Orang bilang, jatuh cinta pada pandangan pertama itu amat sangat mengasyikkan. Berawal dari pertemuan pertama secara tidak sengaja, lalu membawa alam sadar ingin memilikinya.
Masih ingat pertemuan singkat dengannya kala itu. Hujan lebat mengguyur kota tempat tinggalku. Di sanalah aku bertemu dengannya, seseorang yang kusebut bidadari turun dari kahyangan. Perempuan berambut panjang tergerai indah sedang menikmati guyuran air hujan di halaman rumahnya yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku.
Gadis cantik itu, tersenyum manis sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan. Saat itu, dia bermain air hujan bersama kedua temannya. Bermain kejar-kejaran, melompat dan yang membuat hatiku tergelitik, Gadis cantik itu tampak seperti sedang bernyanyi seolah sedang memeragakan adegan film Bollywood.
"Dia lucu sekali," gumamku waktu itu. Kutatap sosoknya dari balik gorden jendela rumah. Sesekali tawanya pecah dengan kedua matanya seakan menatap ke arah rumahku.
"Ah, jangan ge-er dulu!" sanggahku cepat. Terlalu cepat gerakan tanganku, sampai-sampai terbentur kayu jendela. Rasanya sakit sekali, tetapi entah kenapa rasa sakit ini menghilang ketika mendengar tawa riang perempuan cantik di luar sana.
Jangan! Jangan sampai aku suka sama dia! Apalagi sampai ketahuan Ibu. Bisa-bisa, beliau salah persepsi lalu nekat mengiakan saja. Tanpa bertanya kepadaku.
Ini kisahku, kisah awal mula mengenal cinta, persahabatan dan juga kasih sayang yang tulus dari orang-orang disekitar. Kisah yang unik jika kuceritakan kembali. Gadis cantik yang kutemui saat hujan deras itu, mampu membuat hariku penuh warna.
Kalau kisah ini aku ceritakan, apa aku mampu menghilangkan perasaan yang sudah lama hilang? Hilang bersamaan dengan dirinya yang membawa seonggok cintaku ke tempat barunya. Mengikuti kepindahan ayahnya ke rumah baru yang jaraknya sangat jauh. Hingga akhirnya aku tidak bisa bertemu dengannya lagi.
Inilah kisahku, kisah bersama gadis cantik bernama Desi Olivia Anggraeni.
~~~
"Ziz, ini gulungan kertas apa, ya? Kok, ada bunga segala? Udah gitu kertasnya wangi lagi. Kira-kira siapa yang ngirim kertas ini?" seru Ayah dari halaman rumah.
Pagi-pagi sekali, seperti biasanya Ayah selalu rajin menyapu halaman. Tidak seperti biasanya, ayah menemukan tiga gulungan kertas yang sudah diikat karet dan tak lupa di gulungan kertas itu, ada setangkai bunga berwarna putih ungu. Mirip bunga kangkung yang baru saja mekar. Aku menduga, ini dikirim baru-baru saja.
"Enggak tahu, Yah. Coba aja buka," sahutku tak acuh.
Kuambil sapu, lalu melanjutkan pekerjaan Ayah yang tertunda akibat penasaran dengan gulungan kertas itu.
"Dear cowok ganteng, boleh dong aku tahu namamu? Kalau boleh, tolong balas suratku ini, ya? Tertanda penggemar rahasiamu."
"Kok, enggak dibalas? Kenapa, kamu enggak suka sama aku, ya? Aku tahu kamu suka ngintipin aku lagi main air hujan. Makanya aku beraniin kirim surat ini. Beraniin juga nyatain cinta sama kamu. Balas dong, Ganteng."
Eh ...?
"Maaf, ya, aku kirim suratnya pake kembang kangkung. Habisnya aku enggak nemuin bunga mawar merah. Eh, pokoknya yang ini harus kamu balas! Kalau mau balas, kamu selipin aja di sela-sela tembok gerbang kamu, ya. Oke," ujar Ayah.
Tak lama kemudian, ayahku tiba-tiba saja tertawa sambil memperhatikan diriku. Beliau mendekatiku dan menepuk-nepuk pundak.
"Enggak nyangka, anak Ayah ada yang naksir. Eh, salah ... anak ayah suka ngeliatin cewek, ha-ha-ha," ledek Ayah. Sedangkan aku, hanya diam sambil menggerutu dalam hati.
"Ternyata cewek itu," gumamku menggerutu.
"Kamu kenal orangnya, Ziz?" tanya Ayah kemudian.
"Enggak," jawabku berbohong.
"Masa? Itu katanya kamu suka ngintipin dia lagi main air hujan. Berarti kamu kenal," ujar Ayah.
"Enggak, Yah. Aku 'kan baru tinggal di sini. Belum pernah main sama anak-anak di sini."
"Bener juga kamu. Ya, sudah kalau gitu, enggak usah ditanggapi. Mending Ayah buang aja ya suratnya," ujar Ayah.
Tanpa membuang waktu, beliau hendak melempar kertas itu ke tempat sampah yang penuh dengan dedaunan kering. Namun, tanpa sepengetahuan ayah, aku mengambilnya kembali. Ada perasaan menggelitik yang menyuruhku untuk memungut kertas itu.
Kubaca ulang tulisan tangan Gadis cantik itu. Tulisan tangan yang unik dan lucu. Lucu dengan kata-katanya yang terlalu percaya diri untuk anak seumuran denganku, lima belas tahun.
"Nah, ya ... ketahuan. Ngapain kamu senyum-senyum sendiri, Ziz?"
Aku terkejut saat mendengar suara Ayah yang berada tepat di belakangku. Beliau melihatku sedang membaca surat yang tadi ia buang. Sialnya lagi, ia melihatku tersenyum.
"Enggak kok, Yah. Aziz enggak senyum-senyum sendiri," sanggahku. Dengan cepat aku memasukkan surat-surat itu ke dalam saku celana.
"Ngapain kamu simpan surat yang udah ayah buang ke tempat sampah, Sayang?" selidik Ayah. Matanya tampak seperti sedang menyelidiki sesuatu.
"Eh, enggak ada, Yah," ujarku gugup.
Ayah malah tertawa mendengar penuturanku yang terdengar gugup.
"Ayah juga pernah mengalaminya, Ziz. Ayah paham apa yang kamu rasakan saat ini. Ayah tahu kamu lagi jatuh cinta 'kan? Coba ceritakan sama Ayah, siapa nama gadis itu?"
"Aziz enggak suka sama dia, Ayah. Cuma penasaran aja. Lagian juga siapa suruh dia hujan-hujanan enggak ngajak Aziz. Aziz juga kan pengin main air hujan bareng teman-teman."
"Nah, tuh ...." Lagi-lagi Ayah tertawa terbahak-bahak mendengar penuturanku.
Sialnya lagi, aku malah keceplosan cerita sama Ayah tentang gadis misterius si Pengagum rahasia. Membuat ayahku makin berani menggoda.
"Ayah ... apaan, sih? enggak lucu tahu, Yah! Aziz enggak suka sama dia."
"Ayah ngerti. Ayah kan udah bilang tadi, kalau ayah juga pernah mengalami rasa suka sama kayak kamu. Enggak apa-apa, itu lumrah. Asal jangan sampai ibumu tahu," ucap Ayah. Di kalimat terakhir saat Ayah menyebut Ibu, suaranya sengaja ia pelankan. Mungkin takut Ibu dengar percakapan kami.
"Kenapa dengan Ibu?"
"Kamu kayak enggak tahu Ibu aja. Setiap kamu ngomong, selalu dikabulkan bukan? Gimana nanti kalau ibumu tahu kamu lagi jatuh cinta sama perempuan? Bisa-bisa ibumu setuju."
"Kan, bagus juga kalau Ibu setuju. Jadi, aku enggak usah ngumpet-ngumpet," kataku polos. Sepolos pikiranku saat itu.
"Ish, kamu ini. Kalau sampai ibumu datang ke rumah cewek yang kamu suka gimana? Terus kamu dijodohin sama cewek itu. Kamu mau?"
Eh, aku tidak sampai berpikiran ke arah itu. Benar juga apa yang Ayah bilang. Kalaupun iya Ibu setuju, kalau tidak ... pasti ibu menggerutu setiap hari. Bahkan, yang lebih parahnya lagi, Ibu pasti melarangku untuk bermain diluar bersama teman-teman baru.
"Iya, Aziz enggak akan bilang sama Ibu. Ayah juga harus jaga rahasia, ya?"
"Siap, Bos! Tentara tidak pernah ingkar janji." Akhirnya, aku dan ayah pun tertawa bersama.
Agak malu juga ketika Ayah tahu kalau aku suka sama anak perempuan yang tinggal di sini. Awalnya aku pengin merahasiakan, tetapi malah ketahuan sama Ayah.
Tak apa Ayah tahu, toh ia sudah merestuinya. Jadi, untuk saat ini aku aman. Tinggal Ibu yang masih aku khawatirkan. Khawatir karena Ibu orangnya selalu mengiakan apa yang aku mau. []