Habis Nangis?

1023 Kata
Hati boleh sakit, fikiran boleh kacau. Akan tetapi semua pekerjaan masih mampu Ayna handle dengan baik. Bahkan jadwal untuk ke Swiss bulan depan sudah Ayna buat. Beberapa berkas yang berserakan di atas meja Ayna bereskan, setelah itu dia bangkit dari duduk. Tugas Ayna saat ini menemui Varrel untuk memberikan jadwal keberangkatan ke Swiss. Sebelum melangkah ke luar Ayna menenangkan diri, menarik napasnya dalam-dalam. Tak lupa Ayna melihat kedua mata bengkaknya. Ah, semoga saja tidak jadi masalah saat bertemu bosnya itu. "Na, tunggu!" Baru tubuhnya ke luar dari dalam ruangan, langkah kakinya sudah dihadang oleh seseorang di luar. Tidak lain tidak bukan orang itu adalah Agatha–sahabatnya. Kalau sudah begini Ayna tahu, wanita itu pasti akan mencecar dengan segala pertanyaan. "Ternyata Rangga benar. Lo kenapa, Na? Mata lo bengkak banget itu. Di apain lo sama Wildan? Atau ada masalah lain?" Dugaan yang tidak melesat. Ayna tersenyum, kepalanya menggeleng. Tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya itu Ayna kembali melangkah menuju ruangan Varrel. Bukan niat menghiraukan, hanya saja Ayna belum punya energi untuk bercerita. Pasalnya ini bukan perkara kecil, tidak bisa juga cerita sekali tarikan napas. Tidak ada panggilan apapun dari Agatha, Ayna tersenyum puas. Itu artinya Agatha mengerti apa yang Ayna butuhkan saat ini. Tok! Tok! Tok! "Permisi, selamat pagi, Pak." "Masuk, Ay." Setelah mendapat izin Ayna pun masuk sambil menunduk. Rambut panjang yang terurai semakin menutup wajah Ayna saat ini. Varrel menatap bingung wanita di depannya. Kira-kira ada drama apa lagi? "Pak, saya mau kasih tahu kalau bulan depan, tepatnya tanggal lima, Bapak bisa terbang ke Swiss. Jadwal sudah saya kosongkan. Tapi kalau Bapak tidak bisa, akan saya revisi sebisanya Bapak mau tanggal berapa," ujar Ayna. Sekilas Ayna mengangkat kepala menatap Varrel. Hanya sebentar, karena setelah itu dia kembali menunduk. Merasa tidak kunjung mendapat jawaban Ayna mengangkat wajahnya. Ayna tersenyum kikuk saat tatapannya beradu dengan Varrel. "Biasakan kalau bicara itu tatap lawan bicaranya, Ayna." "Maaf, Pak," balas Ayna pelan. "Tanggal lima sudah pasti? Setelah ini kamu kabari pak Ari, kasih tau beliau. Bagaimana jawaban kamu? Tanggal lima bisa ikut?" Tanpa ragu Ayna mengangguk. Kemarin memang masih terhalang rasa takut akan Wildan, tapi kali ini tidak. Anggap saja healing sambil bekerja. Kapan lagi bisa ke Swiss. Mendengar jawaban Ayna Varrel tersenyum puas. Jawaban itulah yang dia tunggu sejak kemarin. "Mata kamu kenapa bangkak gitu, Ay? Habis nangis? Ah, apa tunangan kamu marah perkara semalam? Saya minta maaf, ya? Say–" "Ngga, ngga perlu. Bapak ngga perlu minta maaf karna ngga salah. Ini semua ngga ada hubungannya sama sekali. Kami memang sedang ada masalah, semua akan segera selesai kok. Yang ada saya mau berterima kasih atas pizzanya semalam," potong Ayna mengalihlan topik. Varrel hanya mengangguk sebagai respon. Walaupun tidak bertanya lebih lanjut Varrel tahu wanita di depannya sedang menyembunyikan sesuatu. Karena dari gerak-gerik bahkan sikap, Ayna sedikit berbeda di mata Varrel. Biasanya batre Ayna selalu full, sepertinya hari ini sedang lowbatte. "Oh, iya, Ay, tolong kontak Adisty, minta dia datang dan temui saya hari ini ya," pinta Varrel sambil menatap laptopnya. "Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Setelah berpamitan Ayna bergegas ke luar dari dalam ruangan. Perlahan-lahan Ayna menutup pintu, hembusan napasnya terdengar setelah pintu itu tertutup. Ayna tidak langsung beranjak, sesaat dia diam sambil bersandar di dinding. Ternyata menjalani aktivitas dengn situasi seperti ini berat juga. *** "Demi apa Wildan sama Kakak lo, Na?" "Tolong bilang ini cuma prank?!" Reaksi tidak percaya sangat terpancar di wajah Agatha dan juga Karina. Makan siang kali ini Ayna tidak bisa menghindar, dia pun menceritakan semua kepada sahabatnya itu. Ayna yang tidak tahu mau menjawab apa hanya bisa mengangguk sambil mengaduk-aduk minumannya. Jika bisanya jam makan siang menjadi hal menyenangkan bagi Ayna, kini deretan makanan sama sekali belum tersentuh. Rasanya baru melihat saja Ayna kenyang. "Na? Lo ga salah liat?" "Engga, Kar," jawab Ayna apa adanya. Karina terdiam. Tatapannya kini beralih ke arah Agatha yang duduk di sampingnya. Dari raut serta nada bicara bisa dipastikan Ayna sedang tidak berbohong. Lagipula apa untungnya berbohong? "Gue ga sengaja ketemu mereka kemarin malam. Kemarin malam gue di hotel Aeron temanin pak Varrel terima undangan dari koleganya. Mungkin kalau pak Varrel ga nyuruh gue ambil ponsel di mobil, gue ga akan pernah tau perselingkuhan mereka." Setelah lama membisu, pada akhirnya Ayna mulai buka suara. "Lo udah dengar penjelasan mereka, Na? Minimal Wildan?" Ayna menggelengkan kepalanya. "Belum. Sama sekali belum. Ta, Kar, gue belum siap. Gue belum siap dengar penjelasan dan fakta yang akan mereka jelasin. Hati gue sakit banget asli. Dua orang yang paling gue percaya, paling gue sayang, tapi kok bisa?" Agatha beranjak dari duduknya menghampiri Ayna. Dipeluknya tubuh Ayna dengan sangat erat. Agatha tahu dan paham bagaimana perasaan sang sahabat sekarang. "Gue turut sedih dengarnya, Na. Gue ga bisa ngomong apa-apa lagi sumpah. Tapi yang gue tau lo itu kuat. Ga apa sekarang jaga jarak dulu, kalau udah mendingan, lo harus tetap bicarain ini sama Wildan," ujar Agatha mengusap punggung Ayna. Agatha melerai pelukan, disapunya air mata yang membasahi kedua pipi sahabatnya itu. Melihat Ayna menangis Agatha cemberut. Rasa sedih kini muncul di dalam hatinya. Sambil mengusap air mata Ayna Agatha kembali berkata, "lo jangan nangis, gue jadi ikutan nangis!" Beberapa pengunjung menoleh menatap, namun ketiganya tidak menghiraukan. "Udah, udah, mending lo makan dulu, Na. Sakit hati boleh, jangan lampiasin ke fisik," kata Karina mengubah topik pembicaraan. "Gue dari semalam makan banyak, bahkan masih ada pizza dari pak Varrel di apartemen." Tunggu. Apa tadi? "Pak Varrel?" tanya Agatha dan Karina kompak. Raut sedih keduanya seketika berganti menjadi ketidak percayaan. Apa lagi saat Ayna mengangguk mengiyakan. "Katanya sebagai permintaan maaf. Soalnya semalam gue bilang ke dia ada acara sama Wildan. Dan pas semalam dia mau antar ke resto, gue bilang ga jadi. Dia mikir gue sama Wildan jadi berantem karna dia, padahal ga sama sekali," jawab Ayna seperti tahu apa yang ada di dalam otak kedua sahabatnya itu. Agatha dan Karina masih terdiam. Sambil memakan makanan pesanannya mereka terus memperhatikan gerak-gerik Ayna yang terlihat sangat santai. "Gue jadi curiga," ucap Agatha. "Gue juga, Ta," timpal Karina cepat. Mendengar itu kening mulus Ayna menyerit. Curiga? Curiga apa? "Pak Varrel kayaknya naksir sama lo, Na. Udah, mending sama pak Varrel ketahuan hidup terjamin!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN