"Selingkuh."
Uhuk..uhuk..uhuk!
Satu jawaban penuh makna.
Buru-buru Varrel mengambil minum miliknya untuk meredakan tenggorokan. Sambil minum tatapan Varrel terus tertuju kepada Ayna yang sedang mengaduk nasi goreng di piringnya.
"Saya kira dia beda dengan yang lainnya. Saya juga ngga abis fikir, hati kecil saya masih denial, tapi ... ah, saya bingung." Ayna tertawa kecil diakhir kata. Hatinya memang benar-benar sedang bingung, otaknya masih mencerna keras.
"Jadi ini semua bukan karna saya, Ay?"
Kepala Ayna terangkat menatap Varrel. "Kenapa Bapak bisa mikir seperti itu? Padahal saya udah bilang ngga ada hubungannya sama Bapak atau urusan kemarin. Justru lagi-lagi Bapak penyelamat serta pencerah."
Tidak ada raut kebohongan di wajah wanita yang kini duduk di depannya. Alih-alih berbohong, Varrel menangkap kedua mata Ayna sudah berkaca-kaca menahan air mata. Varrel menghembuskan napasnya perlahan. Kalau situasinya sudah seperti ini dia sendiri bingung harus melakukan apa. Karena jujur saja, sejak dulu Varrel tidak pernah mengalami apa yang Ayna alami saat ini.
"Saya harus apa ya, Pak? Saya mau dengar penjelasannya, tapi saya takut sama fakta yang ada. Saya takut sama yang akan mereka katakan nanti," ujar Ayna cemberut. Rasa tak enak di hati membuatnya lupa kalau saat ini dia sedang berbicara dengan Varrel, bosnya.
Varrel berdeham mendengar pertanyaan yang ditunjukan untuk dirinya. Walaupun percintaannya tidak serumit Ayna, tetapi Varrel tahu tabiat wanita yang rumit. Maka dari itu otaknya tengah menyusun kata demi kata yang mudah dicerna.
"Ayna?"
Panggilan itu membuat Ayna refleks menatap Varrel. Mata sipitnya menerjap, seketika dia teringat kalau saat ini sedang berbicara hadap-hadapan dengan sang bos. Baru Ayna ingin mengeluarkan suara, tetapi pria di depannya sudah kembali berdeham. Maka dari itu Ayna memilih diam menunggu apa yang akan pria itu katakan.
"Saya ngga tau mau bicara apa sebetulnya. Bukan ngga simpati, hanya saja takut salah bicara. Ah, iya, berhubung ini di luar kantor, bahasa kita bisa santai ya? Anggap saja saya teman kamu sama seperti Agatha dan Karina. Balik kepembahasan tadi, memang seharusnya kalian bicara empat mata. Buat apa? Biar apa? Biar semua clear. Masalah ada bukan untuk dihindarkan, Ay, tapi dihadapkan."
Perkataan panjang lebar yang Varrel utarakan sempat membuat Ayna terdiam. Tidak ada yang salah memang, semuanya benar. Tapi sialnya Ayna belum siap.
"Pada intinya kamu harus dengar apa penjelasan dia. Kalau itu semua sudah kamu dengar, ya kamu tinggal buat keputusan mau lanjut atau selesai."
Selesai.
Ayna tertawa kecil.
Haruskah kisah panjang selama delapan tahun itu berakhir dengan kemirisan? Bukan ini akhir yang Ayna impikan. Sama sekali bukan.
"Kalau memilih selesai, anggap Tuhan tidak merestui kalian." Lagi, suara Varrel terdengar. Dirasa cukup mengutarakan beberapa nasihat Varrel pun membiarkan Ayna berfikir.
Sambil menunggu apa respon Ayna, Varrel melanjutkan makannya yang tertunda. Sesekali Varrel melirik Ayna, wanita itu masih asik melamun. Boleh saja melamun, tetapi Varrel tahu hati wanita di depannya sangat tidak karuan.
"Bapak mau tau sudah berapa lama saya menjalin hubungan?"
"Tentu. Berapa lama?"
"Tepat delapan tahun."
Beberapa saat tatapan keduanya beradu. Varrel mengangguk-anggukan kepala. Sekarang dia baru paham kenapa Ayna tidak siap mendengar penjelasan kekasihnya. Delapan tahun bukan waktu singkat, bisa dibilang sudah sebagian dari kehidupannya.
"Cukup lama. Tentu bukan hal mudah, wajar kamu denial juga. Tapi saran saya tetap harus bicara empat mata secepatnya. Karna semakin berlarut, masalah tidak akan selesai. Bukannya selesai tapi akan memanjang," jawab Varrel bijak. Saat ini hanya itu yang bisa dia kasih untuk Ayna.
Helaan napas Ayna terdengar. Tidak ingin membahas kisahnya lebih lanjut Ayna memilih menyuap nasi goreng yang sejak tadi hanya dia acak-acak. Beberapa saat tidak ada percakapan, keduanya sibuk dengan makanan masing-masing.
"Tapi saya mau ucapin terima kasih sama Bapak. Makasih sudah bantu saya dari Wildan tadi," ucap Ayna. Seulas senyum terbit di sudut bibirnya.
Lagi-lagi bosnya menjadi penyelamat.
***
"Kenapa adiknya susah banget dihubungi sih, Sa? Kamu jadi Kakak harusnya lebih perhatiin, ajak bicara, bahas soal pertunangan dia sama Wildan."
Allysa melirik Anggun lelah. Sudah dua puluh menit mereka bertemu, tetapi yang menjadi bahasan hanya Ayna. Bukan hanya orang tuanya, bahkan Wildan melakukan hal sama. Kenapa hanya ada nama Ayna di dalam otak mereka?
"Allysa! Kamu dengar Bunda ngga, sih?!" bentak Anggun kesal. Pasalnya sejak tadi putrinya tidak menyahut apapun.
"Aku bingung sama Bunda bahkan Ayah. Kenapa selalu Ayna yang ditanya? Yang selalu dikhawatirkan? Dari awal aku datang, apa ada Bunda tanya kabar aku? Engga, Bun." Setelah sekian lama terdiam Allysa pada akhirnya buka suara. Walaupun tidak semua, tetapi unek-uneknya sedikit keluar.
Kali ini gantian Anggun yang terdiam. Ditatapnya wajah Allysa dengan lekat. "Bunda hanya ingin tau progres dia, Allysa. Dia bilang mau lamaran, bukannya itu hal penting? Karna Ayna susah Bunda hubungi, maka dari itu kamu bantu. Kal–"
"Aku ngga tau, dia juga ngga ada respon apapun," potong Allysa. Dia sudah tahu apa yang ingin Anggun katakan lagi.
Hati Allysa seketika panas. Otak yang sudah pening semakin pening perkara Ayna. Jauh di dalam lubuk hati, Allysa pun sedang was-was bagaimana kalau kedua orang tuanya tahu masalah yang sedang terjadi? Bagaimana kalau Ayna menceritakan semuanya? Semua akan runyam tanpa bisa diperbaiki.
Setelah kejadian di hotel baik Ayna ataupun Wildan sama-sama menghilang. Keduanya mengabaikan semua pesan serta telepon darinya. Niatnya malam ini Allysa ingin datang ke apartemen adiknya itu. Walaupun Allysa yakin akan dapat penolakan, tetapi dia ingin mencoba.
"Coba sekarang kamu video call Ayna, Sa," pinta Anggun yang langsung diiyakan Allysa.
Panggilan pertama tidak ada respon, begitupun yang ketiga. Ponsel Ayna aktif, tetapi anak itu sepertinya sengaja tidak mengangkat. Dipercobaan kelima Allysa menyerah. Dia meletakkan benda pipih berwarna hitam itu ke atas meja, lalu tatapannya jatuh kepada Anggun.
"See? Aku ngga bohong sama Bunda, lagipula untuk apa? Tapi Bunda tenang aja, nanti aku coba ke apartemennya," ujar Allysa pasrah.
Anggun tidak menyahut, wanita itu sibuk membalas pesan yang baru saja masuk. Entah itu pesan dari siapa, Allysa enggan untuk kepo. Selagi menunggu, dia mengirim satu pesan kepada Wildan. Beberapa detik pesan itu terbaca, namun harapan Allysa seketika pupus saat tanda online hilang.
Kenapa jadi dirinya yang berada dipihak paling salah?
"Ini Ayna chat Bunda, Sa."
Lamunan Allysa buyar. Dimatikannya ponsel di tangan, lalu tatapannya beralih ke Anggun. "Ayna bilang apa, Bun?"
"Dia mau ketemu sama Bunda dan Ayah. Tapi pastinya belum dikasih tahu."
Mati sudah Allysa.
***