Bab 14

2117 Kata
"Kau harus membiarkan Adam mengejar apa yang ia inginkan." Bibi Jo tersenyum. Mengambik tangan Alicia dan menggenggamnya. "Kau hanya harus memberikan kepercayaan padanya. Dan harus yakin kalau ia akan menjaga kepercayaan yang kau berikan itu." Alicia menatap Bibi Jo dengan mata yang berkaca-kaca. . . . . . Kedua tangannya meremas tangan Bibi Jo kuat. Sangat kentara kalau ia sedang dalam pergolakan bathin yang hebat. Bibi Jo mengusap rambut Alicia. "Kau yang harus mendukung Adam dibarisan paling depan. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain dirimu. Bibi yakin, ini juga tidak mudah bagi Adam. Kalian berdua sudah sangat bergantung kepada satu dan yang lainnya." Bibi Jo menepuk tangan Alicia yang meremas tangannya. "Dewasa lah, Nak. Jangan terus menggantungkan hidupmu pada orang lain. Karena belum tentu orang itu akan selalu berada di sisimu." Air mata Alicia perlahan turun mengaliri pipi mulusnya. Ia tak percaya kalau Bibi Jo membenarkan keputusannya. Padahal ia tadi sudah mengatakan kalau hatinya tidak sejalan dengan apa yang dikatakannya itu. "Jangan menjadi egois. Karena itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri." Perkataan Bibi Jo yang sebenarnya adalah nasihat itu sangat mengena di hati Alicia. Gadis itu menundukkan kepala lebih dalam, menatap kedua tangannya yang saling meremas semakin kuat. Alicia juga menggigit bibir menahan air matanya yang sangat ingin tumpah. Sampai-sampai gadis itu terbatuk karena menahan isak. Bibi Jo mengusap pucuk kepala Alicia. Ia mengerti bagaimana perasaan keponakannya. Tetapi ini kenyataannya. Keputusan Alicia mendukung Adam dengan menyutujui keinginan pemuda itu untuk menerima tawaran menjadi model sudah tepat. Alicia harus menghentikan kebiasaan buruknya yang selalu bergantung pada Adam. "Karena ini kah kau menangis malam itu?" tanya Bibi Jo lembut. Selembut usapannya yang tidak berhenti pada pucuk kepala pirang Alicia. Alicia tidak menjawab, tidak juga mengangguk. Gadis itu sudah terisak sekarang. Jujur, ia sangat kecewa dengan Bibi Jo yang ternyata malah mendukung keputusan Adam untuk meninggalkan kota. Ia tadinya berharap Bibi Jo mendukungnya dengan mengatakan kalau ia salah dan harus menuruti kata hatinya. Ia ingin Bibi Jo membenarkan kata hatinya yang tidak ingin Adam meninggalkan kota mereka. Ia perlu dukungan untuk membenarkan apa yang dikatakan hatinya, agar Adam tetap di kota mereka dan melupakan niat untuk pergi ke LA. Bukan sebaliknya. Kalau tahu Bibi Jo akan mendukung Adam, lebih baik ia tidak berbicara dengannya saja tadi. Kebungkaman Alicia merupakan jawaban atas pertanyaan Joanna. Dan jawabannya adalah iya. Alicia menangisi Adam yang memutuskan untuk bekerja di LA. Joanna mengembuskan napas. Alicia harus bisa melepaskan Adam. Melepaskan bukan artian memutuskan hubungan mereka, melainkan melepas Adam untuk bekerja di luar kota mereka. Lagipula, ia takut kalau Adam akan kenapa-kenapa bila pura itu terus menekan keinginannya hanya untuk menuruti keinginan Alicia. "Sayang, dengarkan Bibi." Bibi Jo menyentuh dagu Alicia dan mengangkat kepala gadis itu agar Alicia menatapnya. Alicia harus mengerti. Sudah terlalu lama ia membiarkan keponakannya menjadi gadis yang egois karena Adam selalu menuruti semua keinginannya. Sepertinya sekaranglah waktunya ia membuka mata Alicia dan menyadarkan gadis itu akan sikapnya. "Kalau kau tidak menyetujui keinginan Adam, hanya ada dua pilihan." Mata Alicia menatap Bibi Jo bingung. "Pertama, Adam akan nekat pergi tanpa memberitahumu." Alicia menggigit bibir, ia tidak mau itu terjadi. "Dan kedua, ini yang paling tak ingin Bibi harapkan." Kalau ada orang yang pandai memutarbalikkan perasaan seseorang, Bibi Jo lah orangnya. Alicia tahu betul akan hal itu. Sampai-sampai Alicia sempat berpikir lebih baik Bibi Jo membuka praktek psikiater daripada berjualan bunga. "Adam akan tetap di sini menuruti keinginanmu, tetapi jiwanya berada di LA. Lama-kelamaan karena keinginan itu masih ada Adam bisa depresi karena terlalu memikirkannya." Mata biru Alicia kembali melebar. Ia tidak ingin Adam kenapa-kenapa apalagi sampai depresi. Alicia menggeleng kuat, kedua tangannya menutupi telinga. "Aku tidak mau itu terjadi, Bibi!" serunya parau. Alicia terus menggelengkan kepala. Air matanya bercucuran. Membayangkan Adam yang menderita depresi sangat menyakitkan, apalagi itu disebabkan karena Adam menuruti keinginannya. Bibi Jo mengusap pucuk kepala Alicia penuh kelembutan. Ia tidak bermaksud membuat keponakannya tertekan. Ia hanya ingin Alicia mengetahui akibat dari orang yang memendam keinginannya hanya untuk menyenangkan orang lain. "Maka dari itu Bibi bilang kau sudah mengambil keputusan yang tepat dengan membiarkan Adam meraih apa yang diinginkannya." Bibi Jo memeluk Alicia, menepuk-nepuk punggung penuh sayang. "Kau hanya perlu mendukung dan memberikan kepercayaan padanya." Alicia mengangguk lemah di bahu Bibi Jo. "Apakah kau tahu, kurasa kalaupun kau bertanya kepada orang lain, mereka juga akan mengatakan hal yang sama dengan yang baru saja aku katakan." Iyakah? tanya Alicia dalam hari. Benarkah apa yang dikatakan Bibi Jo? Kalau orang-orang akan lebih mendukung Adam daripada memihaknya. Kalau memang benar seperti itu, apakah itu artinya ia benar-benar seorang yang egois? Alicia mengerjap, menatap Bibi Jo dengan tatapan bertanya. "Apakah kalau bertanya pada Paul, ia juga akan mengatakan hal yang sama dengan yang Bibi katakan?" Bibi Jo mengangguk. Senyum manis dan lembut menghiasi bibirnya yang dipoles pemerah bibir berwarna mawar. "Benarkah?" tanya Alicia masih belum yakin. Bibi Jo kembali mengangguk. "Tanyakan saja." Alicia menggigit bibir, tapi tetap saja dua bulir bening kembali menuruni lembah pipinya. Gadis itu menggeleng. Tadi ia memang berniat untuk membicarakan hal ini pada Paul juga, tetapi mendengar perkataan Bibi Jo, ia mengurungkan niatnya itu. Sekarang, meskipun hatinya tidak menerima, ia akan tetap mendukung keinginan Adam. "Aku tidak akan meminta pendapat pada siapa-siapa lagi," sahutnya. "Percuma saja meminta pendapat mereka kalau akhirnya mereka mendukung Adam." Bibi Jo mengukir senyum lagi. "Keputusan yang tepat, Nak. Seperti yang Bibi bilang, taruhlah kepercayaan dan dukunganmu padanya. Dan berharaplah Adam menjaga kepercayaan itu." Alicia mengusap air mata menggunakan punggung tangannya, kemudian gadis itu mengangguk. "Aku akan mencobanya, Bibi." Bibi Jo membingkai pipi Alicia, mengusap jejak air mata yang tersisa. "Bibi bangga padamu, Sayang. Kau sudah semakin dewasa." Bibi Jo mengecup kening Alicia hangat. Alicia tersenyum. Ia tahu kalau Bibi Jo juga mendukung keputusannya. Meskipun bukan dukungan itu yang diharapkannya. Ia berharap Bibi Jo mendukung hatinya yang sampai sekarang masih mengiakan keinginan Adam dengan terpaksa. *** Patrick melirik Adam yang tampak tergesa merapikan pakaiannya. Pemuda itu selalu saja seperti itu beberapa hari terakhir ini. Apalagi setelah Alicia menyetujui keinginannya untuk menjadi model. Adam selalu cepat-cepat pulang. "Kau selalu tergesa-gesa belakangan ini," celetuk Patrick. Pemuda itu menatap Adam dengan sepasang alis berkerut. "Kenapa? Apa ada sesuatu?" Adam menoleh, kemudian menggeleng. "Tidak ada apa-apa," jawab Adam tersenyum. "Sungguh?" Ada nada curiga dalam pertanyaan Patrick. Adam jadi geli mendengarnya. Patrick terdengar seperti seorang gadis yang sedang cemburu. "Tentu saja!" Adam tertawa kecil. "Aku hanya tidak ingin Alicia menungguku terlalu lama." Patrick mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau masalah itu ia mengerti. Tentu Adam ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Alicia, mengingat mereka akan berpisah dalam waktu yang relatif lama sebentar lagi. "Sudah ya." Adam menepuk bahu Patrick pelan. "Aku duluan!" Patrick kembali mengangguk. Kali ini hanya sekali saja. Tatapannya nanar mrngawasi punggung Adam yang menghilang di balik pintu ruang ganti mereka. Patrick menghela napas panjang. Kadang ia merasa iri pada Adam. Pemuda itu begitu banyak yang mencintai, terutama Alicia. Bukan, ia bukan cemburu karena itu. Ia tidak mencintai Alicia seperti itu. Ia menyayangi Alicia seperti ia menyayangi adik kandungnya sendiri. Ia iri pada yang lain. Seperti pada keberuntungan Adam yamg ditawari untuk menjadi model. Ia juga ingin seperti itu. Tetapi mau bagaimana lagi, ia sangat sudah untuk menurunkan berat badan. Satu lagi, ia juga sangat iri dengan tubuh Adam yang proporsional. Tidak sama sepertinya yang tinggi besar. Tanpa ada otot, yang ada hanya gumpalan lemak. Patrick mengembuskan napas. Kemudian menyelesaikan mengganti pakaiannya. Ia cukup bangga pada tubuh berlemaknya, gadis-gadis juga suka pada lelaki berlemak. Menurut sebagian dari dari mereka pria dengan lemak di tubuhnya itu lucu. Dan Patrick cukup bangga dengan sebutan itu. Meskipun ia ingin gadis-gadis itu menganggapnya sexy. Patrick keluar dari ruang ganti setelah berpakaian rapi. Di restoran, ia bertemu Adam. Patrick mengernyit, dikiranya Adam sudah berada di bukit dan berdua dengan Alicia. Tidak tahu kalau Adam masih di sini. "Kukira kau sudah pulang," komentar Patrick begitu Adam berhenti tepat di sampingnya. "Yeah, aku juga berpikir seperti itu." Adam mengangguk. "Sebelum aku bertemu Mr. Hulk dan berinisiatif untuk bicara padanya sekarang tentang rencanaku untuk mengundurkan diri." "Lalu? Bagaimana reaksi Mr. Hulk? Apa ia menyetujuinya?" tanya Patrick penasaran. Bagaimanapun ia tahu kalau Adam adalah karyawan kesayangan Mr. Hulk. "Yeah, begitulah." Adam mengangkat bahu. Kemudian melangkahkan kaki menuju pintu. Ia akan pulang. "Begitu bagaimana?" cecar Patrick. Pemuda itu mengejar Adam. Sungguh, ia sangat penasaran. Adam sangat menyebalkan bagi Patrick beberapa hari terakhir ini. Pemuda itu tidak mau lagi berbagi padanya. Padahal dulu Adam selalu menceritakan semuanya. Di pelataran parkir Adam menghentikan langkah. Pemuda itu menunggu Patrick yang masih berada di belakangnya. "Apa Mr. Hulk menyetujui pengunduran dirimu?" Adam yakin Patrick tidak akan menyerah untuk bertanya sebelum ia mendapatkan jawabannya. Karena itu Adam berhenti, ia berniat untuk menceritakan semuanya pada Patrick. Ia tidak akan menemui Alicia hari ini, tadi Adam sudah mengirimkan pesan pada gadis itu. Beruntung Alicia belum pergi ke bukit. Mereka bisa bertemu besok di toko bunga. Ia akan berhenti bekerja mulai besok. Adam menatap Patrick dengan tatapan sedikit kecewa. Pemuda itu menghela napas kemudian tersenyum lebar. "Menurutmu bagaimana?" Adam balik bertanya. Patrick memukul bahu lebar itu kuat. Ia kesal, Adam mengerjainya. Ia sudah harap-harap cemas tadi. Jantungnya berdetak kencang. Ia mengira kalau bos mereka tidak menyetujui pengunduran diri Adam. Ternyata sebaliknya. "Sialan!" maki Patrick dengan bibir mungilnya yang mengerucut. "Aku kira Mr. Hulk tidak menyetujuinya." Adam tertawa lumayan keras, membuat orang-orang yang lewat menengok ke arah mereka. Tapi Adam tak peduli, ia terus saja tertawa. Puas rasanya bisa mengerjai Patrick yang selalu ingin tahu. "Besok aku sudah tidak bekerja lagi," ucap Adam setelah tawanya reda. Pemuda itu duduk di sadel motornya. "Aku hanya akan mengantarkan surat pengunduran diriku saja besok." Patrick mengangguk. Wajahnya yang cemberut tampak sedih. "Aku akan merindukanmu, kawan," sahutnya lirih. "Aku juga akan merindukanmu," balas Adam. "Terutama saat aku sudah berada di LA nanti." "Jangan melupakanku kalau kau sudah mendapatkan kesuksesan seperti yang kau impikan," pinta Patrick. Adam menggeleng. "Tidak akan!" janjinya. "Kalian semua yang ada di sini adalah keluargaku. Aku tidak akan melupakan kalian di mana pun aku berada." "Kupegang kata-katamu!" seru Patrick. Adam mengangguk. Pemuda itu menundukkan kepalanya sedetik. Menghela napas dan kembali mengangkat kepala. "Apa kau tahu, sesungguhnya aku juga sangat berat melakukan ini." Adam mengembuskan napas. "Benar-benar pilihan yang sangat sulit untukku. Seandainya saja di kota ini ada pekerjaan yang lebih baik dan menghasilkan uang lebih banyak, aku tidak akan berpikir untuk meninggalkan kota." Patrick mengangguk. Di kota mereka yang masih termasuk asri tidak ada perusahaan ataupun pusat perbelanjaan mewah seperti di kota-kota besar. Di kota mereka hanya ada restoran dan bar, selain toko-toko milik penduduk asli. Yang semuanya menjajakan produk dari kota mereka sendiri. Tidak ada pembeli kalau tidak dari kota lain. Dari semua toko-toko itu yang maju hanyalah toko bunga dan toko kelontong, serta toko yang menjual bahan makanan. Tidak ada supermarket di kota mereka, yang ada hanya toko-toko kecil. Patrick juga tidak tahu kenapa tidak ada investor dari kota besar yang tertarik untuk membangun pusat perbelanjaan atau pabrik yang akan meningkatkan pendapatan kota mereka. Mungkin karena mereka belum tahu kalau kota mereka juga memiliki potensi yang tak kalah dengan kota-kota kecil lainnya. "Aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu seandainya ada yang memberiku kesempatan untuk bekerja di kota besar," sahut Patrick lamat-lamat. "Kesempatan itu tidak akan datang dua kali." Adam mengangguk. "Aku harap aku bisa mengajakmu, kawan." "Yeah, seandainya saja bisa." Patrick membuang tatapan ke arah jalanan yang lumayan lengang. Sekarang sudah sore, toko-toko sudah banyak yang tutup. Hanya beberapa yang akan menggantikan toko-toko itu. Sementara Adam menundukkan kepala. Dalam hati pemuda itu berharap ia dapat membawa serta kekasih dan sahabatnya. Atau ia akan mengajak Patrick juga nanti setelah ia sukses. Ia bisa mengajak Patrick ketika ia menjemput Alicia nanti. "Doakan saja aku cepat sukses, Patrick. Maka kau akan menginjak LA." Patrick tak percaya dengan pendengarannya. Mata bulat pemuda itu melebar. Patrick menoleh cepat menatap Adam. "Sungguh?" tanya dengan mata berbinar. Adam mengangguk. "Kau tidak bercanda kan?" Adam mengangguk lagi. "Atau kau hanya menjahili saja," tuduh Patrick asal. Adam berdecak. "Terserah kalau kau tidak percaya. Yang pasti aku akan mengajakmu bersamaku saat aku menjemput Alicia nanti." Patrick sangat terharu mendengarnya. Dadanya menghangat. Tapi kemudian pemuda itu kembali memicing teringat kalau sahabat Adam bukan hanya dirinya. "Kau hanya akan mengajakku kan?" tanya Patrick dengan mata menyipit menatap Adam. "Karena aku tidak mau berada satu mobil ataupun satu bus dengan si badan berotot itu " Adam kembali tertawa mendengar Patrick menyebut badan berotot. Pasti yang dimaksud Patrick adalah Paul. Adam menggeleng. "Aku tidak akan mengajaknya," ucap Adam. "Paul sudah mempunyai banyak uang. Ia tidak perlu bekerja di kota besar lagi." Kali ini Patrick menatap Adam dengan mata cokelatnya yang berkaca-kaca. Ia berharap Adam tidak melupakan janjinya sore ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN