= Beberapa hari kemudian. Kantor TJ Corp. Ruangan Ilyas. Sore hari =
"Ini sudah beberapa hari, Em. Kamu sudah ambil keputusan?"
Wanita yang duduk di sofa itu perlahan menggeleng. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap pria yang duduk di sebelahnya.
"Maaf, pak. Tapi sepertinya saya tidak bisa membantu."
"Kalau ini masalah kompensasi..."
"Ini tidak ada hubungannya pak. Saya hanya tidak bisa memenuhi permintaan bapak kemarin."
Selama beberapa menit tidak ada yang bicara. Ruangan kerja itu hening sekali.
Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ema hampir berdiri saat tangannya ditarik kembali.
"Tunggu dulu, Em. Tunggu sebentar."
Ema ingin menarik tangannya tapi ditahan Ilyas yang sedikit mencengkeramnya. Tampang pria itu gusar.
"Pak..."
"Tunggu sebentar, Em! Tunggu. Biarkan aku berfikir."
Nada Ilyas yang sedikit tajam membuat Ema terdiam.
Pria itu terlihat berfikir dalam. Kedua alisnya berkerut dan tatapannya tidak mengarah ke mana pun. Setelah beberapa saat, barulah Ilyas menatapnya lagi. Kali ini, ekspresinya memohon.
"Katakan padaku, bagian mana dari penjelasanku waktu itu yang membuat kamu masih ragu?"
Wanita itu menghela nafasnya. "Pak..."
Ilyas mengambil kedua tangan Ema dan menimangnya. Jari-jarinya mengusap tangan wanita itu.
"Tolong, Em. Bilang saja padaku. Aku akan coba menjelaskannya lagi padamu."
Mata Ema mengarah pada tangan mereka yang saling bertautan. Pria itu memiliki tangan maskulin dengan guratan urat yang keras. Berbeda dengan tangannya sendiri yang kecil dan halus dalam genggaman Ilyas.
Mengingat perkataan pria itu beberapa malam sebelumnya, Ema menggigit bibirnya dan menarik tangannya.
"Em?"
"Lebih baik kita tidak terlalu sering... bersentuhan. Jadi saya tidak salah sangka. Itu yang pertama."
Kedua mata kelabu Ilyas menyipit mendengarnya. "Salah sangka?"
Susah payah, wanita itu menelan ludah sebelum melanjutkan, "Salah sangka kalau bapak menyukai saya."
Lelaki itu terdiam dan akhirnya menegakkan tubuhnya. Kedua matanya mengerjap cepat.
"Maaf. Aku tidak mengira kalau tindakanku membuatmu berfikir seperti itu."
Tawa pelan yang canggung keluar dari mulut Ema.
"Wajar saja kan, pak. Bapak pria dan saya wanita. Tidak aneh kalau saya berfikir seperti itu."
Penuh rasa bersalah, Ilyas menatap wanita di depannya.
"Maafkan aku, Em. Tapi kamu paham kan, kalau aku... kamu... Hubungan kita ini tidak..."
Kepala wanita itu mengangguk kaku. Ia melipat tangan di pangkuannya. "Saya paham."
Ruangan sunyi kembali, dan Ema memperhatikan wajah pria itu yang tampak tertunduk.
"Boleh saya bertanya?"
Tatapan Ilyas naik dan pria itu mengangguk antusias. "Silahkan."
Kembali Ema menggigiti bibirnya dan akhirnya ia memberanikan diri.
"Kenapa bapak memilih saya? Bukannya ada mba Tantri atau mba Sheila yang sepertinya lebih pantas untuk bapak kenalkan ke keluarga besar?"
Tanpa disadari Ema, Ilyas memperhatikan mulut wanita itu sebentar sebelum tatapannya naik.
"Aku bukan orang yang mudah percaya orang lain, Em. Tapi dengan kamu beda. Kita sudah beberapa kali ketemu di luar kantor, dan aku cukup cocok denganmu. Hubungan kita juga tidak canggung dan obrolan kita nyambung. Sedangkan dengan wanita lain... Aku tidak yakin."
"Mungkin bapak belum ketemu wanita yang tepat saja. Kenapa bapak tidak cari orang untuk diajak serius? Saya yakin banyak wanita yang mau dengan bapak di luar sana."
Kedua mata kelabu Ilyas menajam. "Aku tidak akan pernah menikah, Em."
Jawaban itu sangat mengejutkan Ema. Membuatnya membeku. "Bapak... tidak mau menikah?"
Lelaki itu berdiri tegak di depan jendela besar dengan kedua tangan di saku celananya. Benaknya berputar kencang beberapa saat, dan ia menoleh pada wanita yang masih duduk di sofa.
"Kamu pernah dengar keluarga Tjakradiningrat?"
"Tentu saya tahu. Mereka pemilik perusahaan ini. Satu dari jaringan bisnis yang tersebar di seluruh dunia. Salah satunya Indonesia."
Ilyas mengangguk kaku. "Aku bagian dari keluarga itu."
Suara wanita itu terdengar tercekat, "Jadi nama pak Ilyas..."
"Ilyas Tjakradiningrat. Itu nama di keluarga besar. Tapi untuk semua dokumen legal, aku menggunakan nama Hagen. Nama asli-ku."
Dengan tenang, Ilyas kembali memberikan penuturan yang mengejutkan.
"Aku itu anak angkat, Em. Keluarga Tjakradiningrat tadinya tidak punya penerus lelaki, jadi aku diangkat anak saat umurku 5 tahun. Mereka bilang tampangku mirip dengan salah satu menantu, ayah angkatku, yang memang orang Jerman asli. Tapi setahun kemudian, satu anak mereka ternyata melahirkan keturunan lelaki. Aku pada akhirnya tetap tinggal di Jerman, sampai 5 tahun lalu diminta membantu di Indonesia."
Melihat tampang wanita itu yang shock, Ilyas kembali duduk dan mengambil tangan Ema.
"Aku tidak pernah berharap jadi penerus. Tapi sepupu-ku, yang seharusnya menjadi Direktur Utama di sini, mendapat sedikit masalah di cabang Amerika sana. Jadi untuk sementara aku menggantikannya, sampai dia kembali ke Indonesia dan meneruskan perusahaan. Aku memakai nama asli-ku karena pada akhirnya, posisi-ku ini akan diisi oleh orang yang berhak. Keturunan murni dari Tjakradiningrat."
Bola mata Ema bergerak-gerak mengamati wajah pria yang duduk di depannya. Lelaki itu terlihat jujur.
"Aku memintamu... menjadi kekasihku kemarin, hanya supaya mereka berhenti mendesakku untuk segera menikah. Aku tidak ada kewajiban memenuhi ekspektasi mereka sebagai bagian dari keluarga, Em. Hanya sebatas balas budi, karena mereka membesarkan dan membiayaiku sampai jadi seperti sekarang."
Kepala Ilyas tertunduk dan alisnya berkerut. Pria itu mengusap-usap pelan tangan Ema di genggamannya.
"Tapi sebagai cucu, aku tidak bisa mengecewakan Opa Oma. Mereka yang membesarkan aku selama aku di Jerman. Aku hanya ingin membuat mereka senang, karena sudah punya pasangan."
"Tapi mereka lambat laun akan tahu juga, pak. Justru mereka akan lebih kecewa-"
"Tidak akan. Setelah beberapa bulan, kita putus baik-baik. Sepupu-ku kembali dari Amerika dan aku pulang ke Jerman. Kita jalani kehidupan seperti sebelumnya. Seperti semula. Tidak ada yang berubah."
Hati Ema terasa sakit, mendengar penjelasan yang sangat dingin seperti itu. Ia seolah mengalami de javu.
Apa semua orang kaya seperti ini? Menganggap perasaan manusia seperti transaksi bisnis?
"Bagaimana kalau ada yang berubah? Perasaan manusia tidak ada yang tahu. Bagaimana kalau saya jadi mencintai bapak? Atau bapak justru yang mencintai saya? Apa kita tetap akan bisa putus baik-baik?"
Pertanyaan ini membuat Ilyas menatap dalam wanita di depannya.
"Kamu yakin akan bisa jatuh cinta padaku?"
"Saya tidak tahu. Tapi saya tidak mau mengambil resiko itu."
Melepaskan tangan Ilyas, Ema berdiri dan menarik nafas panjang. Tampak pria itu ikut berdiri.
"Ema..."
Kepala wanita itu menggeleng dan ia menundukkan pandangannya.
"Terus terang, saya pernah patah hati pak. Saya tidak mau mengalaminya lagi, apalagi dasarnya sudah main-main dan tidak serius seperti ini. Lebih baik, bapak cari orang lain saja."
Tubuh Ema berbalik menuju pintu dan berhenti, saat mendengar perkataan Ilyas selanjutnya.
"Yang membuatmu patah hati Aditya, kan? Aku bisa bantu kamu terhindar dari dia. Dengan jadi pacarku."
Raut muka wanita itu terlihat marah saat kembali berbalik menatap Ilyas.
"Bapak menyelidiki saya? Apa hak bapak-"
"Aku bukan orang bodoh, Em. Kamu kira aku percaya begitu saja cerita kamu malam itu? Dari CCTV kelihatan jelas kalau Aditya mau mencium kamu. Kamu mau kejadian itu terulang lagi?"
Pipi Ema mulai merah. Ia sangat marah dan ingin menampar pria di depannya.
"Itu bukan urusan bapak!"
Gigi geligi Ilyas bergemeretak. Emosinya mulai terpancing karena wanita ini.
"Jadi urusanku kalau kejadiannya tepat di kantorku, Em! Aku tidak akan membiarkan orang itu seenaknya di sini! Siapa saja yang mau mel*cehkan karyawanku, tidak akan aku ampuni! Meski itu pria yang kamu cintai setengah mati, sampai kamu tidak bisa lagi berfikir jernih! Atau kamu memang mau jadi seorang pelakor!?"
Suara tamparan kencang bergaung dalam ruangan kerja yang luas itu.
Nafas Ema tersengal dan tangannya gemetar. Bola matanya mulai mengeluarkan air.
"Saya benci bapak!!"