Bagian Empat

792 Kata
Kami sampai di depan rumah, rumah yang rasanya sudah lama sekali tidak aku kunjungi, kemudian terlihat seorang perempuan paruh baya membuka gerbang. “Ma, itu siapa?” “Oh itu Bi Riri nak, dia pekerja rumah tangga baru di rumah kita.” “Lho kok pakai pekerja segala ma?” “Selama kamu sakit kemarin rumah tidak ada yang mengurus nak, mama hampir setiap saat berada di rumah sakit untuk menemanimu, sementara papa kan harus tetap bekerja, maka dari itu kami mencari pekerja untuk mengurus rumah.” “Mama setiap saat berada di rumah sakit? Mama gak kerja?” “Sejak kamu koma, mama memutuskan untuk berhenti dari tempat kerja, mama menyerahkan seluruh hidup mama untuk merawatmu, biarlah papa saja yang bekerja.” “Maaf ma, gara-gara aku mama harus kehilangan pekerjaan dan papa harus kerja banting tulang.” “Tidak nak itu bukan salahmu, semua itu adalah jalan yang sudah Allah berikan untuk keluarga kita.” “Kalau gitu mama kembali kerja saja, kan sekarang Rania sudah sembuh. Jadi tidak perlu pakai pekerja rumah tangga lagi.” “Kalau untuk kembali kerja mama rasa tidak, mulai sekarang mama ingin merawat dengan sepenuh hati suami dan anak mama ini. Kalau untuk tidak memakai jasa pekerja lagi, nanti akan mama dan papa pikirkan, ya kan pa?” Tanya mama kepada papa. “Kalau papa sih ikut yang terbaik aja” Jawab papa santai. Papa meminta bantuan Bi Riri untuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Kami bertiga masuk ke dalam rumah, rumah yang sangat nyaman, rumah yang aku rindukan. Tidak banyak yang berubah dari rumah ini, hanya saja sekarang terlihat lebih rapi, mungkin karena ada Bi Riri di rumah ini, beberapa barang yang biasanya tidak terletak pada tempatnya kini berada di tempatnya masing-masing. “Kenapa? Kangen ya sama suasana rumah?” “Iya pa, kangen banget hehehe.” “Mohon maaf pak, ini barang-barang ditaruh di mana ya pa?” “Taruh di ruang keluarga saja, nanti biar kami yang bereskan. Oh iya mumpung Bi Riri di sini, saya mau mengenalkan anak saya yang baru sembuh, kenalin bi, ini Rania.” “Hai bi, aku Rania.” “Oh ini Non Rania anaknya bapak sama ibu, wah cantik sekali ya persis Bu Reina. Saya Riri non, panggil Bi Riri saja.” “Terima kasih bi, siap.” Ucapku pada Bi Riri. “Yasudah kamu masuk kamar sana, walaupun sudah sembuh kamu harus tetap istirahat agar kondisinya bisa pulih seratus persen.” “Iya pa, aku ke kamar dulu ya.” “Hemm, masih inget kan di mana letak kamarmu?” “Masih dong pa! Kayak udah bertahun-tahun saja aku gak tinggal di rumah ini.” “Oh yowes bagus lah, papa pikir sudah lupa hehehe” Papaku memang hobi bercanda, ia termasuk tipe orang yang easy going. Kamarku berada di lantai dua sementara kamar papa dan mama berada di lantai satu bersamaan dengan kamar tamu. Sudah lama aku tidak melewati tangga ini, tangga yang memiliki 16 anak tangga ini sungguh membuatku rindu, seperti rumah-rumah kebanyakan, anak tangga-anak tangga ini terbuat dari kramik. Sesuai dengan yang aku pikirkan karena ada Bi Riri di rumah ini pasti kerapihan rumah ini semakin terjaga Jika dulu lantai dua yang berasa milikku sendiri aku gunakan sesuai dengan keinginanku, meletakkan barang dimana saja, tidak perduli sudah berapa lama mama mengoceh memohon agar aku merapikannya, kini lantai dua –yang tetap menjadi milikku sendiri- terlihat sangat rapi dan nyaman, tidak ada barang-barang yang berceceran, tidak ada bungkus makanan di kolong meja tv, tidak ada charger handphone di kolong kursi, tidak ada buku pelajaran di lantai. Kemudian aku berjalan ke arah pintu kamarku, di depan pintu bertuliskan “This is my Sweet Room -Rania-“ dengan tema kucing, binatang kesukaanku. Setelah membuka pintu kamar aku langsung merebahkan diri di kasur. “Oh kasurkuu! Aku sungguh merindukanmu” Sepertinya Bi Riri baru saja mengganti spreiku dengan sprei yang baru karena ketika mencium bantal aku merasakan wangi yang sangat luar biasa. Wah senangnya mereka menyiapkan hal-hal yang terbaik untuk kedatanganku. Sebelum aku terlelap karena terlalu nyaman dengan kasur ini, aku tidak melupakan pesan mama untuk minum obat. Aku ambil beberapa obat dan segelas air putih yang sudah mama siapkan di meja kamarku, aku meminumnya satu persatu. Setelah itu tidak ada yang bisa aku lakukan selain bermanja-manja dengan kasur serta guling dan kawan-kawannya, bukan hanya aku yang rindu dengan mereka, sepertinya mereka juga sudah lama merindukanku. Aku menatap langit-langit kamarku, merenungkan sejenak hal-hal yang sudah keluargaku lewati, kalau dipikir-pikir berat juga ya tak sadarkan diri selama 40hari, merawat dengan sepenuh hati orang yang tidak tahu kapan akan sadar. Aku sangat bersyukur karena Allah memberikan aku kesempatan untuk hidup kembali, memberikan papa dan mama kesempatan untuk merawat anak semata wayangnya lebih lama lagi, terima kasih ya Allah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN