Chapter 2 -

1010 Kata
"Ema? Tumben ketemu di sini." Mata Ema mengerjap mendengar kata-kata akrab itu. Wanita itu berusaha menampilkan senyuman simpul profesional, untuk menutupi perasaan panas yang muncul di d*danya. Kenapa dari sekian banyak orang, harus ketemu orang ini lagi sih? "Hem. Iya, pak." Enggan memperpanjang, Ema mengalihkan perhatian kembali ke layar. Hatinya terasa panas mengingat kejadian menjengkelkan siang tadi saat meeting kuartal dengan pria ini. Bahu wanita itu sedikit naik saat ia menarik nafas dalam-dalam, dan mulai menyuapkan popcorn-nya. Selama beberapa saat, konsentrasi wanita itu terpusat penuh pada layar bioskop. Fokusnya terganggu saat merasakan pria di sampingnya mulai bergerak-gerak gelisah dan makin memepet ke arahnya. Jengkel, kepala Ema menoleh dan ia berbisik rendah, "Kenapa sih, pak?" Wanita itu sedikit terkejut saat Ilyas mendekatkan wajah ke arahnya. Ema dapat merasakan hembusan udara hangat dan berbau mint saat pria itu balas berbisik. "Sori. Tapi cewe di sampingku mepet terus. Padahal ada pacarnya. Aku engga nyaman." Lagi-lagi Ema terkejut dengan nada akrab itu. Ia sedikit menjauh saat menyadari wajah mereka terlalu dekat. "Tapi saya juga ga nyaman pak kalau terlalu dekat gini. Bisa geser sedikit ga ke sana?" Bukannya menjauh, bahu Ilyas malah makin menempel. "Kamu kan masih luas gini. Sampingmu kosong." Salah satu tangan Ema mengepal kencang. Untung bioskop yang gelap menyembunyikan ekspresi marahnya. Tidak mau mendebat lagi, wanita itu kembali menghela nafas panjang. Badannya mulai gemetar karena suhu ruangan yang semakin mendingin. Tiba-tiba saja sebuah jas menutupi pangkuannya, membuat Ema menoleh. "Kamu kedinginan. Tanganmu dari tadi gemetar. Makanya, jangan minum dingin kalau sudah malam." Pandangan Ema masih terarah pada Ilyas, tapi pria itu telah memalingkan kepala ke layar. Menunduk, wanita itu mengelus kain jas hitam itu yang terasa tebal dan mahal. Memutuskan tidak ingin memancing pertengkaran, Ema menyusupkan kedua tangannya ke pakaian tebal itu dan kembali menonton. Tidak sampai 10 menit, sudut mata wanita itu lagi-lagi menangkap pergerakan di sampingnya. Tampak Ilyas telah menyelonjorkan tubuh, padahal kakinya sendiri sudah mentok ke bangku depannya. Kepala pria itu tertunduk dan beberapa kali terayun pelan, seperti sedang menahan kantuk. Kedua alis Ema sedikit terangkat heran. Padahal film yang sedang mereka tonton adalah film action, tapi pria ini malah tertidur. Aneh sekali. Baru saja Ema akan memusatkan lagi perhatiannya, terdengar bisikan serak dari arah sampingnya. "Pinjam bahumu sebentar, Em. Aku ngantuk banget." "Eh? Pak-" Protesan Ema tertelan di tenggorokannya. Kepala Ilyas telah bersender dengan nyaman di bahunya dan tidak butuh waktu lama, dengkuran halus terdengar dari hidung mancung pria itu. Memutar bola matanya ke atas, Ema menengadahkan kepala dan menggigiti bibirnya. Sabar... Sabar, Em... Dia itu orang penting... Kalau kau hajar dia, kau bisa langsung dipecat nanti! Berusaha mengembalikan konsentrasinya, Ema mengalihkan pandangannya ke layar. Tidak lama, wanita itu kembali menikmati tayangan di depannya tanpa terganggu sedikit pun. Mata Ema mengerjap pelan saat lampu di ruangan bioskop mulai dinyalakan dan layar sudah menayangkan bagian akhir dari film. Tampak para pengunjung mulai berdiri dan meninggalkan ruangan bioskop itu. "Permisi." Mendongak, Ema melihat tatapan sinis dari seorang wanita muda yang ternyata duduk di sebelah Ilyas tadi. "Silahkan." Sebisa mungkin, Ema beringsut untuk membuka jalan. "Tolong pacarnya dibangunkan, mba. Menghalangi jalan saja." Salah satu alis Ema terangkat dan menatap kepergian pasangan itu. Tampak si wanita berjalan duluan, yang dikejar oleh pria di belakangnya. Ruangan itu mulai sepi, sampai Ema tersadar pria di sampingnya belum terbangun juga. Saat menoleh, tidak sengaja ia mencium wangi dari rambut tebal pria itu yang terasa halus di pipinya. Tanpa sadar, Ema menghidunya dalam. Harum itu terasa menyenangkan. Lembut, tapi tetap maskulin. "Pak? Bangun pak." Beberapa kali Ema menggerakkan bahunya, tapi Ilyas belum terbangun. Ragu-ragu, wanita itu menyentuh lengan pria itu yang berkemeja panjang dan menggoyangnya pelan. "Pak? Pak Ilyas? Bangun pak." "Hmmh? Filmnya?" Suara pria itu terdengar lebih serak dan ia mengusap wajahnya, tapi belum beranjak. "Sudah selesai dari tadi pak." Setelah lelaki itu tidak lagi bersender padanya, barulah Ema bergerak. Bahunya terasa panas dan kebas. Refleks, tangannya menyentuh bagian tubuhnya itu sambil meringis. "Oh! Maaf. Sakit ya?" Masih dengan muka mengantuk, Ilyas mengulurkan tangan ke arah Ema dan memijat bahu wanita itu pelan. Sentuhannya terasa mantap dan mengalirkan hawa panas yang menyenangkan di tengah udara dingin. Keterkejutan Ema membuat wanita itu membatu dan hanya menatap pria di sampingnya diam. Kegiatan itu diinterupsi suara deheman pelan dari seseorang. "Maaf... Ruangan mau dibersihkan Bapak, Ibu." Gugup, Ema langsung berdiri dan terburu-buru turun ke arah tangga. "Oh ya. Maaf, mas." Sama sekali wanita itu tidak berbalik dan berjalan lurus, sampai terasa tarikan pelan di lengannya. "Em. Tunggu, Em." Saat ini, mereka sudah berada di ruangan lobi bioskop yang sudah cukup kosong. Hanya beberapa gelintir orang yang tampaknya ingin menonton tayangan midnight malam itu. Cahaya lampu yang terang benderang membuat Ema dapat melihat wajah Ilyas dengan jelas. Tampak mata pria itu masih sedikit merah dan lingkaran hitam terlihat jelas di bawah matanya. "Ema. Maaf tadi aku membuatmu ga nyaman. Aku-" Gelengan tampak dari kepala Ema dan wanita itu tersenyum canggung. "Tidak apa, pak. Saya tahu kalau bapak sepertinya sedang capek. Oh ya, terima kasih untuk jas-nya." Kedua mata Ilyas mengerjap pelan dan pria itu akhirnya tersenyum. Ia mengambil uluran jas itu. "Terima kasih kembali, Em. Kamu harus tahu, bahumu sangat membantuku tadi." Pandangan bertanya Ema hanya dijawab Ilyas dengan senyuman. Senyuman yang entah kenapa membuat jantung wanita itu terasa berdebar lebih cepat. Memundurkan kepalanya, wanita itu menelan ludahnya sulit. Sepertinya, ia harus segera menghindar. Ada sesuatu di diri pria ini yang membuatnya merasa tidak nyaman dan ter-ekspos. "Kalau begitu, saya permisi dulu, pak." "Kamu tinggal di mana?" Lelaki itu malah mengikutinya ke arah lift dan ketika Ema menyebutkan lokasi tempat tinggalnya, tampak pria itu menatap jam di pergelangan tangan kanannya. Kedua alis tebalnya berkerut dalam. "Tempatmu tidak terlalu jauh, tapi sekarang sudah cukup malam. Kamu pulang naik apa?" "Saya bawa mobil pak. Parkir di B1." "B1? Kebetulan. Aku juga parkir di sana. Biar aku sekalian mengantarmu." Tertegun, Ema menatap Ilyas yang sudah memasuki lift. "Pak?" Menahan pintu lift, pria itu memandang Ema dengan tajam saat melihat wanita itu akan membantah. "Banyak kasus begal sekarang ini. Bahaya perempuan mengendarai mobil sendirian. Aku akan mengikuti mobilmu dari belakang. Jangan membantah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN