Menjadi Bucin tidaklah mudah, kadang Kau terjatuh, kadang Kau terluka, kadang Kau kekurangan dana.
Dia berdiri di ujung jalan itu. Nayanika sempurna menatapku. Bahkan dari jarak 15 meter, jantungku sudah tak sanggup menahan detakannya yang menggebu. Dasar, jantung Bucin memang lemah. Perlahan dia berjalan, senyum sempurna di raut wajah yang lebih sempurna. Rambut hitam dengan sisiran rapi, stelan hitam, dalaman putih, tapi tak sebanding dengan putihnya cintaku untuknya. Tubuh tingginya yang siap menopangku, itupun tak setinggi cinta matiku untuk si Tampan itu. Sejenak aku berpikir, Bagaimana Tuhan bisa memikirkan pahatan yang luar biasa ini? Tuhan memang canggih.
Dia sudah berdiri di depanku. Beberapa detik kemudian, tangan hangatnya mengeluarkan sebuah cincin model sederhana, dengan berlian putih kecil di atasnya. Cincin tersebut disematkan ke jari manisku. Aku tersenyum bahagia. Veil putih polos di kepalaku, mengayun lembut tertiup angin yang membawa aroma manis ke hatiku. Kami menjadi suami isteri hari itu. Dia menangkupkan tangan ke wajahku yang merona, perlahan dia mendekat. Walau sedikit gugup, Akupun kemudian ikut mendekat. Jantung kami terdengar satu sama lain. Ketika bibir kami hampir bertemu. Secara tiba-tiba, pasukan cair bening dari atas sana menyerang kami. Aku hampir basah kuyub, para tamu berlarian kesana-kemari. Aku juga berusaha berlari, tapi kakiku tersandung gaun pengantin yang tak sengaja kuinjak. Buk! Aku jatuh ke tanah. Dalam kekacauan itu, Aku tak tahu dimana keberadaan suamiku. Namun, tiba-tiba suara yang tak asing memanggilku.
"Lika, bangun!" hujan semakin deras. Aku berusaha menatap sumber suara tersebut.
"Lika, Lika!" ternyata Jamy, aku tersenyum menatapnya.
Tapi ... kenapa Jamy tak kebasahan? kuperhatikan lagi wajahnya. Kenapa ada paha ayam tersumpal di mulut Jamy?
"Bangun Lu woy. Elah mimpi aneh Lu ya?"
Jamy memercikkan air ke wajah Lika. Membuat Lika terbatuk.
"Apaan sih Jam, perusak kesenangan banget." Lika mengambil tisu lalu dengan kesal mengelap wajahnya yang basah.
"Buset. Cuman mimpi. Narasinya panjang bet. Ughh, kenapa gak lama sih mimpinya, Jamy nih gara-garanya, ngeselin."
Lika menatap Jamy tajam. Sebelum akhirnya dia menghabiskan segelas air, menyirami kerongkongannya yang kering.
"Gila Lu ya, makan siang masih sempet-sempetnya tidur. Malu tau gak dilihat orang se cafe."
"Bodo amat sih. Gua begadang tadi malam, capek."
"Ngapain begadang?"
"Biasa. Ngeretas jadwalnya My Prince Khun Suppasit. Muehehe, gila padat banget jadwalnya. Capek gak sih sayang?" Lika mengelus-ngelus gawainya, dengan Wallpaper seorang laki-laki berkemeja rapi dan wajah tampan yang mengagumkan. Setidaknya itu menurut Lika bersama setengah populasi wanita di jakarta.
"Gax capek ya Lu? ngebucinin dia terus." Jamy melahap ayamnya tanpa henti, sesekali dia bersendawa membuat Lika merasa jijik.
"Lu kalo makan, makan aja, ngomong, ngomong aja. Jangan makan sambil ngomong. Sendawa lagi. Jorok tau gak!"
"Biarin, wek," Jamy mengulurkan lidahnya, ingin sekali Lika menarik lidah itu keluar. "Ngapain sih Lu suka ama dia. Mending Gua. Ganteng juga, CEO juga, tajir juga, yang paling penting, Gua deket ama Lu."
"Idih ... ogah. Khun Suppasit jauh di atas Elu tau gak. Lagian Elu jorok. Malesan Gua."
"Oh, Gua jorok? sini Lu."
Jamy bercanda dengan berusaha memasukkan tulang ayam ke mulut Lika. Lika memukul-mukul Jamy, lalu berlari menuju toilet. Jamy terkekeh, menaruh tulang ayam ke atas piringnya.
"Dasar Bucin gila. Hahaha."
***
"Abis ini kita kemana?"
Jay Suppasit Methanan. Berjalan santai di lorong perusahaannya. Tangan kanan dimasukkan ke saku stelannya. Sementara, tangan kiri melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Bohong jika berkata leher jenjang itu tidak menarik. Sekilas saja sudah terlihat, keseksian yang tiada tara dari bagian tubuh indah itu.
