Southville memang bukan sebuah kota besar. Southville hanyalah sebuah kota kecil. Tetapi penduduknya ramah-ramah, seluruh penduduk juga sudah saling mengenal satu sama lain. Membuat mereka sangat akrab bak sebuah keluar yang teramat besar. Southville dipimpin oleh seorang Sherif yang bernama Bernard Houston. Sherif Houston merupakan Sherif yang sangat ramah. Semua penduduk menyukainya. Southville aman berada di bawah pengawasannya.
Sore itu, cuaca Southville tidak secerah biasanya, tidak juga mendung. Matahari hanya lebih banyak tertutup awan. Alicia Samantha Jones berdiri menyender di bawah pohon di satu-satunya bukit yang berada di Southville. Bukit itu adalah tempat favoritnya di kota. Juga tempat ia biasa menunggu Adam sepulang pemuda itu bekerja. Adam Joseph Wayne adalah kekasihnya. Pemuda berusia dua puluh tahun itu bekerja sebagai pelayan di sebuah kedai makanan cepat saji di kota mereka.
Menurut Alicia, Adam pemuda yang hebat. Selain tampan tentu saja. Rambut pirang dan mata biru yang berkilau kala tertiup angin. Alis tebal, bibir merah alami. Adam bukan perokok, pemuda itu sangat menjauhi segala hal yang berbau rokok dan minuman keras. Adam pernah berkata kalau semua itu tidak baik untuk kesehatan tubuh. Adam juga rajin berolahraga, karenanya Adam memiliki tubuh yang proporsional. Seperti tubuh seorang model.
Sebuah kecupan di pipi mengagetkan Alicia, meski tak membuat gadis cantik itu terpekik. Alicia sudah tahu siap yang mengecup pipinya. Siapa lagi kalau bukan Adam. Alicia memutar tubuh, senyum mengembang di bibir mungilnya yang merah alami. Adam berdiri tepat di belakangnya. Senyum serupa terpatri di bibir pemuda itu.
"Hai," sapa Adam lebih dulu. "Sudah lama menungguku?" tanyanya.
Alicia menggeleng manis. "Belum lama, baru beberapa menit yang lalu aku tiba," jawab gadis itu.
Alicia berusia delapan belas tahun. Gadis itu tinggal bersama Bibinya yang masih berusia di kisaran tiga puluhan. Adam sangat mengagumi Alicia yang sejak kecil sangat giat membantu Bibinya dalam mengelola toko bunga mereka. Alicia juga sangat manis, mata birunya selalu bersinar ceria seolah selalu tersenyum. Rambut pirangnya yang lurus akan bergerak-gerak ketika gadis itu berjalan. Bibir mungil yang berwarna merah alami, serasi dengan hidung mancung dan pipi yang selalu merona. Alicia benar-benar wujud nyata sebuah boneka porselen.
Adam mengangguk. Memeluk tubuh mungil Alicia dan kembali mendaratkan kecupan di pipinya yang merona.
"Aku sangat rindu padamu," bisik Adam menyurukkan kepala di bahu Alicia, menghirup aroma strawberry manis yang menguar dari leher gadis itu.
Pipi Alicia makin merona. Perlahan kedua tangannya terulur membalas memeluk pinggang Adam. Sungguh, Adam nyaris seperti raksasa bagi Alicia yang bertubuh mungil. Tingginya hanya sebatas d**a Adam. Alicia harus berjingkat kalau ingin memeluk leher pemuda itu.
"Apa kau juga rindu padaku?" tanya Adam masih di bahu Alicia.
"Hum." Hanya itu yang dikatakan Alicia sebagai jawaban. Gadis itu mengangguk. Ia memang merindukan Adam. Beberapa hari mereka tidak bertemu. Adam sangat sibuk, kedai tempatnya bekerja lebih ramai dari biasanya. Sepertinya ada tamu dari kota besar yang datang.
"Maaf, kita baru bisa bertemu sekarang."
Suara Adam terdengar menyesal. Padahal bagi Alicia tidak perlu, ia paham pekerjaan Adam. Ia juga bangga, meskipun hanya bekerja sebagai pelayan, Adam sangat profesional.
"Tidak apa-apa." Alicia menggeleng, semakin membenamkan wajahnya di d**a Adam. Alicia sangat menyukai wangi maskulin perpaduan kayu manis, citrus dan hutan cemara dari tubuh Adam. Wangi itu selalu membuatnya nyaman dan merasa aman. "Aku mengerti kalau kau sibuk."
Adam mengeratkan pelukannya, menenggelamkan tubuh mungil Alicia dalam rengkuhan kedua lengan berototnya. Adam sangat beruntung memiliki Alicia sebagai kekasihnya. Hubungan mereka sudah berjalan hampir tiga tahun, terhitung sejak pertengahan semester tahun terakhirnya di sekolah menengah atas. Alicia yang merupakan murid baru terlihat sangat bersinar kala itu. Adam dan beberapa pemuda langsung terpesona pada wajah bonekanya. Dan dari sekian banyak pemuda yang mendekati Alicia, Adam yang berhasil memenangkan hatinya.
Joanna Jones, bibi Alicia, sudah merestui hubungan mereka. Joanna sangat baik padanya, Adam sudah menganggap Joanna sebagai bibinya sendiri. Adam sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Ia tinggal seorang diri sejak kecelakaan yang menewaskan kedua orangtuanya beberapa tahun lalu. Untuk menghidupi dirinya, Adam bekerja di sebuah restoran cepat saji di kota mereka. Dari pekerja part time dampai menjadi pekerja full time seperti sekarang ini. Adam cukup bida berbangga diri, dari hasil bekerjanya ia dapat membiayai sekolahnya sampai tamat. Ia juga memiliki rekening di bank kota.
"Terima kasih, Alicia, aku memang sangat sibuk." Adam mengurai pelukan. Mata birunya yang tajam mengawasi wajah Alicia yang terlihat sedikit pucat. Apakah Alicia sakit? "Kau tidak apa-apa, Alicia?" tanya Adam cemas. "Apa kau sakit?"
Alicia menggeleng. "Aku tidak apa-apa," jawabnya dengan senyum yang selalu menghiasi bibir mungilnya yang kemerahan. "Tadi aku merasa kurang enak badan saja. Kalau istirahat pasti sembuh."
"Kau yakin?" tanya Adam ragu. Ia tak ingin terjadi apa-apa pada gadisnya.
Alicia mengangguk manis, semanis senyum yang selalu menghiasi bibirnya.
Adam mengusap wajah. Senyum manis itu adalah obat lelahnya, karenanya ia selalu meminta untuk bertemu sepulang bekerja. Untuk pertemuan mereka tidak selalu di satu tempat bukit ini saja, kadang mereka juga berjanji di tempat lain seperti taman atau balai kota. Tapi lebih sering di sini, bukit ini adalah tempat favorit Alicia. Menurut Alicia, sejak kecil ia biasa bermain di sini. Tak peduli mau seorang diri atau dengan siapa pun, Alicia kecil selalu datang ke bukit ini untuk bermain.
Sementara Adam yang merupakan penduduk pendatang, baru mengetahui keindahan bukit ini setelah berpacaran dengan Alicia. Adam tidak menyangka, kalau di kota kecil ini ada sebuah bukit kecil. Selama lebih dari sepuluh tahun ia menetap di kota ini, ia baru menapakkan kaki di bukit ini pertama kali saat pergi berkencan pertama dengan Alicia. Gadis itu benar, pemandangan dari bukit sangat indah. Seluruh kota terlihat dari ketinggian bukit ini.
"Apa kau mau pulang sekarang?" tanya Adam. Sungguh, ia sangat khawatir dengan kondisi Alicia yang kurang sehat.
Alicia memang keras kepala. Gadis itu akan melakukan setiap perkataannya. Mereka memang berjanji untuk bertemu hari ini. Tapi kan Alicia bisa membatalkannya kalau memang merasa kurang sehat. Adam tidak ingin gadisnya sakit setelah ini. Bukan hal yang menyenangkan melihat orang yang kau cintai sakit.
Adam membingkai wajah Alicia dengan sepasang tangannya. Mengusap pipi mulus Alicia yang selalu mengundang sebuah kecupan dengan ibu jarinya. Adam membungkukkan badan.
"Aku tidak ingin kau sakit," desis Adam di depan bibir Alicia sebelum mengecup bibir mungil itu.
Adam melumat bibir Alicia beberapa saat, mengisap bibir itu kuat begitu Alicia menggerakkan bibir untuk membalas ciumannya.
"Kau harus selalu sehat, agar aku tidak khawatir," ucap Adam lirih setelah ciuman mereka berakhir.
