Permintaan Seorang Ibu.
Sebuah mobil menjemputku di bandara lalu membawa aku kesebuah rumah yang sangat mewah dan besar, aku tahu ini adalah rumah dari majikan ibu. Aku begitu takjub melihat hunian besar itu, mataku mengedar keseluruh penjuru akan bagaimana cara membersihkannya bathinku. Bagiku yang hanya tinggal di sebuah desa terpencil dan jarang sekali ke kota rumah ini adalah sebuah kemegahan yang untuk pertama kalinya aku lihat.
“Lilaaa!” Suara yang tidak asing itu memanggilku. Aku pun sumringah setelah lama sekali akhirnya aku bisa bertemu ibuku yang biasa hanya aku dengar di telepon saja.
Ibu memeluku dia juga bahagia melihat aku tiba disana, aku juga bahagia sebab bisa keluar dari kampung setelah lulus SMA dan kini impianku menjadi mahasiswa sudah didepan mata.
Ibu segera membawa aku ke belakang, ibu mengatakan sedang ada acara di kediaman itu. Anak dan menantu keluarga itu baru saja pulang dari luar negri dan mengadakan ulang tahun pernikahan ke 5 mereka.
Aku masuk ke kamar ibu yang berada di pavilliun belakang rumah besar itu, ibu kemudian meminta aku segera mengganti pakaian untuk membantunya di depan menyiapkan jamuan di acara keluarga yang memang tidak dibuat meriah itu. Aku segera mengganti pakaianku, seadaanya celana panjang dan sebuah kemeja yang sedikit rapi.
Aku kemudian dibawa ibu ke dapur dan berkenalan dengan beberapa rekan ibu, mereka cukup ramah dan tampaknya sudah mengenalku dari ibu, aku gugup, ini untuk pertama kalinya aku berada di rumah orang lain terlebih harus melayani orang lain.
“La, antarkan ini ke depan.” Perintah ibu kepadaku meletakkan sebuah baki berisi makanan kering di meja. “Besikap hormat, jika di tanya jawab dengan sopan.”
“Iya bu.” Dengan ragu dan sangat gugup akupun membawa baki itu, mengayunkan langkah pelanku memasuki rumah besar bak istana itu lalu berbelok ke ruangan dimana sedang ada acara itu.
“Permisi…” ucapku pelan, lalu aku mengangguk hormat dan meletakkan itu di meja seperti yang ibu perintah.
Suara tawaan dan pembicaraan seketika hening saat aku datang, aku merasa semua mata menyorot kepadaku. Tangganku menjadi gemetaran namun sebisa mungkin aku meletakkan baki dengan baik dan tidak memberikan kesan buruk di hari pertamaku disana.
“Alila?” ujar suara dari seorang wanita tua disana.
“Iya saya Lila.” Anggukku hormat lagi, haruskah aku menyalimi mereka seperti biasa? Lalu apakah mereka sudi berpegangan tangan denganku, lihatlah penampilannya saja sangat berbeda, mereka tampak berkilau dan sangat menawan namun aku terlihat lusuh.
Satu sorot mata sedari tadi melihatku dari atas hingga kebawah, sosok wanita cantik di kursi roda ia lalu tersenyum dan memintaku mendekat mengulurkan tangannya.
“Hay Lila, saya Samara.”
Aku kemudian mengulurkan tanganku ragu.
“Saya Lila, non…”
“Panggil mba Samara aja, seperti yang lain, kenalin ini suami saya Arshangga, itu papa mama,eyang dan juga itu Mauren adik dari Mas Arshangga.” Tunjukknya semua orang disana.
Aku kembali mengangguk hormat sungguh kedua kakiku rasanya begitu kaku, “Permisi mba Samara.” Kataku rasanya aku sudah harus kembali ke dapur dan wanita itupu mengiyakan.
***
Hari menjelang siang aku berjalan-jalan di halaman belakang rumah besar itu, tadi ibu memintaku keluar rumah untuk melihat-lihat sebab ada urusan dengan keluarga majikannya itu. Aku tidak tahu ada uruusan apa, aku mendengar mereka berbincang serius sekali di tempat tadi, aku hanya melewati saja di luar jendela aku lihat lelaki bernama Arshangga itu seperti memberontak tidak menyetujui dan kemudian istrinya memegangi tangannya memohon.
Saat sedang berjongkok memegangi air kolam dibelakang rumah besar itu, tiba-tiba ibu memegang pundakku, “Lila,” Sapa ibu membuat aku terkesiap.
“Ibu.”
Ibu tersenyum kepadaku lalu dia mengajakku menduduki pinggiran kolam ikan, “Kamu mau kuliah kan La?”
“Iya bu, jadi aku akan tinggal disini, bu?” Tanyaku polos.
Wajah ibu terlihat serius, ia kemudian melengkungkan senyuman lagi, “Kamu tahu kan La, biaya kuliah mahal. Ibu takut tidak sanggup membiayai kamu sampai selesai, uang ibu sudah banyak sekali habis untuk mengobati bapak kamu kemarin di kampung, ibu juga masih harus membiayai nenek.”
“Lalu, kenapa ibu meminta aku datang kesini dan mengatakan akan menguliahiku? A-aku nggak masalah kok jika harus bekerja jadi seperti ibu disini.”
“Ya, kamu akan bekerja La, kamu yang akan membuat kamu bisa membiayai sendiri kuliahmu.”
“Aku harus bekerja kan?”
Lagi-lagi ibu tertawa dan benar-benar membuat aku bingung. “Ya kamu akan bekerja untuk Samara dan Arshangga."
"Maksud ibu?"
"La, ibu mau cerita sedikit, begini mereka sudah beberapa kali gagal dalam proses bayi tabung, lalu peminjaman rahim dengan menanamkan inseminasi buatan menggunakan s****a pasangan Arshangga di rahim seorang ibu pengganti beberapa bulan lalu di luar negri dan kemarin mereka baru tiba disini, hasilnya tetap saja masih gagal. Dan kali ini yang mereka ingin bukan meminjam rahim, namun membuat Arshangga menikahi wanita lain dan bisa mendapatkan secara biologis keturunnya dari wanita lain itu”
“Maksud ibu apa sih?” Aku langsung bergidik takut, ibu menjelaskan cukup detail kepadaku, sungguh fikiranku menjadi tidak enak.
“Kamu pasti mengerti maksud ibu, Samara menyukai kamu dan dia meminta ibu agar membujuk kamu mau menjadi wanita yang memberikan anak untuknya dengan mengandung anak dari suaminya.”
“IBUU?” Mataku membola, “Ibu membunuhku? Ini namanya ibu membunuhku? Ibu berbohong!” Aku begitu shock dan segera pergi meninggalkan ibu, itu benar-benar tidak bisa aku terima dengan akal sehat.
“Lila, kamu jangan lupa perjuangan ibu selama ini, ibu banting tulang untuk menyekolahkan kamu, menafkahi nenek dan membiayai bapak kamu yang sakit-sakitan itu. Ibu tidak pernah berbohong, kamu sendiri yang akan menukarnya dengan masa depan yang cerah merubah nasib kita. Kamu juga bisa bersekolah di London seperti yang kamu mau, ibu juga akan berhenti menjadi pembantu, mereka akan membangun rumah buat kita dan memberikan pabrik Frozen food seperti yang selalu ibu cita-citakan.”
Air mataku luruh, hatiku sakit, begitu tega ibu mengucapkan hal-hal seperti itu, hal-hal impian namun aku harus menggantinya dengan harga diriku, “Aku nggak mau! Aku mau pulang.”
Ibu seketika menangis,”Tidak bisakah sekali saja kamu gantian membantu ibu, membantu kita. Apa kamu tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana perjuangan ibu menjadi pembantu puluhan tahun demi kalian, Lila bukalah sedikit hati kamu, umur ibu sudah sangat tua, kapan lagi ibu bisa istirahat dan hidup tenang, Lila hanya kamu yang bisa membantu dan merubah kehidupan kita. Kamu juga harus tahu keluarga ini cukup baik kepada ibu, mereka juga yang memberikan kehidupan untuk ibu bisa menafakahi kamu.”
“Ibu tega…”
“Semua demi kita, La.”
Aku merasa langit runtuh menimpahi kepalaku, ibu mengungkit semuanya sambil terus menangis, anak mana yang bisa tega dengan tangisan seorang ibu seperti itu dan dengan berat hati akhirnya akupun luluh, aku tidak mengatakan Ya, namun ibu tahu aku sudah pasrah dan mengikuti saja.