"Setengah jam lagi, anda akan makan siang bersama Tuan Sawindra. Pemilik Lion Studio Company, Tuan." Mawesra sekretaris muda berusia 24 tahun itu, membaca jadwal dengan teliti.
"Dimana?"
"Gedung Menara, di Senayan."
Jay berhenti sejenak, lalu menghelas nafas. "Gak ada yang tahu jadwal ini kan?"
Mawesra tersenyum lalu menggeleng pelan. "Tapi... jika "Isteri Sahnya Khun Suppasit" berulah lagi ..."
"Pokoknya jangan sampe dia tahu! sebenarnya dia siapa sih? Pasti ada orang dalam yang bocorin jadwal ke dia."
"Jadwal ini cuma ada di tablet yang saya pegang, dan ... saya sama sekali tak membocorkan kemana-mana."
"Semalam aja dia ngunggah foto waktu Gua ke lapangan Golf tau gak! gimana dia bisa tahu hal private kayak gitu?" Jay menatap tajam sekretarisnya.
"T-tapi saya benar-benar tidak tahu Tuan."
"Ok. Pastikan kali ini dia gak bisa ambil foto lagi."
"Baik Khun Supp..." Mawesra menutup mulutnya. "Tuan Jay." Ucapnya kemudian sambil nyengir kuda. Jay melengos kesal lalu masuk ke ruangan.
***
"Ok, saatnya otw. Gedung Menara." Lika mengambil kamera canggihnya, mengganti lensanya beberapa kali. Setelah mendapat lensa yang pas, dia mengambil tas hitam, dan memakai topi dengan hiasan manik yang banyak.
"Lu ini bukan penggemar tau gak, tapi stalker, ngerti stalker? Sesaeng Fans, penguntit." Jamy mengomel sambil menandatangani berkas di mejanya. Setiap Lika akan menjalankan misinya, dia memang selalu mengomel.
"Berisik amat sih nih anak. Kerjaan Gua udah selesai, apa salahnya Gua ngebucin?"
"Nyesel Gua ngangkat Lu jadi pegawai di sini. Yang bos sebenarnya siapa sih? Gua apa Elu?"
"Ck, ck. Nanti Lu potong aja gaji Gua. Gua cabut dulu, udah telat nih." Lika menepuk pundak Jamy lalu bergegas pergi.
"Apa yang mau dipotong! gaji Lu udah gak ada sisa! dasar. Ntar kekurangan duit juga mewek ama Gua minta pinjaman. Nemu dimana coba, bos yang cakep, baik dan sabar kayak Gua ini."
Jamy ngoceh tak henti-hentinya. Tak ada yang peduli dan tak ada yang mendengar ocehannya.
________________________________________________
Lokasi : Gedung Menara, Senayan.
Waktu : 14.15 WIB
Kegiatan : Makan siang bersama CEO Lion Studio Company.
Outfit : Stelan hijau lumut
Item tambahan : Kacamata hitam, dan jam tangan baru.
"Perfect." Lika tampak puas dengan catatan di bukunya, dan hasil foto yang didapatnya hari ini. Dengan santai dia duduk di lobi gedung. Tak ada yang memperhatikannya, dia seperti berbaur dengan seluruh perabotan di sana. Jelas, pengalaman yang dia punya bukan main-main.
"Jam segini kok baru makan siang sih sayang? nanti kenak mag loh," Lika mengusap-usap foto Jay di kameranya.
"Upload Gak ya?" Lika menunggu hampir setengah jam. Setelah perhitungan yang matang, dia yakin Jay sekarang pasti sudah selesai makan. Dia menggeser-geser foto yang telah dipindahkan ke gawainya. Dengan semangat dia memilih foto Jay yang baru memasuki Gedung Menara. Persis bak pangeran negeri dogeng.
"Caption, "Perfect Prince, @Gedung Menara, Senayan" #KhunSuppasit #CEOTampan #isterisahnyakhunsuppasit. Ok. Upload."
Foto yang baru diunggah Lika selama semenit, langsung dibanjiri berbagai komentar.
"Masya Allah calon suamiku."
"Mundur dikit Bang, gantengnya kelewatan @MethananGroup."
"Gedung Menara? ya ampun Gua sekarang di mari."
"Serbu Gedung Menara! "
Seketika lobi gedung dipenuhi oleh para wanita yang ingin melihat Jay. Lika menutup mulutnya. Kagum atas ketenaran Jay, dan juga kagum pada akun fansbasenya yang memiliki begitu banyak pengikut, serta punya pengaruh penting bagi para isteri online di luar sana.
Saat turun dari lantai 4 gedung, Jay mengutuk, tatkala melihat kerumunan orang di lobi. Dia menarik nafas panjang, lalu berjalan dengan senyum yang dipaksakan. Kerumunan tersebut hampir menyerbu, untungnya dihalangi oleh petugas keamanan gedung. Mereka mengikuti Jay ke luar hingga ke tempat parkir. Lika ikut berlari berbaur dalam kerumunan. Ketika hendak mengambil fokus foto yang pas, tiba kerumunan mendorong Lika. Lika menahan tubuhnya sejenak. Klik! foto didapat. Lika tersenyum puas, lalu rubuh karena tak bisa menahan kerumunan yang berlari mengikuti mobil Jay. Lika terduduk dijalan, kakinya terasa sakit karena membentur trotoar.
***
Begitu sampai di rumah, Jay melempar dirinya ke tempat tidur. Dengan kesal dia memerika gawai. Membuka sosial media lalu memeriksa akun "Isteri Sahnya Khun Suppasit". "Udah Gua duga, pasti dia. ni manusia gak punya kerjaan kali ya!"
Jay memeriksa komentar yang masuk, tiga jam telah berlalu sejak dia meninggalkan Gedung Menara. Sampai saat ini, sudah ada 3000 lebih komentar di foto baru itu. Jay kemudian berdiri lalu menatap dirinya di cermin.
"Aish, makin dilihat-lihat, emank bener. Ganteng Gua emank kelewatan." Ucapnya lalu mengambil handuk.
"Tenang-tenang aja Lu sekarang, awas aja, Gua pasti bakal masukin Elu ke penjara." Ocehnya lagi, sembari menuju ke kamar mandi. Sudah berkali-kali Jay berkata ingin memenjarakan admin akun tersebut. Namun, kadang dia lupa, kadang juga dia merasa tak perlu mengurusi urusan sepele. Alasan lainnya, walau menggangu, akun tersebut membawa keuntungan besar bagi perusahaan. Dengan foto-fotonya yang berkualitas bagus. Orang-orang yang terpesona berbondong membeli barang perusahaan, dan juga namanya bisa trending dipencarian hampir setiap bulan. Tentu saja didukung wajah tampannya yang sempurna.
***
Jay menyelesaikan semua pekerjaannya dengan cepat. Lalu menyuruh Mawesra mengambil alih perusahaan selama dua minggu. Kepala Jay mulai tak bisa berpikir dengan benar, dia kelelahan, jengah serta bosan. Sudah dipastikan dia sangat butuh liburan. Jay memilih pergi ke Chiang Rai - Thailand. Kota kecil tempat dia di lahirkan. Dia tak pernah pergi kesana. Sejak pindah 20 tahun yang lalu. Ketika ada urusan bisnis di Thailand, dia hanya pergi ke pusat kota Bangkok. Tak ada waktu untuk mengunjugi tempat lain karena jadwal padatnya.
"Ingat, jangan sampe ada yang tahu Gua pergi liburan. Kalo staff nanyain, bilang aja Gua semedi di rumah." Ucap Jay kepada Mawes yang langsung mengetik sesuatu di tabletnya.
"Jangan tulis di jadwal juga. Ini liburan rahasia. R A H A S I A, ngerti gak? hapus!".
Mawes segera menghapus catatanya lalu menekan tombol save. Karena kebiasaannya mencatat apapun yang dikatakan Jay, Mawes tak pernah berhenti menatap tablet, hingga matanya berubah menjadi mata panda. Seolah dia bergadang menonton drama korea.
"Kalau Khun Thivat nanyain? gimana Tuan?". Mawes menatap Jay, seolah anak ayam menatap induknya.
"Masalah Ayah biar Gua yang urus. Lu urusin masalah kantor aja."
Mawes mengangguk lalu membacakan jadwal terakhir Jay hari ini. Makan malam bersama Pejabat Negara.
Lika mengompres kakinya yang bengkak, sudah sehari berlalu sejak dia terjatuh di trotoar. Hari ini dia tidak hunting foto karena ada beberapa urusan. Lika menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah omelan Jamy masih terdengar di telinganya. Seharian Jamy mengocah tak ada habisnya, karena melihat kaki Lika yang pincang. Lika menarik nafas panjang, lalu menatap poster Jay yang terpampang dengan ukuran raksasa di di dinding kamar.
"Jadi Bucin itu gak mudah, kadang kita terjatuh, kadang kita terluka, dan..." Lika memeriksa saldo rekeningnya. "Kadang kita kehabisan dana."
Hanya tersisa Rp. 500.000'- di rekening Lika. Semua uangnya habis dia tarik untuk mendanai perjalanan "Ziarah Idola". Lika menabung selama 6 bulan untuk perjalanan ini, dan hari ini dia mengurus semua keperluan, hingga menguras habis semua tabungannya. Lika menatap pesanan tiket pesawat online lalu tersenyum ceria.
"Besok Gua bakal pergi ke kampung halaman Khun Suppasit, wah serasa tercium bau Sultan Suppasit dari sini. Ok! besok otw Chiang Rai! semangat!"
TBC