Alicia mengangguk. Gadis itu masih mengatur napasnya yang tersengal. Ciuman Adam kali ini sedikit lebih menuntut dari biasanya. Juga lebih panas. Mungkin karena mereka baru bertemu setelah beberapa hari.
Adam mengajak Alicia duduk di bawah pohon. Ia tak ingin Alicia lelah. Bukit ini ditumbuhi rumput yang tebal. Melihatnya dari jauh seolah melihat hamparan permadani hijau yang dihiasi bunga-bunga liar aneka warna. Adam membiarkan Alicia berbaring di rerumputan, menggunakan sebelah pahanya sebagai bantalan. Sedangkan kaki yang sebelahnya ditekuk Adam.
Alicia memejamkan mata. Ia memang merasa kurang enak badan sejak tadi siang, tapi tetap memaksakan diri untuk ke bukit ini. Ia tidak ingin mengingkari janji pada Adam yang mereka buat sejak dua hari yang lalu. Ia sangat merindukan Adam dan ingin bertemu.
"Maaf, aku sangat sibuk beberapa hari ini."
Perkataan Adam membuat Alicia membuka mata. Kelelahan tampak di wajah tampan itu. Sebelah tangan Alicia terangkat, mengusap pipi Adam yang sedikit kasar. Sepertinya Adam memang sangat sibuk sampai lupa bercukur. Adam mengatakan kalau pemuda itu selalu bekerja sampai malam beberapa hari ini, itu sebabnya mereka baru bisa bertemu sekarang.
Adam menangkap tangan Alicia yang mengusap pipinya, membawa tangan itu ke mulut dan mengecupnya hangat. Lama Adam memainkan jari-jari Alicia di bibirnya, sampai telinganya menangkap lenguhan gadis itu. Adam tersenyum, menarik Alicia duduk, kembali menyatukan bibir mereka.
***
Adam memarkirkan motornya di pekarangan rumah mungil yang sangat asri. Bunga-bunga menghiasi pekarangan yang tidak seberapa besar. Pekarangan rumah Joanna Jones.
Alicia turun lebih dulu dari atas motor. Menarik tangan Adam masuk ke dalam rumah untuk bertemu dengan Bibi Jo.
"Aku pulang, Bi!" seru Alicia begitu melewati pintu yang tidak terkunci.
Bibi Jo memang selalu tidak pernah mengunci pintu sebelum tidur. Menurutnya tidak perlu, Bibi Jo tidak ingin repot membukakan pintu untuk tamu mungkin saja akan datang berkunjung. Tapi, mana ada tamu yang berkunjung malam-malam. Kecuali Adam. Itu pun kalau mereka berjanji untuk makan malam di rumah.
Menurut Alicia, kebiasaan Bibi Jo yang tidak mengunci pintu sangat buruk. Bagaimana kalau ada orang jahat yang memasuki rumah mereka? Tapi dasar Bibi Jo keras kepala, perempuan berusia di akhir tiga puluh itu tak pernah mengindahkan perkataannya. Alicia gemas sendiri di buatnya.
"Bibi Jo!" Alicia berseru sekali lagi karena tak terdengar jawaban dari Bibi Jo.
Dan Alicia menemukan perempuan itu di dapur. Bibi Jo sedang membuat kue pie. Sepertinya Bibi Jo sangat berkonsentrasi pada adonan kuenya sehingga tidak mendengar seruannya tadi. Mungkin karena Bibi Jo tak ingin kuenya kali ini gagal lagi seperti kue-kue sebelumnya.
"Pie lagi?" tanya Alicia melihat Bibi Jo yang menusuk-nusuk adonan yang telah rapi dicetakan.
Bibi Jo mengangkat kepala mendengar suara keponakannya.
"Oh hai, Alicia, kapan kau pulang?" tanyanya sedikit terkejut. Tangannya masih menusuk-nusuk adonan pie menggunakan garpu.
"Baru saja," sahut Alicia. Gadis itu melangkah ke wastafel untuk mencuci tangan. "Aku bersama Adam. Bibi tidak keberatan kalau Adam makan malam di sini kan? Karena aku sudah mengundangnya.
Jo tersenyum, tentu saja ia tidak pernah keberatan. Bertambahnya satu orang di meja makan mereka adalah hal yang menyenangkan. Apalagi Adam sudah lama tidak berkunjung.
