Bel pulang sekolah berbunyi, tiba-tiba saja Dhifa dan Fuzie menghampiri.
“Hari ini kita jadi kerja kelompok kan?” tanya Dhifa yang kemudian duduk di samping kursiku.
“Kerja...kelompok?” tanyaku tak mengerti.
“Jangan bilang lo gak baca w******p gue tadi pagi? Gue kan ngechat lo ngingetin kalau hari ini kita kerja kelompok sosiologi di rumah Dhifa.” tutur Fauzie.
Dan setelah aku melihat layar handphoneku benar saja ada w******p yang masuk dari Fauzie tapi aku belum membacanya.
“Gimana? Bisa kan?” tanya Dhifa.
“Eh... iya iya bisa kok. Bentar ya gue telpone nyokap dulu buat kasih kabar.”
“Oke.” jawab Dhifa dan Fauzie serempak.
Pak Musholleh memberikan kami tugas kelompok yang 1 kelompoknya beranggotakan 3 orang. Tugas kelompoknya adalah kami harus melakukan penelitian sosial mengenai masyarakat majemuk, masyarakat majemuk berarti masyarakat yang beragam, masyarakat yang memiliki perbedaan suku, agama, adat-istiadat dan lain-lain. Kami harus turun langsung ke lapangan untuk melakukan survey tentang bagaimana masyarakat menanggapi kemajemukan yang ada di Indonesia. Namun sepertinya “Indonesia” terlalu luas untuk kami bahas, jadi kami perkecil wilayahnya dan dibuat menjadi lebih spesifik, yaitu Jakarta. Yang akan ditanyakan adalah bagaimana sikap mereka dalam menghadapi kemajemukan yang ada di kota Jakarta, apalagi kalau dipikir-pikir Jakarta merupakan Ibu Kota yang pastinya banyak sekali orang-orang yang datang dari berbagai daerah untuk kemudian tinggal di Jakarta. Nah sikap mereka dalam menghadapi kemajemukan itulah yang nantinya akan kami simpulkan dan kami buat datanya dalam bentuk diagram. Seberapa banyak orang yang bisa menerima perbedaan dan berapa banyak orang yang sulit menghadapi perbedaan.
Ini adalah tugas kelompok terakhir kami, mengingat kurang lebih 2 bulan lagi kami akan melaksanakan Ujian Nasional. Saat ini waktu sudah menunjukan pukul 19.00 WIB. Setelah semua data kami kumpulkan, aku pamit pulang pada orangtua Dhifa, orangtua Dhifa sebenarnya mau mengantarku pulang tapi aku terus menerus menolaknya karena takut merepotkan mereka. Fauzie sendiri sudah berkali-kali mengajakku untuk pulang bareng, tapi karena aku tahu rumah kami tidak searah, aku menolaknya juga.
“Bener Ran gamau bareng?” tanya Fauzie sekali lagi.
“Bener, gak usah. Gue naik bus aja.” aku meyakinkan untuk yang kesekian kali.
“Yaudah deh kalau gitu, gue duluan ya.”
“Oke.”
Sudah lima belas menit aku menunggu bus di halte, namun bus tak kunjung datang. Yang muncul malah sebuah mobil berwarna hitam. Tidak lama kemudian, kaca mobil tersebut terbuka.
“Rania, ngapain malem-malem sendirian?”
“Eh, Kak Riza. Ya lagi nunggu bus buat pulang lah ka, ngapain lagi emangnya?” jawabku santai.
“Yaudah ayo naik.”
“Hah? Naik?”
“Iya ayo naik. Bareng aja, kan kita searah.”
Tanpa berpikir panjang aku langsung naik ke mobilnya, mau bagaimana lagi, malam sudah semakin larut.
“Darimana? Kok masih pakai seragam sekolah?”
“Habis kerja kelompok di rumah teman, Kak.”
“Oh gitu, lain kali kalau pulang malam seperti ini, sebaiknya minta jemput papa atau mama, gak baik anak perempuan pulang sendirian apalagi udah malam begini, terlebih kamu masih mengenakan seragam lho Rania.”
“Iya, Ka, tadi mau minta jemput tapi handphone Rania lowbat.”
“Tapi InshaaAllah jika kamu tetap memakai jilbabmu itu ketika berada di luar rumah, InshaaAllah, Allah akan senantiasa melindungimu.”
“Iya, Kak, Aamiin.”
Mobil Kak Riza berhenti di depan rumahku.
“Makasih ya, Kak, tumpangannya. ”
“Ya sama-sama. Sampai ketemu besok Rania.”
Apa? Sampai ketemu besok? Dia bilang sampai ketemu besok? Maksudnya besok dia mau mengajakku bertemu gitu? Apa jangan-jangan dia mau ngajak aku jalan?
“Hah? Maksudnya ‘sampai ketemu besok’ itu apa ya?”
“Lho kamu gimana sih, besok kan jadwalmu les private dengan saya, sudah pasti kita bertemu kan besok?”
Ya ampun.
Benar.
Ah, bodoh sekali aku malah berpikiran yang macam-macam.
“Eh iya kak, maksud Rania sampai bertemu besok juga. Mau mampir dulu ga kak?”
“Gak usah saya langsung pulang aja ya sudah malam, salam saja buat papa dan mama.”
“Siap, Kak, nanti Rania sampaikan.”