Karena sudah tau tokonya Zehan di mana, alhasil sore ini Almira kembali datang ke sana. Dia iseng ingin menjahili Zehan, tapi kali ini Almira membawakan sesuatu yang spesial. Dia sengaja tidak mampir ke kediaman Razzaq, sebab tau kalau setiap sore sampai malam--jika tidak ada jadwal ceramah atau acara penting, Zehan pasti ada di toko. Hari ini Almira menebak saja jika Zehan lagi free, hatinya berkata demikian.
"Zehan, aku datang!" Almira menunjukkan senyum lebar sekali. Dia nampak cantik mengenakan pakaian serba hitam, gamis dan kerudung panjang. Tumben sekali bukan? Biasanya Almira selalu berkata jika pakaian seperti ini kayak ibu-ibu, panas, dan ribet. "Sutss, aku bakal diam-diam kok datang ke sini. Nggak ngasih tau siapa pun, aku mau makan berdua sama kamu."
Tanpa sempat Zehan menolak dan mengusir, Almira sudah masuk ke dalam tokonya, membawa sepatu dia juga untuk disembunyikan. "Aku masuk ke dalam sini aja, jangan ngusir!" Lalu menaikkan bahu, duduk di ruang makan sederhana milik sehat di toko itu. Sebenarnya toko parfum Zehan cuman di depan, sementara di bagian belakangnya ada ruangan lain untuk istirahat, sholat, dan makan. Jika terlalu malam pulang dari toko, biasanya Zehan memilih menginap di sana.
Zehan memijat kepalanya pusing. "Pulang Almira, jangan sentuh apa pun kepunyaan saya!" Dia membentak, sangat tidak senang dengan cara Almira yang seperti ini. Begitu mengganggu kehidupan damainya, keras kepala, dan pembangkang. Andai tidak berdosa menyentuh dan memarahi Almira, Zehan sudah menarik tangannya dan mengomeli menyuruh pulang. Tidak habis-habis caranya mengganggu Zehan.
Almira tidak mendengarkan, malah mengambil piring dan sendok. "Aku masak lagi nih. Kali ini wow banget. Aku bikin ayam rica-rica, enak kok. Aku udah nyobain. Aku penuh perjuangan banget bikinnya, jangan di tolak ya." Almira memperlihatkan lukanya yang sudah ditutup plester. "Tangan keiris pisau terus kulit aku melepuh kecipratan minyak. Ayamnya meledak-ledak, tapi aku usahain berani dengan memakai jaket dan masker."
Zehan memijat pelipisnya. "Kamu tahu kita bukan mahram, tidak baik ada di ruangan tertutup begini berduaan. Pulang, saya akan memakan masakan kamu."
"Makanya nikahin aku dong, kan enak mau berduaan gini."
"Pulang, Almira. Jangan buat saya marah. Saya sudah bosen lihat kelakuan kamu."
Almira memberanikan diri menatap Zehan. "Cup, cup. Jangan marah dong, aku kan lagi nggak buat masalah. Ayo makan bareng, calon suami. Udah aku siapin tuh."
"Nggak, saya nggak akan makan kalau kamu masih di sini."
"Nantang aku?"
Zehan terdiam sebentar. "Pulang, saya nggak mau berurusan dengan kamu."
Almira berdiri dari kursi makannya, menatap Zehan dengan tangan terlipat di depan dadaa. "Aku bisa loh bikin kita berdua nikah malam ini. Aku tinggal teriak kalau kamu berbuat hal nggak senonoh ke aku, orang-orang bakal berdatangan. Mau mencobanya?"
"Jangan macam-macam, saya nggak akan memaafkan kamu."
"Yakin? Aku percaya loh kalau cinta bakal datang seiring berjalannya waktu. Kalau kita udah hidup satu rumah, gimana pun besarnya kamu nolak aku ... bakal kalah juga akhirnya. Kerasnya pria itu nggak sama kayak wanita, mereka bakal kalah oleh napsunyaa sendiri. Nggak percaya?"
