namun Roy menarik diri. Sorot matanya dingin, penuh ketegasan. "Aku masih sibuk," katanya, tak memberikan ruang untuk perdebatan. "Pergilah ke kamarmu!"
Hening menyelimuti mereka. Zoanna merasa hatinya mencelos. "Apakah kamu sama sekali tidak ingin memberi aku kesempatan? Apakah J4lang itu lebih hebat di atas ranjang sehingga kau mengabaikan aku?" tanya Zoanna dengan kecewa.