Revano menjelaskan pada Asma apa saja yang harus mereka katakan, dan lakukan nantinya. Revano tidak merasa takut kalau supirnya mendengarkan pembicaraan mereka.
Tagor, supirnya itu sangat bisa ia percaya. Yang ia khawatirkan justru Asma, yang takutnya tidak bisa mengikuti rencana yang sudah ia buat. Gadis mungil itu tidak mendebat apa yang dikatakan Revano, ia hanya mengangguk saja tanda setuju.
Tiba di halaman rumah Revano.
"Ini rumah Om Buto Ijo?"
"Iya, ayo turun," Revano ke luar dari mobil lebih dulu. Asma mengikuti Revano sambil menatap rumah besar di depannya.
"Ehmmm," kepala Asma mengangguk-angguk.
"Kenapa?" Revano menatap Asma dengan perasaan heran.
"Rumahnya tinggi sekali, pasti banyak raksasa di dalamnya," gumaman Asma membuat Revano tersenyum.
"Ayo, ingat apa rencana yang sudah disusun tadi ya!"
"Emhhh," kepala mungil itu mengangguk.
"Mana tanganmu?"
"Mau apa, kalau belum nikah, kata Abba, tidak boleh pegang-pegang!" Asma menyembunyikan kedua tangan di balik punggungnya.
Revano menarik napasnya.
'Bukannya tadi dia sudah tidur di lenganku, terus memelukku. Hhhh, apa dia ini pelupa akut?'
"Kalau aktingnya tidak meyakinkan, nanti mereka tidak percaya, kalau kita sudah pacaran" bujuk Revano.
"Kata Abba tidak boleh pacaran!"
"Maksudku, calon istri. Ayolah, kita masuk. Atau kamu mau aku pulangkan Sekarang?" ancam Revano.
Dengan terpaksa, Asma menyodorkan telapak tangannya pada Revano. Jemari mungilnya tenggelam dalam genggaman telapak tangan pria itu.
Revano membawa Asma masuk melewati pintu depan rumahnya. Di ruang tamu memang tidak ada siapa-siapa. Tapi, suara riuh terdengar dari ruang tengah. Asma menahan tangan Revano.
"Ada apa?"
"Takut," mimik wajah Asma terlihat cemas.
"Takut apa?"
"Yang di dalam sebesar Om semua?"
"Aku bilang jangan panggil Om, Abang!"
"Iya, tapi.... "
"Ayo," Revano menarik tangan Asma. Gadis itu terpaksa mengikuti dengan langkah diseret.
"Assalamuallaikum," Revano memberi salam, semua mata menatap ke arahnya. Serentak, ibunya, dua adik perempuannya, dan adik iparnya bangkit dari duduk mereka.
"Paman!" empat bocah langsung berlarian mengejar Revano. Keempatnya berebut untuk menyalami paman mereka.
"Ini siapa?" Vika, keponakan Revano yang paling besar menunjuk Asma.
"Ini Acil Asma," bisik Revano, lalu ia, mendekati ibunya, tanpa melepaskan genggaman tangannya di tangan Asma.
"Assalamuallaikum, Bu." Revano baru melepaskan tangan Asma, saat ia mencium punggung tangan ibunya. Adik-adiknya bergantian mencium punggung tangan Revano.
"Kenalkan, ini Asma. Asma, kenalkan ini ibuku, adikku, adikku, dan adik iparku."
Asma mengulurkan tangannya, ia cium punggung tangan mereka satu persatu.
"Asma ini ... enghh, emhhh, dia ... ehmm, doakan saja kami berjodoh." Revano kembali menggenggam jemari Asma, wajah mungil itu terlihat merona.
Ibu, dan adik-adik Revano saling tatap.
"Usiamu berapa, Asma?" tanya Vina, adik Vano yang paling besar.
"Delapan belas," jawab Asma pelan.
"Benar delapan belas?" Vani, adik bungsu Vano tidak yakin dengan jawaban Asma.
"Ehmm, ini KTP ku, kalau Kakak tidak percaya," Asma ingin membuka tas ransel yang ia gantung di bahunya.
"Tidak perlu, kami percaya." Renata yang berada di dekat Asma, menahan tangan Asma yang ingin mengambil dompetnya.
"Ibu tidak keberatan kalau dia menginap di sini'kan, aku hanya tiga hari di sini. Setelah itu, kami akan kembali ke Kalimantan. Aku hanya ingin mengajak dia jalan-jalan selama di Jakarta."
"Duduk dulu," Renata mempersilahkan Asma untuk duduk. Asma duduk bersebelahan dengan Revano.
"Paman, boleh kami ikut jalan-jalan?" tanya Viko, kembaran Vika, yang merupakan anak Vina.
"Tidak boleh, paman kalian ingin jalan-jalannya berdua saja," Vina yang menjawab pertanyaan putranya.
"Iya iih, ini anak-anak. Sana main lagi, tidak boleh menguping pembicaraan orang tua," sergah Vani.
"Vika, Viko, bawa adik-adik main ke kamar bermain sana!"
"Iya, Umi!"
Setelah anak-anak pergi.
"Asma tinggal di mana?" tanya Renata.
"Banjarbaru," jawab Asma singkat.
"Masih Sekolah?" Vina ikut bertanya.
"Baru lulus SMA, Kak."
"Ooh, sudah lama kenal dengan Bang Vano?"
Asma menolehkan kepala pada Vano.
"Belum begitu lama." Revano yang menjawab pertanyaan adiknya.
"Kalian ini, Asma baru datang sudah diwawancara, kamu pasti lelah ya. Vina, beritahu bibik, agar membersihkan ruang tidur untuk tamu." Renata menyudahi wawancara yang dilakukan kedua putrinya.
"Biar aku yang beritahu bibik, Bu." Husna, menantu Renata yang beranjak ke kamar belakang, untuk memberitahu bibik.
"Kamu tinggal dengan orang tuamu di Banjarbaru?"
"Yaah, Ibu. Kita dilarang wawancara, malah Ibu yang wawancara," protes Vina.
"Wajar dong Kak, calon mertua'kan memang begitu," sergah Vani.
"Iya, ya, mertuaku dulu juga begitu."
"Aduuh kalian ini, bisa diam tidak, Ibu ingin bicara dulu sama Asma," Renata melotot ke arah kedua putrinya.
"Iya, Bu, iya."
"Asma?"
"Iya, Bu. Saya tinggal dengan Kai, Nini, Abba, dan Amma."
"Abba, dan Amma?"
"Ayah, dan ibu."
"Ooh.... "
"Asma, wajahmu mirip bintang film Turki loh!" seru Vina.
"Iya benar, tapi cantikan Asma, Bang Vano ternyata pintar mencari jodoh," goda Vani.
Asma jadi terlihat salah tingkah digoda adik-adik Vano. Renata menghembuskan napasnya, ia tidak bisa bicara dengan Asma, karena keceriwisan dua putrinya.
"Maaf Bu, kamar tidur tamunya sudah saya bersihkan."
"Ooh, Vano antar Asma ke kamarnya," Renata menatap putranya. Revano bangun dari duduknya, Asma ikut bangun juga dari duduknya.
"Saya permisi, Bu, Kakak-Kakak," pamit Asma.
"Iya."
"Ayo," Vano menggamit lengan Asma. Asma mengikuti langkah Revano untuk menaiki anak tangga.
"Keturunan ya?" Asma mendongak menatap Revano.
"Apanya?" Revano menunduk untuk menatap wajah Asma.
"Keturunan watrawan, semua.... "
"Wartawan!"
"Ehmm, semuanya suka wawancara."
"Mereka belum kenal kamu, ya wajar'kan begitu. Kenapa, tidak betah di sini?"
"Tahu ah!"
"Kok jawabnya begitu?"
"Kalau aku tidak betah, aku juga harus ke mana? Aku ini gadis yang tesersat di rimba ibukota!"
"Tersesat, Lili! Nah ini kamarmu." Revano membuka pintu salah satu kamar.
Asma masuk, ia melewati Revano yang membukakan pintu.
"Kamu bawa pakaian ganti tidak?"
"Tidak, pakaianku banyak di rumah paman, jadi aku pikir, aku tidak perlu membawa pakaian," jawaban bernada kekanak-kanakan Asma membuat Revano menghembuskan napasnya.
"Kalau begitu, nanti kamu harus membeli pakaian untuk ganti. Aku tidak suka berada di dekat orang yang tidak menjaga kebersihan, paham!"
"Ehmm, aku bawa uang tidak ya?"
Asma mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Dibuka dompetnya.
"Cuma segini!" ia mengacungkan dua lembar uang seratus ribu.
Kemudian ia mencari-cari sesuatu di dalam dompetnya.
"Kartu ATM ku ketinggalan juga, bagaimana?" Air mata berjatuhan di pipi putihnya yang memerah.
"Memangnya kamu cuma punya satu kartu ATM?"
"Iya," kepala Asma mengangguk.
"Orang tuamu sangat kaya'kan, masa cuma punya satu kartu ATM?"
"Memangnya kenapa? Dosa ya kalau cuma punya satu kartu ATM? Aku belum pernah mendengar ada Ustadz.... "
"Ya, ya. Biar nanti aku yang membelikan kamu pakaian. Ingat ya, itu hutang yang harus kamu bayar!" Revano ke luar dari dalam kamar, pintu ia tutup. Asma menatapnya dengan menggerutu.
"Sejak kapan punya kartu ATM satu itu berdosa, aneh. Dasar raksasa Buto Ijo!"
BEESAMBUNG