Selingkuh?

1217 Kata
“Na, Ayna! Na, melek dulu sebentar!” Tubuh lemas yang digoyang-goyangkan membuat kedua mata sipit milik gadis cantik bernama Ayna itu perlahan terbuka. Belum ada lima menit, mungkin saja baru dua menit. Ayna berdecak kesal, dengan sangat terpaksa dia mengangkat wajahnya menatap wanita yang kini berdiri di depannya. Berbeda dengan mata Ayna yang sayu, sedangkan wanita di depannya terlihat sangat menggebu. Sebelum bertanya lebih lanjut Ayna melirik jam di pergelangan tangannya. Astaga, ternyata masih jam sepuluh pagi! Itu artinya, jangankan jam pulang, jam istirahat saja masih sangat lama! Ayna menguap, dagunya terangkat seraya bertanya ‘ada apa’ pada wanita di depannya. “Lo harus liat ini, Na, harus! Tapi gue ngga tau ini benar atau engga, tapi kayaknya benar mana mungkin mata gue bermasalah,” ujar wanita itu masih dengan wajah menggebunya. Tubuh Ayna menegak, diambilnya ponsel berwarna hitam itu. sejenak Ayna diam menatap layar ponsel yang sudah redup. Tatapan Ayna beralih dari layar ponsel ke wanita di depannya. “Ada apa, sih, Agatha. Ada drama korea apa lagi di dalam ponsel lo? Asal tau, yang kemarin belum tamat, mas—” “Jangan banyak omong, Na, buruan liat!” potong Agatha cepat. Ayna menghela napas mendengarnya. Kring! Kring! Baru Ayna ingin menyalahkan ponsel milik sahabatnya itu, tetapi suara telepon sudah dulu terdengar. Ayna meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, lalu dia mengangkat telepon yang baginya jauh lebih penting. Melihat itu Agatha berdecak kesal. Padahal yang ingin dia sampaikan hal penting. Beruntung yang bunyi telepon kantor maka dari itu Agaatha memaklumi. Kedua mata sipit Ayna semakin sipit saat dia menyalahkan laptop. Telinga fokus mendengar, mata fokus membaca. Seketika rasa kantuk Ayna hilang terbawa angin tornado. “B—baik, Pak, baik, saya akan ke ruangan Bapak sekarang. Izin ma—” Tut! “Sialan!” umpat Ayna saat kata-katanya belum selesai tetapi sambungan dimatikan secara sepihak. Agatha yang masih berdiri di tempat tertawa mendengar umpatan dari mulut Ayna. Kalau sudah kesal seperti ini Agatha tahu yang menelepon adalah atasannya. Agatha menoel lengan Ayna, namun gadis itu masih asik misuh-misuh sambil menyiapkan dokumen. Prinsip Ayna, marah-marahlah di belakang sebelum menemui kulkas seribu pintu. Karena kalau sudah bertemu, bibirnya dipaksa tersenyum manis. “Gue mau ke ruangan Pak Varrel, lo mau ikut, Ta?” Ayna menaik-naikan alisnya menatap Agatha. Agatha menunjuk dirinya seraya menjawab, “gue? Gue ikut ke ruangan Pak Varrel? Yang benar aja, ngapain!” Kali ini gentian Ayna yang tidak bisa menahan tawa melihat reaksi sahabatnya. Berkas sudah siap, Ayna berdiri dari duduknya. Saat melewati Agatha, dengan gerakan cepat tangan Ayna menarik rambut panjang Agatha yang terurai indah. Wanita itu meringis sakit, sedangkan Ayna tertawa terbahak-bahak. “Anak durhaka! Belum aja kakinya berubah jadi kodok sawah!” *** “Satu, dua … tiga.” Langkah kaki Ayna berhenti tepat di depan pintu berwarna cokelat. Sudah biasa masuk memang, tetapi setiap masuk ke dalam Ayna seperti tidak menjadi diri sendiri. Seolah-olah dia harus memerankan peran sebagai perempuan riang penuh senyum. Padahal saat ini dia sedang menahan kantuk yang sangat parah. Varrel Aditya Fahlevy—Chief Executive Officer. Nama dan jabatan itulah yang kini terpampang di mata Ayna. “Saya panggil kamu bukan untuk berbicara dengan pintu, Ayna Khallisa Aurellia.” Ayna menerjap, tubuhnya mematung mendengar suara horror itu. bak ditegur hantu, nyali Ayna ciut untuk membalikan tubuh. Dari suara dan aroma parfum Ayna sudah hafal kalau itu bosnya. Iya, Varrel! Kedua mata Ayna memejam, perlahan dia membalikan tubunya dengan wajah menunduk. Terlihat jelas sepatu mengkilat warna hitam berdiri tak jauh dari tubuhnya. Tebakannya tidak mungkin meleset, itu benar-benar bosnya. “Awas, Ayna, saya mau masuk.” Lagi, suara itu terdengar di telinga