“Dan, kamu ga mau mampir?”
“Kayaknya aku langsung aja, Na. tadi Dion chat aku kalau di studio ada calon klien, jadi aku harus balik. Gapapa?”
Ayna mengangguk, bibirnya kembali menampakkan garis senyuman. Walaupun dalam hati dia masih ingin banyak ngobrol, tapi Ayna juga tidak bisa melarang pria itu pergi. Apa lagi menyangkut pekerjaan, Ayna tidak mau dicap posesif. Selain ingin ngobrol santai, Ayna ingin membahas soal anniversary ke delapan yang sebentar lagi.
“Kamu marah ya, Na?” Wildan maju satu langkah, kedua tangannya memegang pundak Ayna. Walaupun gadis itu memperbolehkan, tetap tersenyum, tetapi Wildan tahu itu senyum terpaksa.
Ah, apa wajahnya terlihat tidak meyakinkan? Ayna menurunkan kedua tangan Wildan dari pundaknya. “Its okay, Hubby, im fine. Kamu pergi karna kerjaan, jadi aku ga ada alasan untuk melarang. Lagipula aku capek, mau mandi juga habis ini karna gerah. Yang terpenting kamu jaga diri jangan terlalu diporsir, ingat makan, dan yang penting banget … tetap kabarin aku.”
Wildan memeluk Ayna, setelah itu mengecup keningnya singkat. Sejak awal bertemu, sampai tujuh tahun bersama, Ayna memang selalu pengertian. Terkadang Wildan selalu merasa bersalah jika melakukan sesuatu di belakang yang mengakibatkan gadisnya sakit hati. Akan tetapi, sebisa mungkin itu tidak akan terjadi terus-menerus.
“Kalau gitu aku pergi, ya? Kamu jangan lupa istirahat. Ingat, lusa kita anniversary, aku akan kosongin jadwal untuk kita quality time,” ujar Wildan sambil jari telunjuknya mengusap pipi mulus Ayna.
Kedua mata Ayna berbinar, ternyata Wildan tidak lupa dengan hari spesial itu. lusa, hubungan mereka genap delapan tahun.
“Kamu ingat, Dan? Padahal baru mau aku bahas,” kata Ayna dengan terharu.
“Hari spesial kita, mana mungkin aku bisa lupa? Bukannya setelah hari itu kita akan temu keluarga?” Melihat Ayna tersenyum Wildan tanpa sadar ikut menarik sudut bibirnya. “Sabar ya, maka dari itu semuanya mau aku selesaikan sebelum hari H. Yaudah, kamu masuk,” sambung Wildan.
Manut apa kata sang kekasih, Ayna pun masuk ke dalam unit miliknya. Saat ini Ayna memang tinggal sendiri di apartemen. Setelah kejadian menyedihkan di acara wisuda, rasa kecewa Ayna terhadap kedua orang tuanya masih sangat besar.
Setelah membersihkan wajah dari make up Ayna menuju kamar mandi. Diisinya bathtub, tak lupa Ayna menambahkan Essensial Oil. Lavender Essensial Oil, itulah yang Ayna pilih untuk malam ini. Untuk sejenak Ayna ingin kulitnya kembali tenang setelah seharian beraktifitas. Air sudah terisi, aroma Essensial Oil sudah tercium, bahkan lilin turut menyalah. Kegiatan simple, tetapi ini me time terbaik bagi Ayna.
***
Ting!
Ting!
“Tunggu sebentar!”
Ting!
Ayna berdecak. Sudah tahu sedang fukus menonton serial drama, lancang sekali menganggu! Dengan berat hati Ayna bangkit, berlari cepat ke arah pintu. Saat pintu terbuka Ayna sontak menepuk keningnya. Melihat pria di depannya Ayna memamerkan cengirannya. Astaga, bagaimana bisa dirinya lupa kalau sedang memesan makanan? Pantas sejak tadi perutnya berdisko.
“Dengan mbak Ayna? Ini pesanannya,” kata pria di depannya sambil mengulurkan dua paper bag.
“Benar, saya Ayna. Maaf, ya, Pak, saya lama bukanya, tadi ada cicak terbang, saya kaget.”
Sempat terkejut, namun pria paruh baya itu tersenyum menanggapinya. Setelah mengambil pesanan Ayna kembali masuk, namun belum sempat pintu tertutup rapat, tiba-tiba ada seseorang datang.
“Ayna, tunggu!”
Tubuh Ayna kembali berputar menghadap ke arah luar. Kini di depannya seorang wanita berdiri. Napasnya terdengar memburu, apa dia dikejar-kejar cicak terbang?
“Kakak? Tumben ke sini, ada apa? Disuruh bunda atau ayah?” tanya Ayna to the point. Karena selama ini kedatangan sang kakak ke apartemen hanya suruhan, buka keinginan hati.
Tidak langsung menjawab, wanita itu masuk tanpa memperdulikan kekesalan sang adik.
“Kak Allysa!”
“Berisik, Ayna! Gue capek, pengen duduk. Lebih dari itu gue ke sini bukan suruhan siapapun,” sahut wanita bernama Allysa itu. Allysa hapal betul, kalau belum dijawab, mulut adiknya tidak akan berhenti bertanya.
Dreet..dreet..dreet.
Baru ingin bergabung duduk dengan Allysa, ponsel milik Ayna sudah berdering. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk duduk lalu berjalan ke arah meja.
Pak Varrel Fhlevy calling..
“Astaga, kesialan apa lagi sih ini?!” pekik Ayna frustasi.
Mendengar pekikan nyaring Ayna sontak membuat Allysa menoleh. Entah adiknya itu menerima telepon dari siapa, yang jelas wajahnya terlihat kesal. Selagi menunggu sang adik, Allysa memilih menonton televisi. Kedatangannya malam ini ke apartemen Ayna memang bukan suruhan kedua orang tuanya, kedatangannya murni karena dia sedang lelah.
"Baik, Pak, nanti akan saya cek email dari Bapak. Selamat malam."
Tut!
"Bos lo, Na?"
"Menurut lo? Gue ke kamar dulu, Kak, ada kerjaan yang harus gue cek dan kirim ulang ke pak Varrel." Setelah mengatakan itu Ayna berlalu pergi meninggalkan Allysa.
***
“Andai kehidupan ini kayak di Bikini Bottom, hidup layaknya spongebob, santai masa bodo macam patrick. Ah, indahnya hidup. Persetan dengan Bikini Bottom, mata gue ngantuk!”
Hari memang masih pagi, ditambah ini bukan pertama kali. Tapi entahlah, bagi Ayna mengeluh sebagian dari hidup. Tapi jujur saja matanya memang sangat berat karena semalaman dia mendengari curhatan Allysa—kakak kandungnya. Wanita itu benar-benar tidak memperbolehkan Ayna tidur sebelum selesai bicara. Selain itu dia juga harus mengerjakan pekerjaan yang bosnya berikan semalam.
Bukankah itu sangat combo?
Berbeda dengan Ayna yang masih bermalas-malasan di luar kantor, sedangkan Varrel sudah sangat greget karena sekretarisnya tak kunjung datang. Berkali-kali dia mencari diruangan, menelepon, namun tidak ada respon. Sepertinya memang harus potong gaji anak itu!
“Agatha, apa Ayna belum datang? Atau memang tidak mas—”
“Selamat pagi, pak Varrel, saya di sini.”
Bukan hanya sang empunya nama yang menoleh. Agarha yang dicegat tiba-tiba oleh Varrel pun ikut menoleh ke arah sumber suara. Mendapati kehadiran Ayna Varrel mundur satu langkah. “Segera ke ruangan saya, sekalian bawa berkas yang memang harus saya tanda tangani dengan segera.”
Setelah mengatakan itu Varrel pergi tanpa mengucapkan apapun. kedua wanita yang sejak tadi mendengari hanya melongo melihatnya. Wajahnya memang tampan, tetapi aura dingin dan angkuhnya kental sekali. Agatha bergidik, beruntung dia bukan sekretarisnya. Kalau sampai di posisi Ayna, mungkin dalam waktu dua bulan resign.
Ayna menghembuskan namapsnya perlahan. Baru juga sampai, tetapi sudah harus langsung bekerja. Apa tidak bisa membiarkan dirinya duduk sebentar?!
“Ta, soal foto kemarin … kayaknya gue ragu kalau itu Wildan. Mirip memang, tapi rasanya ga mungkin. Tujuh tahun, Ta, bahkan lusa kita anniversary ke delapan, rencana tunangan, masa iya Wildan setega itu?” Ayna menoleh, menatap sahabatnya sejak masa kuliah. Kalau kemarin Ayna menelan mentah-mentah, tetapi setelah bertemu dan ternyata tidak ada tingkah aneh, Ayna ragu.
Tangan Agatha terulur menepuk pundak Ayna seraya menjawab, “gue kasih tau kemarin bukan buat lo overthinking lalu menelan semuanya mentah-mentah, Ayna. Toh gue juga ngga terlalu percaya, jadi ngga perlu diambil pusing. Benar kata lo, kalian bersama udah delapan tahun, itu bukan waktu singkat.”
Lega.
Itulah yang Ayna rasakan saat ini. Lebih dari itu, Ayna menolak overthinking.
“Ayna Khallisa Aurellia, lo dipanggil Pak bos!” Dari arah lift Karin ke luar, bahkan sampai berlari menghampiri Ayna dan Agatha.
Mendengar itu Ayna tersentak kaget. Astaga, membaas soal foto membuatnya lupa perintah yang bosnya berikan. Tanpa pamitan Ayna berlari masuk ke dalam lift yang pintunya terbuka. Jantung Ayna berdetak kencang seperti habis lari marathon. Semoga saja tidak ada drama potong gaji.
Pintu lift terbuka, Ayna kembali lari masuk ke dalam ruangan miliknya. Diambilnya dua dokumen setelah itu menuju ruangan Varrel.
Ting!
Chat from : My Hubby.
My Hubby : ‘Nanti kita ketemu buat bahas ini semua.’
My Hubby : ‘Ingat pesanku, jangan gegabah.”
Langkah kaki Ayna terhenti, membaca dua pesan yang Wildan kirimkan. Ketemu? jangan gegabah? Apa maksudnya?
Pesan ini telah dihapus.
***