“Apa Bapak enggak bisa kembali sama Mama lagi?”
Pertanyaan Kinan terus terngiang di kepala. Aku belum sempat menjelaskannya karena bel sekolah sudah berbunyi tadi. Jika dia kembali bertanya, jawabannya jelas tidak. Namun, tidak semudah itu membuat gadis yang sudah beranjak dewasa itu mengerti. Walau aku tahu, Kinan adalah gadis yang sangat cerdas.
Mengingat apa yang terjadi di sekolah tadi, sepertinya memang seharusnya aku membuat kartu keluarga baru yang dengan jelas menerangkan bahwa aku adalah Bapak dari gadis itu. Tentu saja, aku akan membicarakan ini dengan Nurma. Perihal perlakuan rekan-rekan Kinan di sekolah juga … pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh gadis itu. Ahh … jelas itu tidak akan mudah. Jika aku bertanya semata-mata kepada Nurma, pasti ia berpikir jika aku memang menginginkan Sri kembali. Namun, demi Allah. Perasaanku hanya untuk Nurma seorang saat ini dan sampai kapan pun.
Truk kukemudikan menuju kediaman Pak Mul dan Karto. Namun, ternyata mereka sudah menunggu di depan gang. Gegas kuhentikan kendaraan besar itu untuk menunggu Pak Mul dan Karto naik.
“Kok, tumben lama, Mas? Mbak Nurma belum pulang?” tanya Karto.
Aku menggeleng. Kujelaskan jika bukan itu alasannya. Aku terlambat karena mengurus Kinan di sekolah. Gadis itu mendapat perlakuan tak baik di sekolah dan membuatnya jadi ketakutan.
“Wah, masih ada aja yang begitu. Terus gimana, Mas? Kinan ndak apa-apa?”
Aku melirik sekilas pada pemuda itu. Pemuda tanggung berusia 20 tahunan yang enggan melanjutkan kuliah dan memilih jadi kuli pasir kepadaku.
“Dia ndak berani lapor sama guru,” sahutku.
“Kamu dan Nurma harus lebih dekat sama dia, Pram. Jangan sampai dia merasa sendiri. Mamanya jauh, kalau bukan sama kalian, sama siapa lagi dia mengadu,” sahut Pak Mul.
Aku mengiakan. Iya, jelas hanya kepadaku dan Nurma. Bagas juga masih kecil. Tak mungkin bisa diajak bicara. Sejenak, aku teringat percakapan Kinan dan Sri di telepon kemarin malam. Tempat yang dihuni mereka masih menjadi tanda tanya bagiku. Aku masih yakin jika Sri tak akan senekat itu menjadi wanita malam. Namun, ini sudah 15 tahun berlalu. Tak mungkin keadaannya masih sama dengan waktu aku meninggalkannya tempo hari.
Hari itu, pekerjaanku jadi tidak fokus. Aku meminta maaf pada Pak Mul dan Karto karena terpaksa menolak permintaan pelanggan demi bisa pulang lebih awal. Mungkin memberikan waktu lebih pada Kinan akan membuatnya nyaman dan terbuka kepadaku dan Nurma. Iya, tak ada salahnya dicoba.
Usai menurunkan Pak Mul dan Karto, aku bablas menuju ke sekolah Kinan. Sepertinya ini sudah waktunya gadis itu pulang. Aku lantas menepikan truk dan menunggu anak sekolah bubar. Dan benar saja, beberapa saat kemudian Kinan terlihat berjalan keluar dari gerbang sekolah.
“Kinan.”
Aku memanggilnya. Gadis itu menoleh kemudian melambai. Usai menyeberang bersama rekan-rekannya, dia berlari ke arahku.
“Bapak kenapa jemput? Kinan bisa pulang sendiri. Sudah tahu jalannya,” katanya.
“Iya, kebetulan bapak sudah pulang. Terus lewat sini, jadi ingat Kinan.”
Kinan mengangguk. Kuminta dia naik dan kami pulang setelah itu. Dalam perjalanan yang tak begitu jauh itu, aku bertanya mengenai kehidupan Kinan sebelum di sini.
“Apa Kinan ndak tau, Mama Kinan sudah menikah dengan orang lain setelah putus sama bapak?” kataku.
Aku menoleh dan melihat gadis itu mengernyit. Kinan menggeleng lemah, lalu menimpali ucapanku.
“Mama enggak pernah menikah, Pak. Sejak Kinan kecil, kami cuma hidup berdua. Sesekali ke rumah nenek. Itu juga cuma sebentar soalnya nenek selalu marah-marah sama Mama,” jelasnya.
Aku terdiam. Waktu itu, Munif jelas-jelas bilang jika Sri menikah dengan juragan sawit. Dia juga mengambil foto keduanya ketika berada di pelaminan. Aku melihatnya dengan jelas, jadi yakin bahwa Sri memang sudah menjadi milik orang lain. Namun, mengapa Kinan sama sekali tak mengetahuinya?
“Kinan, sebenarnya apa kerjaan Mama? Kalian tinggal di tempat seperti apa? Malam kemarin bapak dengar kamu minta dijemput sama Mama. Kinan ndak betah tinggal sama bapak?”
Aku memberondong gadis itu dengan banyak pertanyaan. Berharap aku bisa mengetahui sedikit saja informasi yang mungkin bisa aku gunakan suatu saat nanti. Namun, Kinan hanya menunduk dalam. Sepertinya itu memang pertanyaan berat yang tidak bisa dia jawab. Jadi, sepanjang sisa perjalanan Kinan hanya diam. Sampai akhirnya kami sampai di depan rumah.
Kumatikan mesin dan hendak turun dari kabin ketika Kinan menahan tanganku dan mulai membuka suara mengenai kehidupannya di Kalimantan.
“Tempat kami tinggal bukan rumah, Pak. Bukan rumah yang hangat seperti rumah Bapak. Bukan tempat yang damai dan bisa merasa nyaman seperti di sini. Enggak ada ketenangan sepanjang hari. Pekerjaan Mama sama saja. Banyak hasilnya, tapi selalu habis enggak tau ke mana. Bapak tau Jaras?”
Kinan menoleh sembari menyebutkan satu nama tempat yang tentu saja tidak asing bagi kami yang pernah tinggal di Kutai Barat. Tempat yang sepanjang hari tak pernah lengang. Selalu terdengar lagu dangdut koplo yang menggema ke segala penjuru. Tempat yang katanya surga bagi para pria-pria kesepian dan perantauan. Naungan bagi wanita-wanita pemberi jasa 4646 serta hiburan bagi lelaki hidung belang. Lantas, di sanakah mereka tinggal selama ini? Astagfirullahaladzim, anakku. Sesulit itukah hidup kalian karena aku?