"Tentu saja tidak. Sekarang, mana pemuda itu? Katamu tadi kau bersamanya." Jo memasukkan adonan kue ke dalam oven, bertepatan dengan kemunculan Adam di pintu dapur.
"Halo, Bibi Jo," sapa Adam ramah. "Selamat malam." Adam mendekat ke arah perempuan cantik itu, mencium pipinya.
"Selamat malam, Tampan. Senang akhirnya makam ini kau bisa bergabung lagi."
Setelah meletakkan kantong kertas berisi bahan makanan yang tadi ia dan Alicia beli di toko Mr. Rody di meja watafel, Adam menghampiri Alicia yang sibuk menata meja makan. Adam melingkarkan lengan di perut Alicia, memeluk gadis itu dari belakang.
"Ada yang bisa kubantu, Cantik?" tanya Adam menciym pipi Alicia.
Alicia menoleh, membalas mengecup bibir Adam sekilas. Setelahnya kembali pada kegiatannya.
"Kurasa tidak perlu, aku sudah selesai," ucap Alicia setelah meletakkan daging panggang di tengah-tengah meja. Mereka akan makan daging panggang dan sup malam ini.
Adam memutar tubuh Alicia mendengar perkataan gadis itu. "Jadi kau tidak perlu bantuanmu, hm?" tanya Adam seduktif di telinga Alicia dengan menggigit daun telinga gadis itu.
Alicia tertawa kecil, menggelengkan kepalanya menghindari ciuman Adam di leher dan seluruh wajahnya.
"Ayolah, Sayang. Beri aku sebuah sebuah ciuman."
Alicia makin terkikik geli mendengar perkataan Adam. Menurutnya Adam terdengar seperti seorang m***m yang sedang menggoda gadis polos untuk diajak berhubungan intim. Alicia tetap menggeleng.
"Kau sungguh tidak mau menciummu?" tanya Adam dengan bibir mengerucut. Pemuda itu mengeluarkan jurus terakhirnya.
Adam berhasil. Alicia berhenti tertawa dan menggelengkan kepala. Alicia membingkai pipi Adam dengan kedua tangannya. Berjingkat untuk menyentuh bibir Adam.
Adam yang sudah tidak sabar langsung menyambar bibir mungil itu. Melumatnya rakus sampai Alicia merasa Adam sedang memakan bibirnya.
Jo menoleh karena tak mendengar lagi suara berisik kedua anak muda di belakangnya. Perempuan itu berdecak dan menggeleng pelan. Anak muda dan nafsu mereka yang gila.
"Dengar, Anak-anaknya, aku tidak masalah kalian berciuman di depanku. Hanya saja jangan lakukan di dekat meja makanku, kalian bisa merusak tatanannya."
Alicia dan Adam segera melepaskan ciuman mereka. Adam mengusap tengkuk, sementara Alicia tertunduk dengan pipi yang sudah Semerah tomat.
"Lagipula sekarang sudah waktunya makan malam. Kalian bisa melanjutkannya nanti setelah selesai makan."
Tanpa memedulikan kedua remaja itu, Jo menghampiri meja makan dan duduk di salah satu kursinya. Sungguh, ia tidak marah. Ia tidak pernah membatasi Alicia, karena ia yakin kalau keponakannya tidak akan mengkhianati kepercayaannya. Ia juga pernah muda seperti mereka.
"Duduklah, kita makan dulu." Jo menggerakkan tangannya naik-turun meminta Alicia dan Adam duduk. "Aku sudah sangat lapar, Anak-anak. Aku sudah tua, tidak muda lagi seperti kalian yang hanya kenyang dengan memakan bibir satu sama lain."
Pipi Alicia makin memerah mendengarnya. Ia tahu Bibi Jo hanya bercanda. Tapi tetap saja rasanya sangat memalukan berciuman ketahuan Bibimu.
Adam dapat lebih menguasai keadaan. Pemuda itu tampak tak terganggu meskipun sudah kepergok, Adam tetap dapat makan dengan tenang. Bahkan sesekali bercanda dan tertawa menanggapi candaan Bibi Jo. Hanya Alicia yang tampak kikuk. Sampai acara makan malam mereka selesai dan Adam pamit pulang. Pemuda itu perlu beristirahat, besok Adam harus bekerja lagi.
Alicia mengantarkannya sampai teras. Tapi Adam tak membiarkan Alicia masuk kembali ke rumah begitu saja. Adam kembali menciumi bibir gadisnya sampai bibir mungil itu membengkak.