Bagian Satu

702 Kata
Pandangan ku buram, buram sekali, tidak mampu melihat sekelilingku dengan baik, yang terdengar hanya suara teriakaan puluhan orang meminta tolong dan beberapa orang menanyakan kabar orang lainnya, semula suara itu sangat jelas, kemudian tidak begitu jelas, hingga.....tidak terdengar apa-apa lagi, aku tidak tahu apa yang terjadi sampai kurasa aku kehilangan kesadaran. Kamis, 31 Desember. Hari terakhir di tahun ini, itu artinya hari ini semua orang di seluruh penjuru dunia akan merayakan tahun baru secara bersamaan, termasuk aku dan keluargaku. Papa mengajak aku dan mama menonton film di bioskop, yap tepatnya saat malam tahun baru, aku ini anak tunggal, jadi sudah biasa menghabiskan waktu bersama papa dan mama di hari penting seperti ini. Papa dan mama memang tergolong orangtua masa kini, tepat saat papa lulus menjadi Sarjana Humaniora di Universitas Indonesia beliau menikahi mama, saat itu usia papa 22 tahun sedangkan mama 20 tahun. Saat itu mama masih menempuh pendidikan S1 jurusan Arsitektur di universitas yang sama dengan papa. Eyangku, Eyang Ratih, ibu dari mamaku menderita penyakit diabetes akut. Ia sudah menderita penyakit itu selama kurang lebih 10 tahun, di tahun ke-10-nya beliau kritis. Karena mama anak tunggal, beliau ingin melihat anaknya itu menikah. Papa yang saat itu sudah berpacaran dengan mama selama 2 tahun memutuskan untuk mengabulkan permohonan Eyang Ratih, walaupun saat itu papa baru lulus S1 dan belum mendapat pekerjaan tetap, namun karena papa begitu mencintai mama dan eyang Ratih, ia berani mengambil keputusan tersebut. Akhirnya mama mengambil cuti kuliah dan menikah dengan papa. Tepat pada tanggal 31 Desember 1996 mereka resmi menjadi suami istri, saat itu juga satu jam kemudian, Eyang Ratih menghembuskan nafas terakhirnya. “Kak! Lho? Kok kakak melamun sih? Lagi mikirin apa hayo?" "Ehhh eeuumm mama kagetin aja, gak mikirin apa-apa kok ma.” "Yakin? Kamu baik-baik aja kan?" "Yakin ma, aku baik kok. Kan hari ini mau jalan sama mama dan papa, malah aku super duper happy! Hehehehe.” "Hemm kamu nih ya bisa aja, yaudah gih siap-siap. Jam 7 kita berangkat ya!" "Siap Mama Reina yang cantik! Hehehe.” Aku berdiam diri di depan cermin melihat sekali lagi penampilanku, aku memiliki tubuh yang tinggi sama seperti mama, kulitku berwarna kuning langsat, mataku bulat, aku juga memiliki rambut lurus sebahu. Hidungku yang mancung merupakan hadiah yang diwarisi papa, huh betapa beruntungnya aku! Untuk acara malam ini aku mengenakan dress selutut berwarna merah hadiah dari mama saat aku ulang tahun yang ke 17, serta ku tambahkan aksesoris kalung mutiara oleh-oleh dari papa saat ia bertugas di Lombok dan tidak lupa mengenakan sepatu heels kesayanganku. Setelah merasa penampilanku sudah sempurna, aku turun mengampiri papa dan mama yang sudah menunggu di ruang tamu. "Papa, mama! Im ready!" Teriakku menghampiri mereka. "Wahh Rania, anak kesayangan papa cantik sekali." Puji papa. "Sudah siap? Yuk berangkat." Ajak mama. Kami memutuskan untuk menonton film di bioskop yang berada di salah satu mall di bilangan Jakarta Selatan. Aku dan mama mimilih untuk menunggu di kursi sementara papa membeli cemilan. Papa membeli dua popcorn manis berukuran large dan dua ice coffe untuk aku dan mama, sementara papa memilih hot coffe. Setelah itu kami bergegas menuju theater 9, menempati kursi di baris A dengan nomor 1,2,3 itu artinya kami berada di barisan paling atas dan pojok, mau bagaimana lagi, kata papa, hanya itu kursi yang tersisa. Lantas aku pun menduduki kursi nomor 1, mama nomor 2, sedangkan papa nomor 3. Selama film berlangsung kami sangat menikmatinya, hingga kemudian...... Hingga kemudian kami semua mendengar petugas berteriak bahwa ada kebakaran di depan pintu masuk theater, kami semua panik. Semua orang berlarian, semua orang berhamburan, semua orang berusaha menyelamatkan diri sendiri, aku diam sejenak tidak percaya dengan apa yang terjadi, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kemudian papa dan mama menarik tanganku dengan sangat kencang membawaku untuk keluar dari theater, kakiku tersandung kaki pengunjung lain, tanganku dan tangan papa terlepas begitu saja. Aku terdiam di lantai, berusaha untuk bangun namun terinjak-injak oleh beberapa orang, papa berusaha meraih tanganku sebelum akhirnya petugas menarik tangan papa dan mama untuk keluar dari ruang theater sebab api sudah menyebar kemana-mana. Aku berusaha teriak meminta tolong tetapi gumpalan asap itu mulai menggangu pernapasanku hingga sepertinya tidak ada orang yang mendengar suaraku, sampai di sini tidak ada lagi yang aku ketahui selain aku kehilangan kesadaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN