TAN:
Gue, Alvin dan Fandi menatap Kiara yang sedang mengobrol akrab dengan Arif Sakanada dari kejauhan. Mereka seperti teman yang sudah lama nggak jumpa. Kelihatan akrab banget.
"Wah si bangke ngedeketin gadis lo tuh, Tan?" Fandi langsung menjadi kompor. Dia yang pertama kali melihat pemandangan itu dan langsung memperlihatkan pada gue, bertepatan ketika Kiara tertawa cukup lebar, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Goddamn it!!! Gue akhirnya sudah nggak tahan dengan pemandangan ini. Kiara bisa begitu akrab dengan Arif Sakanada. Gue nggak peduli ada hubungan apa antara keduanya sampai bisa membuat Kiara tertawa selepas itu. Padahal waktu gue bersama dia, Kiara termasuk cukup pelit untuk bisa tertawa lepas seperti itu, biasanya Kiara cuma tersenyum ketika membicarakan
sesuatu hal yang lucu saat bersama gue. Gue melangkah lebar menuju meja tempat Kiara dan Arif Sakanada.
"Wait! Lo mau ke mana, Tan?" Alvin menahan lengan gue supaya menghentikan langkah.
"Nyamperin Arif Sakanada, memperingatkan dia supaya nggak ganggu milik gue."
"Woy, cari mati lo. Taruhannya jabatan lo, Tan." Sekali lagi Alvin memperingatkan agar tidak macammacam dengan Arif Sakanada.
"Halah ...," Gue nggak mendengarkan lagi nasihat dari sahabat gue. Langkah gue semakin dekat menuju meja Kiara, mata gue menatap tajam ke arah tawanya.
Gue juga nggak ngerti kenapa gue bisa semarah ini sekarang. Apa gue sedang cemburu? Yes, nggak bisa dipungkiri, gue sedang marah sekaligus cemburu karena ada orang lain yang bisa membuat Kiara, perempuan yang gue suka, bisa merasa nyaman berada di sisi lakilaki lain. Gue juga marah karena Kiara nggak seharusnya
dekat dengan pria itu. Kiara mungkin nggak tahu bahwa Arif Sakanada itu sudah beristri.
"Selamat malam Pak Arif Sakanada," sapa gue mencoba ramah. Gue berusaha sebisa mungkin untuk calmdown.
"Ya, malam, pak Dastan." Arif tersenyum menerima sapaan dari gue.
Gue tengah menatap pria yang berbeda generasi itu dengan tatapan tajam dari balik mata gue. Arif pasti sadar kalau gue tengah menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan kekesalan.
Kiara tersenyum kepadaku lalu berkata, "Mas Arif kenal Dastan?" tanya Kiara dengan nada ragu.
"Mbak Kiky kenal juga?" tanya Arif.
"Iya kenal, Mas. Dastan yang mengundang saya ke acara ini."
Gue semakin nggak mengerti kedekatan seperti apa antara Arif dan Kiara ini. Kenapa mereka bisa se-akrab
itu sampai saling menyebut 'mas' dan 'mbak' sebagai embel-embel untuk nama masing-masing. Hell Yeah!!!
"Maaf pak Arif, Kiara ini pasangan pesta saya malam ini. Saya mohon pengertiannya," ujar gue masih dengan tatapan dingin.
Kiara akhirnya mulai merasakan suasana yang cukup tegang saat ini. Arif seolah mengerti dengan atmosfer berbeda yang terlihat jelas dari cara gue menatapnya, memilih untuk menyingkir.
"Beruntung Pak Dastan bisa mengenal perempuan seperti mbak Kiara."
Arif beralih menatap Kiara. "Mbak Kiky juga beruntung loh bisa kenal sama Pak Dastan. Saya rasa kalian pasangan yang serasi dan cocok sekali. Semoga kalian berjodoh ya," ujar Arif kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.
"Mas Arif, ini nggak seperti yang mas lihat. Saya cuma temenan kok sama Dastan." Kiara membantah.
Gue tahu kalau saat ini Kiara sedang mencoba menahan malu akibat ucapan Arif. Kiara berusaha mengejar langkah Arif, tapi gue sudah terlebih dulu menahan dan menyuruhnya untuk duduk kembali.
"Ngapain dikejar? Aku tuh nggak suka ya, kalau perempuan yang lagi jalan sama aku, flirting sama lakilaki lain." Gue yakin kata-kata gue yang bernada tinggi ini akan menyulut api amarah Kiara. s**t! Kenapa gue jadi out of control gini? Gue bahkan nggak peduli setelah ini Kiara akan menganggap gue bastard atau apalah.
"Hah, what do you mean? Kamu nggak seharusnya ngomong seperti itu sama perempuan berusia 28 tahun seperti aku. Kalau mau ngomong kayak gitu, ngomong sama abg aja sana," jawab Kiara dengan ketus.
"Eh, kamu nggak tau siapa Arif Sakanada. Dia pria berumur dan sudah pernah menikah dua kali. Apa kamu mau dijadiin istri ke tiga nya, hah?"
Ucapan gue berakhir dengan bentakan terhadap Kiara. Sifat posesif yang menjadi dasar dari sifat gue,
seketika mendominasi otak gue saat ini. Seolah gue sudah melabeli Kiara itu 'milik gue', dan gue nggak akan rela melihat dia merasa nyaman di sisi orang lain. Itu yang membuat gue emosi seperti ini.
Kiara beranjak dari kursinya setelah gue membentaknya. "ANDA TIDAK PUNYA HAK MEMBENTAK SAYA!!!" Kemudian dia bergegas ke luar ballroom.
"Kamu mau ke mana? Acaranya mau dimulai." Gue mencekal lengan Kiara supaya gadis itu nggak melanjutkan langkahnya.
"Dari awal saya tidak berminat sama acara seperti ini. Saya hanya mau menghormati Anda saja sebagai tuan rumah di sini. Saya permisi dulu. Selamat malam."
Kiara pergi setelah berbicara dengan nada yang terkesan sangat formal, mengingatkan gue saat pertemuan kedua kami di sebuah mall di Surabaya. s**t! s**t! SHIIITTT!!! Semua mata tertuju pada kami saat ini, karena suara Kiara cukup keras saat membentak gue tadi. Dia melanjutkan langkahnya keluar dari ballroom.
Gue berniat menyusul Kiara sebenarnya, tapi langkah gue tertahan karena ada panggilan dari atas panggung untuk gue. Gue harus memberikan sambutan sebagai pembuka acara pesta ini.
"Damn! Double damn!!!" Umpat gue geram. Dengan terpaksa, gue melangkah untuk naik ke panggung yang telah disediakan, dengan perasaan marah dan kesal yang bercampur aduk.
Gue memang selalu gagal mengontrol emosi jika sudah menyangkut soal perempuan yang berhasil mendominasi pikiran gue. Ya Tuhan, gue nggak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Kiara hanya gara-gara sikap kekanakan gue tadi.