Zehan memejamkan mata, kehabisan kata-kata. "Astaghfirullah, saya baru kali ini ketemu gadis kelebihan akal!" Gemas Zehan dengan menggertakkan gigi, rahangnya mengetat dengan mata memicing.
"Makan Pak Ustadz, aku janji bakal diam dan nggak bikin ulah. Sebenarnya cukup liat muka kamu, aku udah seneng kok." Almira terkikik geli, kembali duduk dan menikmati makanannya. Menu kali ini dia sedikit dibantu oleh Bibi Juli, tapi secara keseluruhan, Almira sudah mengetahui dan memahami cara pengolahan bumbunya.
"Makan calon suami, mumpung masih hangat. Mau aku suapi?" Almira menatap Zehan yang masih kesal, dia nampak memainkan ponsel. Entah sedang mengirimi pesan pada siapa. "Aku masak buat kamu, jangan ditolak. A-aku bakal sedih banget." Dengan khawatir, Almira masih bisa mengulas senyumnya. Apa Zehan sebenci itu padanya?
Mau tidak mau, Zehan akhirnya menerima piring makanannya. "Saya makan di luar, nggak baik berduaan dalam ruangan tertutup. Ada banyak setann yang mengganggu."
"Oke, tapi jangan dibuang. Kalau enggak enak, nggak sesuai lidah kamu rasanya ... nggak usah dihabisin, nggak pa-pa. Nanti aku yang makan sisanya, aku takut nasinya nangis. Ini rezeki, aku juga bikinnya susah payah."
"Iya, kembalilah ke dalam. Teman saya akan ke sini, kamu jangan bersuara apa pun. Awas saja kalau berulah, saya nggak bakal maafin kamu." Zehan tahu ini sudah tidak sempat untuk menyuruh Almira pulang, apalagi gadis itu sedang makan. Temannya sudah dekat, ingin minum kopi bareng sekalian mengobrol. Teman kecil Zehan, mereka sudah lama tidak bertemu--karena pria itu menyelesaikan pendidikannya di Ibu Kota.
Almira tersenyum senang, mengangguk paham. "Aku nggak bakal bersuara. Aku nunggu kamu, nanti kita pulang bareng ya?"
"Enggak!" Wajah ceria Almira seketika hilang. "Jangan banyak mau, saya kesal sama kamu." Lantas beranjak, makan di meja kasir. Karena sibuk mengajar hingga jam tiga tadi, Zehan kebetulan belum makan siang juga. Setelah beberes toko niatnya ingin mencari makan ke luar, ternyata Almira duluan datang. Entah ini namanya rezeki baik atau bagaimana, yang pasti Zehan jengkel sekali.
"Zehan, mau kopi. Boleh keluar pesen kopi dulu?"
Zehan tersedak, kemudian meminum airnya. "Nggak, nggak usah macam-macam. Di dalam aja!"
"Kopi kamu itu ... buat aku ya?" Menunjuk ke arah kopi Zehan yang baru diminum sedikit.
"Enggak!"
Bibir Almira ditekuk. "Aku nekat aja!"
Zehan mengepalkan tangannya. "Astaghfirullah, anak ini. Ya sudah, iya-iya. Ambil ini, dan diam di dalam tanpa banyak protes. Saya nggak segan ngusir kamu ya!" Lalu mengusap dadanyaa setelah Almira kembali masuk ke dalam, memejamkan mata mengatur napas. Almira adalah ujian paling berat. Entah bagaimana ceritanya mereka jadi bertemu terus. Zehan tidak pernah menemui wanita seperti Almira, semoga hanya ada satu di dunia. Jangan banyak-banyak, bisa kacau.
****
Setelah mengobrol cukup lama dengan temannya, mereka juga sholat berjamaah di masjid depan. Baru beranjak ketika selesai isyaan. "Kamu mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Zehan.
"Langsung balik kayaknya, udah ditunggu nyokap. Seneng akhirnya ketemu lo lagi setelah bertahun-tahun pisah. Nanti kalau gue liburan ke sini, bisa lebih lama ngobrol ke tempat lo. Mepet banget waktu gue, entar jam sepuluh udah balik. Besok gue ada kerjaan di Jakarta."
Zehan mengangguk hangat. "Sehat-sehat, nanti ke sini yang akan datang udah ngasih undangan pernikahan ya?" ledeknya sambil tertawa kecil. Katanya Denta akan menikah dalam waktu dekat, tinggal membicarakan hari yang pas untuk acara mereka. Zehan senang, akhirnya Denta menemukan jodoh, dulu dia salah seorang yang tidak percaya diri sekali. Tapi lihat sekarang, dia bisa meraih kesuksesannya.
"Pasti. Gue bakal ngabarin lo, datang lebih awal ke acara gue. Lo satu-satunya temen gue yang paling tulus, sering doain yang baik-baik buat gue." Menepuk lengan Zehan, menaik-turunkan alisnya. "Lo juga cepat menyusul ya, jangan kelamaan nunggu. Gue juga berharap lo ngasih kabar sesegeranya ya. Gas aja, gue yakin dia nggak bakal nolak. Lo udah sesempurna ini, apalagi yang diraguin kan?" Dulu Zehan pernah bercerita dia menyukai seorang gadis. Dan ya, Denta orang yang paling menyenal Zehan. Dia bahkan tahu jika perasaan Zehan belum berubah sejak dulu, tanpa bertanya sekali pun.
"Insyaallah, doain aja. Dia sebentar lagi pulang, pendidikannya udah selesai di sana."
Denta dapat bernapas lega. "Akhirnya ya, Han, kita nikah juga. Udah tua nih, bahaya kalau nggak segera nikah. Lumayan memupuk pahala lebih banyak, insyallah menjadi suami yang baik ke depannya."
"Aamiin, Ta. Saya juga berharap begitu, semoga kita selalu melangkah dalam kebaikan ya."
Denta mengangguk. "Gue balik, Han. Habis ini mau makan malam bareng nyokap, udah telat nih. Gue tinggal ya, nanti gue kabarin kalau hari acara udah ditentukan. Jangan sampai nggak datang, gue seret dari Bogor ke Jakarta!" candanya sambil mengangkat bahu, cuek. Senang menjahili Zehan.
"Iya, iya, saya akan datang. Jika acaranya hari jum'at, saya datang hari rabu. Lebih awal, kamu tenang saja."
"Astaghfirullah. Gue pikir lo mau datang seminggu lebih awal."
Zehan tertawa. "Gampang diatur. Ya sudah gih, pulang. Hati-hati di jalan, kalau sudah sampai Jakarta kabarin aja. Titip salam sama Ibu ya, bilang sama Ibu jaga kesehatan. Maaf nggak sempat mampir ke sana."
"Aman. Titip salam juga sama Umi dan Abi. Gue balik. Assalamu'alaikum." Melambaikan tangannya, kemudian melajukan mobilnya dengan senang habis berjumpa teman lama yang ternyata masih begitu hangat dan seakrab dulu.
"Wa'alaikumussalam." Zehan tersenyum, senang sekali. Kemudian langsung menyeberang jalan menuju toko parfumnya. Namun sebelum itu, Zehan ke sebelah dulu. Mengambil pesanan kopinya tadi di kedai.
Zehan mengernyit setelah ingat Almira. Sejak tadi gadis itu sama sekali tidak bersuara. Saking asiknya mengobrol dengan Denta, Zehan sampai lupa keberadaan Almira. Untung tadi Denta tidak numpang ke kamar mandi, Zehan sempat takut keberadaan Almira diketahui. Bukannya apa, Zehan takut ini jadi fitnah. Dia akan semakin berdosa, ini saja rasanya sudah bersalah sebab membiarkan Almira tetap ada di tokonya.
"Astaghfirullah." Zehan geleng-geleng saat melihat Almira berada di kamar tidurnya. Berbaring di sana dengan damai, gadis itu ketiduran. Pasti lupa sholat maghrib dan isya. "Almira bangun. Waktunya kamu pulang."
Almira mengernyit, kemudian mendengkus sebal tidurnya diusik. Almira hanya mengubah posisinya, kembali tidur dengan nyaman.
"Almira bangun. Kamu sudah keterlaluan sekali. Ini kamar pribadi saya. Nggak ada yang pernah seberani ini memasuki ruangan saya selain kamu." Termasuk adik-adik Zehan, mereka selalu meminta izin ketika memasuki kamarnya. Ini adalah privasi.
"Sudah pagi kah?"
"Masih malam, cepat pulang."
Almira menggeliat, menghela napas sepanjang-panjangnya. "Nyenyaknya tidur habis makan, enak banget kasur kamu. Hangat."
"Pulang, saya hitung sampai tiga. Kamu sudah terlalu lancang, ini ruangan pribadi saya."
"Aku jadi perempuan pertama yang tidur di sini kan? Semoga jadi yang terakhir juga. Aku seneng di sini, adem dan nyaman. Ruangannya sewangi kamu, aku jadi betah berlama-lama."
"Pulang, Almira. Jangan buat saya marah."
Almira mendengkus, kemudian bangun dari posisinya sembari mengumpulkan nyawa dan tenaga. "Antar pulang yuk, calon suami."
"Pulang sendiri."
"Kamu nggak mau pulang? Rumah kita sejalur loh."
"Saya menginap di sini."
"Kok gitu? Ya sudah, aku menginap di sini juga. Janji deh nggak bakal bikin ribut, aku diam aja. Tidurnya bareng di kasur ini, senengnya."
Zehan mengusap dadanyaa, memejamkan mata geram. "Pulang, Almira! Jangan buat saya marah." Berkali-kali Zehan mengulang kalimatnya, Almira memang selalu menyulut emosi.
"Masa kamu biarin aku naik taksi sendirian malam-malam. Nanti aku diculik, kamu nikahnya sama siapa?"
"Nggak lucu. Cepat pulang, saya kasih waktu lima menit untuk beberes."
Almira melotot, segera mengikuti Zehan yang melangkah ke luar. "Aku aduin Umi."
"Bilang saja, justru Umi yang akan kecewa sama sikap kamu. Nggak baik wanita mendatangi pria begini, apalagi dalam keadaan sendirian dan sama-sama belum memiliki pasangan. Ini akan jadi fitnah dan dosa besar."
"Makanya aku udah bilang, kita menikah saja."
"Nggak!"
"Kenapa? Aku udah belajar masak, aku cantik, aku seksi, aku anaknya baik kok."
"Pulang, Almira!"
Almira mencebikkan bibirnya. "Aku akan minta ke Abi Kiai buat nikahin kita. Aku suka kamu, biar nggak jadi dosa lagi."
"Saya nggak menyukai kamu!"
Setelah itu Almira langsung bungkam dengan dadaa berdebar lebih kencang. "Kok jahat?" katanya dengan suara memelan. Mata Almira berkaca-kaca, tatapannya berubah murung.
"Pulang!"
"Tarik ucapan kamu. Kita akan menikah kan? Kamu nggak tau perihal jodoh, Allah bisa aja membolak-balikkan hati kamu." Zehan menatap Almira dalam diam, tatapannya sangat tidak bersahabat. "Aku tetap akan bilang ke Abi."
"Maka saya akan membenci kamu."
Almira merapatkan bibirnya, menahan tangis dengan mata yang sudah berlinang. "Jahatnya. Kamu nyakitin perasaan aku, kamu tahu itu? Aku udah berusaha menunjukkan yang terbaik, kamu nggak pernah menghargai aku."
"Pulang, saya nggak pengin kita berantem dan didengar orang."
"Kamu jahat. Aku bakal sumpahin kamu biar cinta sama aku. Bakal kepikiran aku terus sampai rasanya nggak bisa tidur kalau nggak liat muka aku dulu!"
"Silakan, tapi saya memiliki Allah yang Maha Melindungi dalam segala keadaan baik. Dia tahu saya sedang nggak nyaman berada di dekat kamu, dia juga tahu jika saya sudah melakukan yang terbaik agar nggak saling menyakiti. Tapi kamu nggak pernah mau mengerti. Jangan bersikap berlebihan, jaga harga diri kamu sebagai perempuan. Jangan mengejar laki-laki, tapi biarkan laki-laki yang mengejar kamu."
"Aku sebel sama kamu. Aku nggak bakal menyerah sebelum kamu mau menerima aku!" Berdecak, bertekad kuat sampai Zehan mengerti jika perasaannya benar-benar tulus. Almira tahu dia bukan gadis sholehah seperti yang Zehan inginkan, tapi dia bisa belajar dan berusaha memperbaiki diri. Zehan juga bisa membimbing Almira ke jalan lebih baik kan?
Zehan meninggalkan Almira tanpa banyak bicara lagi, lebih memilih diam di kedai. Dia tidak mau peduli terlalu banyak pada Almira, gadis itu selalu menyalah gunakan kebaikannya.
Dengan perasaan bergerimis lagi, Almira terpaksa pulang dari toko Zehan. Dia melangkah sedih di sepanjang terotoar, mencari taksi yang lewat. "Aku semurahann itu? Tapi aku suka sama kamu, masih juga nggak mau ngerti. Baru kali ini aku ditolak mentah-mentah."
Di dalam taksi yang dia tumpangi, akhirnya Almira menumpahkan tangis. Dia menelepon Hana, kemudian curhat sebanyak-banyaknya.
Seperti biasanya, Hana juga ikutan marah melihat sikap Almira. Sudah Hana peringatkan berkali-kali jika tingkah Almira akan membuat Zehan risih dan semakin tidak senang dengan kehadirannya. Harusnya Almira lebih kalem.
"Tapi gimana ... kalau gue nggak deketin Zehan, dia nggak bakal deketin gue duluan. Lo liat aja, dia sedatar dan selurus itu hidupnya."
"Ya jalan satu-satunya lo minta ke Allah, Almira. Lo aja masih suka ninggalin sholat, gimana Allah mau memudahkan jalan lo bersama Zehan? Deketin dulu penciptanya, baru hambanya. Kalau Allah sudah berkata 'iya', besok pun bisa hati Zehan berubah lembut."
"Sedih banget nasib gue. Sekalinya suka malah ditolak begini."
Hana memijat pelipisnya. "Sudah gue peringatin ratusan kali, lo yang nggak mau denger. Heran, keras kepala banget. Udah, nggak usah cengeng. Abis ini bersih-bersih, lo sholat sana. Minta yang terbaik untuk ke depannya. Siapa pun jodoh lo nanti, dia adalah pilihan dari Allah."
"Maunya Zehan. Boleh minta Zehan ke Allah?"
"Iya boleh. Tapi jangan memaksa, lo juga harus ingat kalau Allah-lah yang punya kuasa di atas segalanya. Menurut lo udah baik, belum tentu di mata Allah juga gitu. Pokoknya serahin semuanya, percaya sama Allah. Jika pun Zehan bukan jodoh lo ... berikan cara terbaik biar hati lo ikhlas."
Almira menghela napas berat. "Zehan cowok yang sempurna banget di mata gue. Tapi omongan dia nyakitin."
"Kadang kita memang perlu tegas, tapi bukan berarti itu jahat. Mengingatkan dengan cara lembut lo juga nggak paham, makanya dia pilih cara lain."
"Iya, iya. Gue paham. Udah dulu, gue mau sampe rumah nih. Nanti gue telepon lagi ya."
"Nggak usah nangis terus, nanti akhir minggu gue datang ke sana."
Almira mengangguk, kemudian mengakhiri panggilannya. Dia memegangi dadaa, berusaha sabar dan mengingatkan dirinya agar tidak sedih secara berlebihan.