Bab 6. Menjemput Bahagia

721 Kata
Aku terbangun di sofa rumah Anas usai tak sadarkan diri karena dihajar habis-habisan oleh pria itu. Terdengar tangisan Nurma juga suara Anas yang meninggi membentak wanitaku di ruangan samping. Aku bangkit walau rasanya sekujur tubuhku masih terasa remuk akibat pukulan Anas yang bertubi-tubi. Tetap kupaksa untuk bangun dan segera berjalan ke arah mereka yang sedang beradu arguman. "Nurma," panggilku. Wanita itu menoleh, lalu berlari ke pelukanku. Derai air matanya dia usap dengan kasar menggunakan punggung tangannya yang halus. Dia masih sangat kalut. Bahkan tubuhnya masih gemetaran, mungkin karena melihatku sampai pingsan tadi. "Mas Pram ndak apa-apa?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Wajah Nurma berubah sedikit cerah. Tak lama, Anas menyusul Nurma mendekat kepadaku. Air mukanya masih penuh dengan amarah. Pria itu kemudian menarik kasar lengan Nurma menjauh dariku sebelum akhirnya wanitaku menolak dan berlari ke belakangku. “Mbak mau sama Mas Pram, Nas.” "Kenapa Mbak Nurma bodoh sekali? Mbak akan terus sakit hati kalau tetap sama Mas Pram," ucapnya bersungut. "Ndak Nas, Mbak ndak apa-apa," jawab Nurma sambil menangis. Wanita itu menggamit lenganku dan bersembunyi di balik bahu. Nurma masih menangis. Namun, ia tak melepas pandangan sedikitpun kepada Anas. "Mbak, dia ini lelaki br*ngsek. Mana ada lelaki baik-baik yang tega menodai kekasihnya, lalu meninggalkannya begitu saja? Kalau dulu dia pernah setega itu, lain kali juga pasti sama. Dia pasti akan meninggalkan Mbak Nurma. Tinggalin dia, Mbak,” ucap Anas masih dengan emosi. Aku membuang napas dengan kasar. Semua yang Anas katakan memang benar. Namun, tak bisakah ia melihat sikapku yang sudah berubah selama 10 tahun terakhir ini dia mengenalku? Pernah nakal belum tentu sekarang masih nakal. Lagi Anas berteriak dan berharap Nurma akan mau meninggalkanku. Pria itu memang sangat menyayangi Nurma sejak Ibu mereka meninggal. Akan tetapi, bukankah ini namanya terlalu ikut campur. Walau aku tahu, rasa sayanglah yang membuat pria itu bertindak demikian nekat. Membawa pulang sang kakak ke rumahnya karena tak mau aku melukainya. "Nas, tolong jangan paksa kami pisah. Kami saling mencintai," ucapku. Kuterima lagi satu pukulan dari kepalan tangan Anas ke pelipisku. Anas benar-benar mengeluarkan tenaganya untuk memukulku kali ini hingga darah mengalir segar melewati sebelah mata kiriku. Rasa pusing kembali kurasakan. Namu, aku masih bisa bertahan. Sementara Nurma menjerti hingga terdenagr memekikkan telinga. "Pukul Nas, semaumu. Mas terima, tapi tolong jangan pisahin aku sama Mbakmu," ucapku pasrah usai bangun dari lantai. "Ahhh ...." Anas mengerang kesal. pria itu memukul meja dengan kasar dan mengusap wajahnya dengan gusar. Rasa marahnya diluapkan saat itu juga sebelum akhirnya Imah menangis menahan tangan Anas yang sudah memerah akibat memukul meja. Wanita itu menggeleng lemah. Tak mau lagi melihat kekerasan terjadi di rumahnya karena ada anak-anak yang pasti akan trauma melihat pertikaian mereka. “Sudah, Mas. Imah mohon hentikan!” pinta wanita itu. Anas terlihat mencoba meredam emosinya. Pria itu menoleh kepadaku dengan napas yang coba ia netralkan sebisa mungkin. "Pergilah! Tapi inget, ya, Mas, kalau sampai aku dengar Mbak Nurma bersedih gara-gara anak harammu itu aku ndak akan segan habisin kamu," gertaknya. Aku mengangguk lemah. Syukurlah Anas mengerti dengan apa yang terjadi padaku dan Nurma. Usai membereskan semuanya, aku segera mengajak Nurma dan Bagas pulang sebelum Anas berubah pikiran. 〇〇o Dengan sisa kekuatan, kukendarai truk menuju ke rumah. Tak masalah wajah dan tubuh babak belur. Asalkan keluargaku kembali utuh seperti sedia kala. Sesampainya di rumah, Nurma mengobati luka memar di wajahku. Dengan menggunakan handuk dan air hangat, ia membersihkan luka di pelipisku dengan lembut. Berkali-kali aku mengaduh karena lukanya memang terasa lebih sakit setelah di kompres. Namun, berkali-kali pula Nurma mencoba mengobatinya dengan pelan. Sampai akhirnya, aku berteriak kecil, "Tahan, Mas," ucap Nurma. "Iya Nur. Ini juga Mas tahan. Cuma rindu kamu aja yang Mas ndak tahan," sahutku sedikit berkelakar. Nurma mencebik menatapku. Wanita itu mengulurkan tangannya dan mendaratkan cubitan di pinggangku. “Auuh. Sakit, Nur,” kataku. Nurma tersenyum. Di saat seperti ini, hanya senyuman Nurma yang bisa menenangkanku.. Sungguh, aku tak akan bisa hidup tanpa wanita itu. Wanita terbaik di dunia yang kumiliki. "Aduh, sakit Nur," ucapku ketika Nurma dengan keras menekan memarku. "Mas Pram bercanda terus," sahutnya kesal. Aku mengulum senyum untuk wanita itu. Telempapku yang bebas terulur menyentuh pipinya yang putih. Wanitaku yang luar biasa ini tersipu karena merasa kesal sekaligus jengah. Kudekatkan wajahku kepadanya demi bisa menghidu aroma wanginya yang kurindukan. Sampai akhirnya, teriakan Bagas dari arah pintu menginterupsi kegiatan kami. "Ibuu ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN