Usai sholat subuh, Almira menaikkan rok mukenanya ke dadaa agar tidak terlalu panjang dan memudahkannya untuk melangkah ke sana ke mari. Dia sejak tadi sudah tidak khusyu dalam sholatnya, sebab telinga Almira yang tajam itu berhasil menangkap suara yang beberapa saat lalu sempat membuatnya penasaran. Apa ustadz yang melakukan kultum subuh tadi masih muda? Suaranya terdengar berat, namun lembut sekali. Seksi kalau kata Almira.
Baru saja keluar dari kamar, Almira langsung terjungkal mencium lantai. Dia memekik kesakitan, meringis marah. "Kurang ajar ya lo bocah!" Memaki anak kecil yang sedang menertawakan Almira. Dia baru saja menginjak salah satu mainan anak itu, sengaja sekali melakukannya untuk mengerjai. "Siall, gue dikerjain bocah!" Mendengkus, mengacungkan jari tengahnya. Almira memang sangat tidak sopan. Padahal dia hanya menumpang di sana--sebab sebelumnya tidak saling mengenal.
"Mampus, emang enak!" Anak itu memeletkan lidah, memberikan pantatt yang digoyangkan pada Almira meledek tanpa merasa bersalah.
"Anak siapa ini, gue nggak suka anak kecil. Nakal!" pekiknya membuat keributan. "Sini lo biar gue kasih pelajaran!" Memperlihatkan kepalan tangannya dengan mata memicing tajam. Berniat ingin menangkap anak itu, hanya saja dia duluan berlari dan berlindung pada seorang pria.
"Ada apa ini, Sadam?" Zehan menggendong anak berusia dua tahun itu, mengecup pipinya gemas. Dia sedikit terkejut ketika melihat Almira mengenakan pakaian tertutup, sangat jauh berbeda auranya dari semalam yang nampak berandalan. Rambut berwarna, ditambah pakaian kekurangan bahan. Coba saja bertemu dengan pria brengsekk di luar sana, sudah pasti habis dimanfaatkan keadaan Almira semalam. Naudzubillah!
Almira menganga, suara yang begitu dia kenali milik pria tampan di hadapannya ini? Almira langsung mengantup bibir, menutup sebagian wajahnya dengan mukena. Tanpa dia sadari pipinya sudah merona, tidak berhenti mengagumi pesona Zehan.
"Bibi ini nakal!" Sadam kembali bersuara, memecah keheningan yang tercipta dalam sekejap--menunjuk ke arah Almira.
"Lo pikir gue pembantu? Panggil gue Kakak!" Emosi Almira memang cepat tersulut, apalagi berhadapan dengan bocah tengil yang diawal pertemuan mereka sudah membuat ulah. Sakit sekali lutut Almira membentur lantai, untung bukan bibir atau giginya yang terbentur--bisa berakibat fatal. "Anak siapa ini, pagi-pagi bikin keributan aja lo ya!" Membalas dengan tatapan tidak bersahabat, malah membuat Sadam tertawa geli.
Sadam memeletkan lidahnya lagi. "Nggak mau, Nggak usah temani Bibi!" Memeluk leher Zehan, meminta pada Pamannya menuju ruang makan untuk sarapan.
"Jangan berantem, Sadam tidak boleh jahil pada orang lain. Minta maaf dulu sama Bibi."
Almira melotot, mencebikkan bibirnya. "Jangan panggil Bibi, aku nggak suka!"
"Ya sudah, Sadam minta maaf sama Tantenya."
"Eh, apa aku kelihatan setua itu?!" Zehan tidak menanggapi, tapi Sadam masih tidak berniat berteman dengan Almira. Sadam membuang muka, memberengut jahil bila bersitatap dengan Almira. "Resek bocah tengil!"
Zehan menghela napas. "Ucapan itu doa, berikan kalimat yang baik supaya menjadi doa yang baik juga."
"Aku nggak suka bocah, apalagi modelan begini. Pengen kutelan!"
"Jangan temani Bibi, Paman. Dia nakal." Sadam mendengkus, berniat memukul Almira yang dia mengerti tengah mengatainya.
Almira memutar bola matanya malas pada Sadam, berusaha menganaikan dan tetap menjaga imagenya di hadapan Zehan. "Ngomong-ngomong, kamu yang ceramah di masjid tadi?" Karena dia sangat penasaran, Almira langsung saja bertanya. Telinganya masih berfungsi dengan baik, tidak mungkin lupa dengan suara itu.
Almira menatap Zehan yang justru selalu menundukkan pandangan, gadis itu jadi tidak percaya diri. Apa penampilannya pagi ini sangat jelek? Tapi iya sih, Almira belum menggunakan make-up, mungkin saja saat ini wajahnya tengah pucat seperti mayat--apalagi cuaca tengah dingin sampai menusuk ke tulang. Bogor begitu sejuk, tidak bisa mengenakan pakaian terbuka di waktu pagi, dijamin langsung menggigil.
Zehan memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap, wajahnya tampan dengan bulu-bulu halus menghiasi rahangnya. Pandangan pria itu sangat teduh, seperti terlihat tidak memiliki dosa. Alisnya tebal dengan mulu mata lentik. Iris cokelatnya terlihat berbinar indah saat menatap Sadam yang menurutnya menggemaskan.
"Iya. Ada apa?"
Mata Almira membola, langsung memegangi dadanyaa yang berdebar lebih cepat. "N-nggak, nggak pa-pa. A-aku denger tadi." Tiba-tiba bahasa lo-gue berubah menjadi lebih enak di dengar. Almira sedang gugup?
Zehan mengangguk singkat, kemudian membawa Sadam menuju ruang makan tanpa banyak bicara lagi. Dia terkesan dingin, tidak banyak bicara, dan mungkin sedikit datar? Ah, atau hanya perasaan Almira saja.
"Kok gue nggak di ajak ke ruang makan? Tambah nggak tau diri nggak sih kalau tiba-tiba gabung dan minta makan?" Almira sama sekali tidak mengenal keluarga ini, tapi entah bagaimana caranya berada di sana dan diperlakukan sebaik mungkin layaknya keluarga sendiri. Almira akui, keluarga Zehan benar-benar baik, bahkan dia dibebaskan menggunakan apa saja di kamar yang barusan Almira tiduri tadi padahal dia orang asing yang datang dalam keadaan mabuk kan?
"Nak Almira, ayo sarapan bareng." Umu Fatimah memanggil hangat, menyunggingkan senyum melihat Almira menggunakan pakaian tertutup--jauh lebih cantik dan terlihat anggun sekali. "Nak Almira, kenalkan ini suami Umi, panggil saja Abi ya. Kalau ini Zehan, putra sulung Umi. Yang kedua ada Fatimah, dan terakhir namanya Alif. Adik-adiknya Zehan lagi di pesantren, tinggal di sana. Biasanya kalau akhir minggu baru pulang."
Almira mengangguk paham, kemudian masih melirik tajam di Sadam. "Kalau bocah itu siapa? Dia resek banget, pagi-pagi udah bikin aku terjungkal di depan kamar. Untung nggak dagu atau bibir aku yang terbentur lantai, kalau iya kan bisa aja berdarah." Sengaja Almira mengadu, ingin melihat bagaimana reaksi anak itu saat ditegur Neneknya.
Umu Fatimah menghela napas. "Sayang, nggak boleh kayak gitu lagi ya? Nenek sudah bilang nggak boleh jahil, nanti dimarahin Allah. Sadam mau nggak ada temannya?"
Sangat di luar dugaan Almira, dia pikir Umu Fatimah bakal marah besar. Ternyata menegurnya pun tetap memakai kalimat yang super halus. Bagaimana anak kecil bisa takut?
"Namanya Sadam, Nak Almira. Dia anak sepupunya Zehan, setiap hari dititipkan di sini saat Mama dan Papanya mengajar di pesantren."
"Bibi nakal, Nek." Menunjuk Almira, sama-sama mengadukan ketidaksukaannya.
Almira mencebikkan bibir. "Dasar anak kecil. Yang nakal siapa, malah aku yang dijelekin. Kujewer nanti telinganya!" Membuang buka, segera mengambil menu makanannya. Sejak subuh tadi Almira kelaparan, makan roti tidak akan membuatnya kenyang.
"Makannya sedikit-sedikit dulu, Nak. Nanti tidak habis mubazir. Setann paling suka berteman dengan orang yang buang-buang rezeki." Abi membuka suara ketika melihat piring Almira penuh dengan semua sayuran dan ayam. Bahkan gadis itu mengambil tiga bakwan jagung sekaligus.
"Habis kok. Aku emang makan banyak. Lagi laper, dari kemarin belum makan. Tenang, aku pasti habis." Kemudian langsung melahapnya dengan riang. "Enak!" pujinya kemudian dengan maka berbinar. Almira mengambil sambal dan menaruh ke piringnya. Terlihat rakus dan terlalu napsu. Almira memang senang kalap mata.
Zehan hanya diam, tidak bersuara apa-apa. Cukup terkejut melihat tingkah gadis seperti Almira, baru dia temui sekarang. Tapi bagusnya anak itu tidak jaim, dia terkesan apa adanya--meski rada bar-bar dan tidak tertolong kelakuannya.
"Bibi makannya banyak." Sadam geleng-geleng kepala. Anak kecil itu berbicara layaknya anak seusia dia, tidak mudah memahami bahasanya, hanya orang-orang terdekat yang sudah terbiasa.
"Terserahku dong!" Almira memeletkan lidahnya. "Jangan sewot, makan aja bubur kamu. Kesian deh nggak bisa makan ayam, padahal kan enak."
Sadar menggeleng, menutup mulutnya. "Nggak suka ayam!"
"Apa kata dia, Umi? Aku nggak paham dia pakai bahasa planet mana." Almira menaikkan bahu cuek, terang-terangan mengatai Sadam di depan keluarganya. Hei ya Allah, Almira kamu sehat? Kamu bahkan hanya menumpang di sana.
"Kalau makan tidak boleh banyak bicara. Nikmati saja rezeki yang tengah di hadapi."
"Tapi kok Abi bicara."
"Abi hanya memberitahu. Tolong dengarkan, sejak tadi kamu ngomong terus." Zehan menyahuti rada judes.
Almira mengantup bibirnya rapat, menatap Zehan beberapa saat. Pria itu terlihat kembali tenang, melanjutkan makannya dengan damai dan pelan-pelan. "Nggak asik!" gumam Almira pelan, ikut menghabiskan makanannya saja. Setelah itu senyap, tidak ada siapa pun yang membuka suara. Hanya terdengar detik jarum jam.
Selesai sarapan, Almira bingung harus melakukan apa. Dia ingin pulang, tapi tidak memiliki ongkos. Tas dan dompetnya tidak tahu berapa di mana, dia hanya membawa diri ke kediaman keluarga Zehan. Entah apa yang terjadi padanya semalam, mungkin dia kecelakaan atau kerampokan? Siall sekali nasibnya, alkohol semalam memang benar-benar menghabiskan akal sehat Almira. Sama sekali tidak tertinggal sedikit pun.
"Eh, Zehan ... kamu mau ke mana?" panggil Almira yang tiba-tiba melihat Zehan tengah bersiap. Sepertinya akan pergi, dia rapi dengan gamis dan pecinya. Lelaki ini memang sangat tampan, wajahnya begitu menarik untuk selalu dipandang dalam waktu yang lama.
Zehan tidak menatap Almira. "Ke pesantren, mau ngajar."
"Wah, kamu ustadz?" Zehan hanya bergumam singkat, mengangguk sebagai tanda menghargai. Sebenarnya dia sangat tidak nyaman berdekatan dengan Almira seperti ini, sebab itu sedikit menjaga jarak. "Baru kali ini liat ustadz ganteng." Almira bergumam dalam hati. Tersenyum bahagia, mengusap permukaan dadanyaa.
"Ada apa? Jika tidak ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, saya akan berangkat."
Almira menggeleng, mencegah kepergian Zehan. "Gimana ceritanya aku bisa sampai ke sini? Tas dan barang-barang aku di mana? A-aku nggak bisa pulang, aku nggak punya duit."
"Kamu mabuk."
"Aku tahu. Terus aku kerampokan dan kamu menolong gitu?"
"Kamu hampir menabrak mobil saya. Karena melihat kamu mabuk, saya terpaksa membawa kamu pulang. Tidak aman wanita dalam keadaan tidak sadar ada di tengah jalan seperti semalam, takutnya ada orang jahat yang memanfaatkan kelemahan kamu."
Mendengar jawaban Zehan, hati Almira berdesir bahagia. Ada sesuatu yang rasanya sulit dijelaskan. "Terus barang-barang aku masih di mobil?"
"Iya. Saya cuman membawa kamu, tidak kepikiran dengan semua barang-barangnya. Kunci mobil kamu masih saya simpan, setelah ngajar saya antar kamu pulang."
"Berapa lama ngajarnya? Aku kalau tinggal di sini lama-lama juga betah, di rumah aku sering sendirian juga." Almira terkikik geli, memperlihatkan senyumannya yang lebar. "Zehan, kenapa kamu nggak suka liat ke arah aku? Aku jelek banget?"
"Saya pergi dulu. Assalamu'alaikum." Zehan langsung melenggang pergi, sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Almira. Tidak saling menatap saja sudah membuat jantungan, apalagi saling menatap kan? Berbahaya sekali rayuan setann, apalagi Almira sejak semalam begitu menggoda iman. Zehan selalu istighfar ketika mengingat keadaan Almira, pakaiannya sangat tidak layak dikenalan.
Almira menatap punggung tegap Zehan yang kian menjauh dari pandangan. "Wa'alaikumussalam calon Imam." Tersenyum geli, kemudian memukul kepalanya sendiri. "Kebanyakan gaya. Tipe wanita Zehan bukan kayak elo, Al. Sadar diri, lo jauh dari kata gadis baik-baik dan sholehah."
"Bibi ngomong sendirian." Sadam memeluk boneka jerapahnya, keheranan melihat tingkah Almira yang sejak tadi pagi mencuri perhatian. Baru pertama kali juga Sadam melihat orang seperti Almira, seru untuk dia jahili. Raut marah Almira justru menjadi candu untuk anak itu, menurutnya lucu saja.
"Apa lo? Jauh-jauh dari gue, hus, hus!" Almira menatap tajam, kemudian membuang muka dan langsung beranjak menuju kamar.
"Itu mukena Bibi Fatimah." Sadar mengadu pada Neneknya. Memberitahu jika yang Almira pakai ialah mukena yang sering Fatimah kenakan ketika di rumah. "Nggak boleh pinjam."
Umu Fatimah mengecup pipi cucunya. "Boleh, Nak. Nggak boleh pelit, nanti Allah marah loh. Sadam mau?"
"Enggak." Menggeleng cepat, memeluk Neneknya dengan sayang. "Mau minum susuu."
"Ayo, Nenek bikinkan. Setelah ini Sadam tidur ya, Sayang. Kata Mama, tadi malam Sadam nggak bisa tidur ya, gelisah karena kelelahan bermain. Jadi hari ini biar Nenek keloni sambil menghapal asmaul husnal ya?" Sadam mengangguk setuju, dia sangat bersemangat kalau menghapal sambil bersenandung asmaul husna. Suara Neneknya sangat merdu, Sadam menyukainya. Biasanya jika tidak asmaul husna, Umu Fatimah akan bersenandung sholawat Rasulullah.
Meski baru berusia dua tahun, Sadam sudah pandai bersenandung sholawat Rasulullah dan mengikuti bacaan surah-surah pendek Al-Qur'an. Sebab itulah yang selalu dia dengar dari orang-orang terdekatnya. Tidak malam, siang pun hanya syair islami dan kajian agama yang masuk ke dalam pendengarannya.
****
"Umi, aku bawa dulu ya mukenanya Fatimah. Soalnya mau pakai baju semalam, takut nggak dianterin sama Zehan. Aku pakai mukena aja dia agak risih, gimana kalau pakai dress setengah telanjangg ini." Almira cemberut, padahal dia lebih seksi dan cantik kalau mengenakan pakaian terbuka. Apalagi tubuhnya putih bersih, biasanya begitu mencuri perhatian. Semakin banyak yang memuji kecantikannya, Almira merasa berhasil menjadi perempuan.
Umu Fatimah mengangguk. "Boleh, Sayang. Pakai saja ya, Fatimah masih ada mukena lain. Nanti kamu jalan-jalan ke sini lagi. Jangan kapok main ke sini, nanti Umi ajakin ke pesantren."
"Aku kalau liburan ke Bogor tidur di villa orangtua. Nggak jauh dari sini kayaknya. Tapi sore ini aku mau balik ke Jakarta dulu, ada kerjaan yang mau aku urus, Umi."
"Baiklah, Nak. Hati-hati di jalan. Jangan mabuk-mabukan lagi, sangat berbahaya untuk keselamatan kamu. Diri kamu sangat cantik dan berharga, jangan sampai kenapa-kenapa ya. Jangan lupa sholat."
Almira tersenyum hangat, mengangguk paham. Sejak tadi subuh hingga dzuhur di kediaman Zehan, Almira tidak melewatkan sholat. Rasanya terharu, sebab biasanya gadis itu selalu bodo amat. Sibuk dengan hal-hal tidak penting, kemudian malamnya berakhir mabuk lagi. Kebiasaan yang cukup sulit dihindari, semacam sudah menjadi pelarian paling nyaman dan membuat lega.
"Iya, Umi. Terima kasih banyak. Titip salam sama Abi ya, maaf nggak bisa nunggu Abi pulang dari pesantren dulu, nanti mobil aku bisa dibawa polisi karena parkir sembarangan di pinggir jalan."
"Tidak apa, Nak. Hati-hati di jalan ya."
Almira mengalami Umu Fatimah. "Terima kasih udah mau menampung aku, ngasih makan yang banyak, dan sabar menghadapi sikapku. Maaf kalau pembawaan diri aku kurang sopan."
"Tidak apa, Nak. Kamu anak yang baik, Umi tahu itu. Jangan sungkan mampir ke sini ya. Rumah Umi selalu terbuka buat kamu."
"Oke, Umi. Nanti aku main lagi ke sini." Mengucapkan salam, kemudian melambaikan tangannya riang. "Umi kamu baik." Almira berkata demikian kepada Zehan yang sudah menunggu di mobil sejak tadi.
Zehan tidak menanggapinya, melajukan mobil dengan diam.
"Aku pengen ngehafalin jalan menuju ke sini, nanti siapa tahu bisa main lagi. Mobil aku ada di jalan yang mana?"
"Jalan tol."
"Astaga, bisa dibawa polisi nih. Mati aku!" Menepuk keningnya, menghela napas kasar. "Kamu kenapa nggak bawain barang-barang aku sekalian? Kalau ada ponsel kan aku mudah ngehubungin orang buat jemput mobil aku."
"Saya tidak kepikiran."
"Nanti anterin ke kantor polisi kalau nggak ada di jalan tol ya. Ini juga termasuk salah kamu. Lalai sih!"
Zehan menatap Almira beberapa detik. "Jangan bawa-bawa saya. Untung kamu saya tolongin."
"Oh jadi kamu nggak ikhlas begitu, Pak Ustadz?" Zehan memilih tidak menanggapi, nanti malah makin panjang masalahnya. "Aku juga nggak minta kamu bawa aku semalam. Harusnya biarin aja aku di mobil, paling nanti diculik."
"Harusnya memang seperti itu."
Almira menganga, refleks memukul lengan Zehan. "Jahatnya kamu."
"Tolong jangan menyentuh lagi, saya sedang menjaga wudhu." Bukannya mengiyakan, Almira malah jahil berusaha menyentuh Zehan. Jari telunjuknya menyentuh punggung tangan pria itu yang sedang menyetir. "Astaghfirullah, Anak ini!" geram Zehan berusaha sabar. Baru saja mengambil air wudhu sebelum berangkat tadi, sekarang sudah dibatalkan dengan sengaja oleh Almira.
"Maaf, aku sengaja." Menaikkan bahunya tanpa merasa berdosa, terkikik geli. "Ayo cepat bawa mobilnya, aku biasanya kayak pembalap."
"Lebih baik kamu diam saja."
Almira mencebikkan bibirnya kesal. Menopang dagu dengan wajah memberengut masam. "Ternyata kamu ngeselin juga, aku pikir lemah lembut gitu. Soalnya suara kamu ceramah tadi subuh nenangin banget. Yang adzan tadi pas Dzuhur juga kamu kan? Merdu, aku suka dengarnya."
"Bilang terima kasih kalau dipuji."
"Iya, terima kasih."
"Sama-sama." Almira terkikik geli. Menatap Zehan dengan mengulum senyum, senang bertemu dengan orang-orang yang ramah. Membuat betah, apalagi bisa mengingatkannya soal agama. Meski petakilan begini, Almira sangat senang jika orang itu menyuruhnya sholat. Rasanya begitu disayangi.