Ayna. Tanpa perintah kedua Ayna bergeser memberi ruang agar bosnya itu masuk terlebih dahulu. Akan tetapi, belum sempat Ayna menetralisir kekagetan, dia sudah kembali dibuat tersentak karena lengannya ditarik paksa oleh Varrel. Beruntung tidak ada karyawan yang melihat. Kalau ada, siap-siap saja dirinya akan menjadi bahan gosip. “Mana jadwal untuk hari ini, Ayna? Apa siang ini saya ada meeting? Atau yang lain?” tanya Varrel saat keduanya sudah masuk ke dalam ruangan. Buru-buru Ayna membuka catatan yang selalu dia bawa ke manapun. Dibacanya deretan tulisan itu lalu gadis itu menjawab, “ada, Pak. Bapak ada meeting dengan Pak Ari untuk membahas bahan baku. Meeting itu saat jam makan siang, dan sekretaris beliau bilang sekalian mengundang Bapak untuk lunch. Apa Bapak bersedia?” “Acc, saya akan datang,” jawab Varrel singkat. Ayna mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya. Diketiknya beberapa pesan setelah itu dia kembali memasukan benda pipih itu ke dalam saku. “Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?” “Nanti kamu ikut saya meeting. Ah, iya, sebelum kamu ke luar, buatkan saya kopi.” Tunggu. Apa tadi? Buatkan kopi? Kening mulus Ayna mengerut menatap Varrel. Sedang tajamnya menatap, tiba-tiba Varrel menatap balik membuat Ayna gelagapan. Saking gelagapannya, untung buku dan dokumen di tangannya tidak dia lempar. “Kemarikan materi meeting saya, Ay, kamu bisa langsung buatkan saya kopi.” Rasa kesal seketika hinggap di hati Ayna. Walaupun begitu tetap saja dia tidak bisa menolak. Ini baru salah satu sifat menjengkelkan Varrel, yang lain masih banyak. Tentu yang membuat Ayna darah tinggi. Buru-buru Ayna memberikan dua dokumen bawaannya lalu dia ke luar dari dalam ruangan tersebut. Tepat pintu ruangan tertutup Ayna menghentakkan kakinya kesal. “Sekretaris merangkap jadi OB gini banget. Astaga, demi duit gue begini.” Berhubung belum waktunya jam makan siang, kondisi pantry tidak terlalu ramai. Dengan sigap Ayna membuatkan kopi pesanan Varrel. Selagi menunggu air panas Ayna bersandar ke dinding sambil memejamkan mata. Entahlah, hari ini matanya sangat manja. “Lo dipanggil Pak Varrel cuma buat bikin minum, Na?” “Bos lo emang agak beda, Ta,” jawab Ayna tanpa membuka mata. Toh tanpa memuka dia sudah tahu itu suara siapa. Memang siapa lagi kalau bukan Agatha? Hanya dia karyawan yang sangat santai meninggalkan pekerjaan di meja. Agatha terkekeh, kakinya menendang pelan betis Ayna sampai gadis itu membuka mata. “Bos lo emang aneh. Fungsi OB di kantor ini tuh apa? Hobi banget nyuruh gue. Oh, iya, Ta, tadi lo mau tunjukin apa? Sini gue mau liat,” pinta Ayna mengulurkan tangannya kea rah Agatha. Sambil membuat the Agatha mengeluarkan ponsel lalu memberikan pada Ayna. “Buka galeri, Na, foto paling atas.” Ayna mengangguk manut. Masih dalam posisi bersandar jari-jarinya berselancar di layar ponsel. Sesuai perintah, foto atas. Dibukanya foto itu, seketika jantung Ayna berdegup kencang. Orang di dalam foto itu … orang itu tidak asing di mata Ayna. “Kayaknya mirip doang, Na, ngga mungkin Wildan, ‘kan?” Agatha menoleh menatap Ayna yang membisu. Wildan. Iya, pria di dalam foto itu Wildan. “Na? gue ngga ada maksud apapun, Cuma mau mastiin kalau gue emang salah liat. Sekalipun iya, pastinya cewek yang dia peluk elo dong? Jad—” “Itu Wildan, tapi bukan gue yang dipeluk. Wildan selingkuh maksud lo, Ta?” Ayna menatap lamat wanita di sampingnya. Baru Agatha ingin menjawab, tiba-tiba seseorang datang membuat dia mengurungkan niat untuk bicara. “Mbak Ayna, katanya ditunggu Pak Varrel,” ujar pria yang baru saja datang. Ayna menepuk jidat, buru-buru dia membuat kopi lalu pergi dari pantry menuju ruangan Varrel. Selama berjalan menuju ruangan Varrel otak Ayna berkelana memikirkan foto tadi. tidak sepenuhnya percaya, tetapi dari postur tubuh sangatlah mirip. Selingkuh? Kekasihnya selingkuh? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN