"Aku setuju kau menerima tawaran dari pria kota itu."
.
.
.
.
.
Adam mengerjap mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Alicia. Benarkah apa yang baru saja didengarnya? Apakah pendengarannya tidak salah? Benarkah kalau Alicia tidak lagi menolak keinginannya untuk menerima tawaran Allan?
"A-apa?" ulang Adam tak yakin. Pemuda itu kembali mengerjap beberapa kali, bahkan kini jari kelingkingnya mengorek telinga. Tak peduli ia akan dicap jorok oleh Alicia, karena mengorek telinga di depan gadis itu. Ia hanya ingin memastikan kalau ia tidak salah dengar.
Alicia mengangguk sambil mengulum bibir. Tak dapat menyembunyikan perasaan gelinya. Padahal ia sedang menangis, tetapi rasanya ingin tertawa melihat tingkah Adam yang seperti anak kecil ketika mengetahui kalau ia sudah mengubah keputusannya.
"Kau tidak sedang bercanda kan?"
Alicia menggeleng dan menaikkan sebelah alisnya.
"Ma-maksudku, kau serius kan mengatakan itu?"
Sangat lucu mendengar Adam tergagap seperti sekarang. Alicia menggeleng lagi.
"Mungkin saja kau hanya ingin membuatku senang saja..."
"Apa maksudmu?" potong Alicia cepat dengan suaranya yang serak.
Adam cepat menggeleng. Ia takut kalau Alicia akan mengubah keputusannya.
"Tidak apa-apa," jawab pemuda itu dengan tangan mengusap tengkuk. "Aku hanya tidak percaya saja mendengarnya. Aku serasa bermimpi."
Alicia menggigit bibir sebelum berbicara. "Aku sudah memikirkannya tadi malam. Sambil menangis. Aku berpikir betapa egoisnya aku yang mengekang dirimu hanya agar kau tetap di sisiku. Seharusnya aku bisa mempercayaimu seperti kau yang juga percaya padaku."
Adam menggeleng pelan. Dadanya rasanya ingin meledak. Sungguh ia ingin melompat-lompat saking senangnya. Tetapi tentu saja itu tidak dilakukannya, Adam hanya memeluk Alicia erat dan menciumi pucuk kepala gadisnya sebagai pelampian.
"Terima kasih, Alicia," ucap Adam haru. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaanmu."
Alicia tak menjawab. Gadis itu menggigit bibir. Dalam hati sekali lagi ia berharap semoga keputusannya membiarkan Adam jauh darinya tidak salah. Alicia meremas ujung jaket Adam, rasanya ia tak dapat bernapas. Pelukan pemuda itu terlalu kuat. Atau ia yang lemah. Kaki-kakinya kembali terasa tidak bertenaga. Dan Alicia baru menyadari kalau ia belum sarapan setelah kepalanya kembali berkunang-kunang.
Adam yang tak mendengar suara dan tak merasakan pergerakan Alicia merenggangkan pelukan. Terkejut melihat wajah Alicia yang tadinya kemerahan sekarang berubah menjadi pucat.
"Alicia, kau tidak apa-apa?" tanya Adam cemas. Cepat Adam menggendong Alicia dan membawanya ke sofa. "Kau kenapa? Apa kau sakit?"
Alicia menggeleng lemah. Sungguh ia tak ingin mengatakannya, sangat memalukan baginya. Tetapi ia harus, atau ia akan pingsan saat ini juga.
"Aku.. hanya belum.. sarapan.."
Mata biru Adam membesar. Menyesali tindakan bodoh Alicia yang melupakan sarapannya.
"Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali!" ucapnya sebelum beranjak setengah berlari menuju dapur.
Adam menggerutu dalam hati. Terus memaki sifat ceroboh Alicia. Ataukah semua ini karena salahnya? Karena pertengkaran mereka kemarin sore membuat Alicia melupakan sarapannya. Lalu bagaimana dengan makan malam, apakah Alicia makan malam tadi malam?
Adam kembali ke hadapan Alicia dengan semangkuk sereal di tangannya dan segelas s**u hangat. Adam menyodorkan s**u ke tangan Alicia, meminta gadis itu untuk meminumnya.
Alicia hanya meminum susunya dua tegukan. Gadis itu mengembalikan gelas s**u ke tangan Adam, yang segera diletakkan Adam di meja di depan mereka. Setelah itu barulah Adam menyuapi Alicia dengan sereal yang tadi dibawanya.
Mata Alicia kembali berkaca-kaca melihat Adam yang terlalu perhatian padanya. Ini adalah salah satu alasan kenapa Alicia tidak membiarkan Adam pergi jauh darinya. Tak ada yang lebih perhatian padanya selain Adam. Pemuda itu bahkan terkadang melupakan kebutuhannya sendiri hanya untuk Alicia.
"Kau tidak bekerja hari ini?" tanya Alicia serak. Gadis itu menegakkan tubuh, berusaha mengusap air mata di sudut matanya yang sudah didahului Adam.
Adam menggeleng. Senyum mengembang di bibirnya yang sedikit pucat. Dan Alicia baru menyadari hal itu. Alicia mengangkat tangannya yang gemetar untuk menyentuh bibir Adam.
"Bibirmu pucat," komentar Alicia lemah.
Adam mengangguk mengiyakan. Padahal ia tidak tahu akan hal itu. Ia baru sadar saat Alicia mengatakannya.
"Apa kau sakit?" tanya Alicia dengan raut wajah yang menunjukkan kekhawatiran. "Kau tidak boleh sakit. Harus baik-baik saja."
Adam tersenyum. "Aku baik-baik saja, hanya perlu istirahat dan aku akan kembali seperti sedia kala." Adam kembali menyuapkan sesendok sereal ke mulut Alicia. "Kau yang harus istirahat. Katakan padaku, apa kau tidak makan malam tadi malam? Apa kau terus menangis saja dan melupakan makan malammu?"
Alicia meringis. Gadis itu tak berani menjawab. Ia tahu Adam akan memarahinya setiap kali ia tidak atau lupa untuk makan. Adam tidak ingin ia mengabaikan dirinya.
"Jangan lakukan itu lagi!" geram Adam dengan intonasi tertahan.
Alicia mengangguk manis. "Jangan marah padaku lagi," pintanya memelas. "Aku sangat takut saat kau marah. Aku bahkan berpikir kau sudah pergi dari kota karena ponselmu tidak aktif."
Adam terdiam, menatap Alicia lekat. Benarkah ponselnya tidak aktif? Bukankah ia tidak pernah mematikan ponsel kecuali ia lupa mengisi daya ponsel sehingga ponselnya mati kehabisan daya. Dan sekarang di mana letak ponselnya pun ia tidak ingat.
"Astaga!" Adam memukul dahinya pelan. "Di mana aku meletakkan ponselku?" tanyanya dengan kepalaenoleh ke kanandan ke kiri mencari keberadaan ponselnya.
"Huh?" Alis Alicia mengernyit. "Kau tidak tahu di mana ponselmu berada?" tanyanya bingung.
Adam yang sedang mondar-mandir mencari ponselnya menoleh, kemudian mengangguk melihat sinar bertanya di mata Alicia.
"Aku tidak ingat di mana meletakkannya tadi malam. Aku sedikit mabuk saat pulang dari bar..."
Perkataan Adam terhenti dengan sendirinya. Pemuda itu baru sadar ia baru saja keceplosan. Sepertinya masalahnya akan semakin bertambah setelah ini, Alicia menatapnya dengan tatapan membunuh.
***
"Kau sudah menghubungi Mr. Hulk dan mengatakan kau tidak bekerja hari ini?" tanya Alicia. Gadis itu duduk di kursi meja makan Adam yang berada di dapur pemuda itu.
Adam hanya mengangguk. Ia terlalu sibuk dengan sup jagungnya untuk menjawab. Setelah beberapa jam mencari, Adam yang dibantu Alicia akhirnya menemukan ponselnya di atas lemari pendingin di dapurnya. Adam langsung menghubungi Mr. Hulk dan meminta izin untuk tidak bekerja hari ini. Ia tidak ingin meninggalkan Alicia yang sedang tidak enak badan.
Itu bukan alasan Adam semata. Alicia memang mengeluh sakit di kepalanya. Hampir semalaman menangisembuat kepala Alicia masih berdenyut meskipun tidak sesakit tadi pagi. Adam juga merasa kurang enak badan. Meminum alkohol untuk pertama kali ternyata sangat bersefek pada tubuhnya. Adam berjanji pada Alicia yang tadi memarahinya dan pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan menyentuh minuman itu lagi.
Dengan gerakan tangannya Adam meminta Alicia untuk mendekat padanya. Adam memberikan sendok sup ke tangan Alicia, meminta gadis itu untuk mencicipi masakannya.
"Bagaimana menurutmu? Apa masih ada yang kurang?" tanya pemuda itu. Wajahnya terlihat sangat serius saat menanyakan hal itu.
Alicia mengecap-ngecapkan lidahnya, mencoba mencari kekurangan pada masakan Adam kali ini. Tapi seperti biasa, masakan Adam selalu sempurna. Mengalahkan masaknnya yang seorang perempuan.
Kadang Alicia merasa minder. Sebagai perempuan, kalau soal masakan ia masih kalah dibandingkan dengan Adam yang seorang laki-laki. Masakan Adam sangat enak dan tidak pernah gagal. Sangat berbeda dengan masakannya yang sangat sering mengalami kegagalan. Jangankan dirinya, Bibi Jo saja yang mahir memasak masih sering gagal. Tetapi kenap Adam tidak?
"Rasanya enak seperti biasanya," komentar Alicia meletakkan sendok di meja dapur di dekatnya.
Adam mengangguk. Kembali fokus pada masakannya yang sudah hampir matang. Adam menoleh ke belakang, di mana Alicia meletakkan pipi di punggungnya. Tangan gadis itu melingkari perutnya.
"Kau sudah lapar?" tanya Adam.
Alicia tidak menjawab, gadis itu hanya mengangguk.
Adam mengusap lengan yang melingkar di perutnya itu lembut. "Tunggu sebentar lagi ya?" pintanya.
Sebenarnya untuk urusan memasak bukan masalah besar bagi Adam. Sudah terbiasa sendiri sejak masih berusia empat belas tahun membuatnya pandai mengolah semua bahan masakan menjadi hidangan yang lezat. Dan Adam patut bangga pada kemampuannya yang satu ini, karena untuk memasak ia bisa mengalahkan Alicia.
"Apa masih lama? Aku sudah sangat lapar," rengek Alicia di punggung Adam.
"Sebentar lagi." Adam kembali mengusap lengan di perutnya itu. "Kau duduk saja dulu. Aku akan menyiapkannya."
Alicia tak menyahut, tak juga mengangguk. Gadis itu langsung menjauh dan duduk di kursi yang tadi didudukinya seperti perintah Adam. Menunggu Adam membawa masakannya ke hadapannya. Kadang Alicia merasa Adam cocok menjadi seorang koki. Masakan Adam tak kalah dengan koki dari restoran di pusat kota. Seandainya saja Adam mau bersaing dengan membuka restoran atau sekedar cafe kecil, mungkin Adam akan suskses dan tetap berada di kota ini. Tetapi, sekali lagi, Adam tak menginginkannya. Pemuda itu lebih memilih untuk bekerja di kota besar.
Alicia mengembuskan napas pelan. Tersenyum begitu Adam membawakan semangkuk sup jagung ke hadapannya. Makan siang mereka sedikit aneh saat ini, karena hanya ada jagung dan bahan pembuat sup lainnya di lemari pendingin pemuda itu. Adam belum sempat berbelanja.
"Kau mau aku menyuapimu?" tanya Adam sambil duduk di depan Alicia.
Alicia mengangguk cepat. Gadis tersenyum lebar sampai-sampai mata birunya terlihat mengecil seperti sebuah garis. Adam yang gemas langsung mencubit pipi chubby yang semakin terlihat menggembung itu.
"Kau harus makan banyak-banyak. Aku tidak ingin kau sakit. Ya?"
Alicia mengangguk lagi. "Aku mau makan asal kau selalu menyuapiku," sahutnya sebelum menyuap satu sendok sup yang disodorkan Adam.
Adam tersenyum kemudian tersenyum. Tentu saja ia akan melakukannya. Ia akan menyuapi Alicia sebelum pergi ke LA.
"Tentu saja," ucap Adam. Pemuda itu kembali menyodorkan satu sendok ke depan Alicia setelah melihat mulut gadis itu sudah kosong. "Omong-omong, apa kau sudah menghubungi Bibi Jo kalau kau berada di sini?"
Alicia mengangguk. "Iya," jawabnya setelah menelan semua sup di dalam mulutnya. "Bibi Jo minta kau mengantarkanku sebelum makan malam seperti biasa."
Adam tertawa kecil. Perempuan itu tidak pernah berubah. Bibi Jo perempuan yang sangat baik. Adam sudah menganggap Bibi Jo seperti Bibinya sendiri. Ia akan bicara nanti pada Bibi Jo sebelum ia pergi dan meminta perempuan itu untuk lebih menjaga Alicia selama ia belum kembali.
Begitu juga dengan Paul. Ia juga perlu bertemu dan bicara dengan Paul. Paul pasti mau menjagakan Alicia untuknya. Dan semoga saja Paul bisa menggantikan posisinya untuk sementara kalau sewaktu-waktu Alicia memerlukan sesuatu. Adam akui, Alicia memang selalu bergantung padanya. Begitu pun sebaliknya, ia juga selalu bergantung kepada gadis itu. Maka dari itu Adam merasa sngat sulit untuk meninggalkan Alicia. Bukan hanya Alicia yang mengkhawatirkan keadaannya, tetapi Adam juga. Alicia sering sekali melupakan makannya, dan Adam selalu mengingatkan. Adam berharap Paul bisa menggantikannya untuk mengingatkan Alicia agar selalu makan tepat waktu.
"Lalu, bagaimana denganmu? Apa kau sudah mengundurkan diri di restoran Mr. Hulk?" tanya Alicia.
Adam menggeleng pelan. "Belum," jawabnya. "Aku akan mengundurkan diri kalau aku sudah benar-benar diterima di tempat yang dikatakan Allan."
"Apa kau sudah menghubungi Allan itu?"
Alicia masih tidak menyukai Allan, dari nada bicaranya tampak. Adam tidak menyalahkannya. Alicia dan Allan belum pernah bertemu. Wajar kalau Alicia tidak menyukainya. Apalagi Alicia pasti berpikir kalau Allan adalah dalang yang membuat Adam ingin ke LA.
"Belum juga," jawab Adam. Pemuda itu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri pelan. "Mungkin nanti, tidak dalam waktu dekat ini. Mungkin kira-kira seminggu lagi."
Alicia kembali terlihat murung. Gadis itu menundukkan wajah dan menggigit bibir. Alicia juga menjauhkan tangan Adam yang kembali menyodorkan sendok berisi sup jagung.
"Aku sudah kenyang," tolak Alicia lirih. Entah kenapa, meskipun ia sudah memantapkan hati untuk membiarkan Adam mengejar impiannya, tetapi rasa sakit dan takut itu masih saja terasa.
Adam menyuapkan sendok itu ke mulutnya. Mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Alicia.
"Minumlah!" pinta Adam.
Alicia mengambil gelas berisi air putih itu tanpa mengangkat kepalanya. Meminumnya dengan memalingkan muka ke arah lain. Ia tak ingin menatap Adam. Ia tak ingin Adam melihatnya menangis lagi.
Tapi Adam sudah mengetahuinya. Bahu Alicia yang bergetar mengatakan semuanya. Adam mengambil gelas di mulut Alicia setelah gadis itu meminum isinya separuh. Meletakkan gelas di meja dan menarik Alicia agar gadis itu duduk di pangkuannya. Adam mengusap pipi Alicia, membingkai wajah cantik yang kembali basah itu menggunakan sepasang tangan besarnya. Yang membuat Alicia mau tak mau harus menatapnya.
"Aku mohon jangan menangis lagi," pinta Adam lirih. Pemuda itu menyatukan kening mereka dan memejamkan matanya. "Aku tidak mau kau sakit. Lagipula, kita masih mempunyai waktu beberapa hari sebelum aku benar-benar meninggalkan kota ini kan?"
Alicia tak menjawab. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya selain isak.
"Aku mohon, atau aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku nantinya."
Alicia yang sejak tadi terpejam perlahan membuka mata. Tatapan sendunya menghunjam Adam.
"Aku melakukan ini bukan semata untukku saja, tetapi juga demi kau, Alicia. Demi kita."
Alicia mengangguk. "Aku tahu," sahutnya serak. "Dan aku akan selalu mendukungmu. Aku mohon ingatlah dengan janjimu, kau akan menjemputmu kalau kau sudah berhasil nanti."
"Tentu saja, Alicia." Adam mengangguk cepat. "Tentu saja."
Dan itu bukan hanya janji semata. Adam berniat untuk memenuhi janjinya itu sebelum ia mencapai tangga kesuksesan yang diimpikannya. Agar mereka bisa menaiki tangga itu bersama-sama.