Bab 4

2039 Kata
Paul membawa Adam ke ruangannya. Mereka akan lebih leluasa berbicara di sini daripada di dalam bar. Yang pasti mereka tidak akan terganggu oleh suara bising teriakan para pengunjung bar. "Duduklah." Dengan isysrat tangannya, Paul meminta Adam untuk tidak berdiri saja. Sementara Paul juga duduk di kursi kebesarannya. "Aku rasa yang ingin kau bicarakan adalah sesuatu yang penting." Adam mengangguk setelah duduk di depan Paul. "Kurasa begitu. Karena ini juga menyangkut Alicia." Wajah tampan Paul yang ditumbuhi jambang tipis terlihat mengeras. Ia memang sahabat Adam, tetapi Alicia sudah dianggap Paul adiknya. Dan Paul tidak akan memberikan solusi bagi Adam kalau hanya akan menyakiti Alicia. "Aku dan Alicia baik-baik saja kalau kau pikir kami ada masalah," ucap Adam buru-buru melihat perubahan wajah Paul. Mereka memang bersahabat, tapi Adam yakin Paul tetap akan menghajarnya kalau sampai ia melakukan sesuatu yang bisa menyakiti Alicia. "Ini masalah pekerjaan." Paul mengembuskan napas. Merasa sedikit lega karena ia tidak perlu menghajar sahabatnya. Pemuda itu menyenderkan punggung pada senderan kursinya. "Beberapa hari yang lalu ada seorang pria pencari bakat dari LA. Dan pria itu menawariku untuk bergabung di sebuah agensi untuk menjadi model." "Dan Alicia tidak setuju. Benarkan?" tebak Paul tepat sasaran. Ia mengenal bagaimana gadis itu. Alicia tidak menginginkan terpisah jauh dari Adam. Semacam ketidakpercayaan dalam berhubungan jarak jauh. Paul tidak menyalahkan Alicia. Adam memang patut dicemburui, semua yang ada di diri pemuda itu sangat menarik. Tetapi Adam tak patut untuk dicurigai. Sebagai sahabat ia cukup mengenal Adam. Dan sejauh yang ia lihat selama ini, Adam pemuda yang setia. Banyak perempuan lain yang menggodanya, namun Adam tak berpaling dari Alicia. Adam mengangguk, kedua tangannya mengibas kacau. "Aku sedikit tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh pencari bakat itu dan mencoba untuk memikirkan tawarannya. Tetapi seperti yang kau tebak, adikmu tidak menyetujuinya." Adam menggeleng kacau. "Padahal aku belum tentu setuju tapi Alicia sudah menyatakan penolakannya atas sesuatu yang belum kuputuskan." "Mungkin dia berpikir kau akan menerimanya?" "Yeah, mungkin." Adam mengangguk lagi. "Tapi aku belum tentu menerimanya, Paul." "Tapi kau juga tertarik dengan tawaran itu." "Yeah." Lagi-lagi Adam mengangguk. "Aku memang tertarik karenanya aku memikirkannya, Paul. Tetapi untuk menerimanya aku masih belum tahu. Aku tak akan menerimanya kalau Alicia tidak menginginkan." "Meskipun kau sangat menginginkannya?" tanya Paul menyelidik. "Meskipun aku sangat menginginkannya, kalau Alicia tidak setuju aku akan menolak." "Tapi itu akan membuatmu malas dan merasa tertekan untuk melanjutkan pekerjaanmu." Adam tak menyahut. Pikirannya masih kacau. Karenanya ia ingin Paul memberikan solusi secepatnya. "Dan itu juga akan menghambatmu untuk maju," sambung Paul. "Aku tidak akan pernah maju kalau tetap berada di kota ini dan menjadi pelayan di restoran Mr. Hulk." Paul mengangguk. "Kurasa kau benar." Adam menatap Paul penuh harap. "Katakan saja keinginanmu itu pada Alicia. Berikan alasannya kenapa kau sangat ingin menerima tawaran itu." Adam menggeleng. "Aku tidak bisa," ucapnya. "Aku tidak mau menyakiti Alicia." "Kalau begitu kau diam saja, dan biarkan dirimu mati perlahan dengan keinginan yang tidak tersampaikan." Adam merebahkan kepala di meja Paul. Menjadikan kedua tangannya sebagai alas. "Beranilah, Adam! Jangan jadi pengecut yang hanya memendam keinginan." Paul berdehem. "Aku tahu keputusanmu menerima pekerjaan itu pasti akan menyakiti Alicia, tapi kalau itu untuk kebaikan kalian nanti aku pasti akan mendukungmu." Adam menggeleng. "Aku tidak berani," ucapnya lemah. "Aku tidak bisa melihat Alicia menangis." "Meskipun itu untuk kebaikan kalian?" tanya Paul. Adam menegakkan tubuh perlahan, menatap Paul dengan tatapan tidak bersemangat. Dukungan dari Paul memang sangat dibutuhkannya. Apalagi ini menyangkut dirinya dan Alicia, juga masa depan mereka. Ia ingin memberikan kehidupan yang lebih layak pada Alicia dan anak-anak mereka kelak. Tetapi melakukannya tanpa menyakiti Alicia, rasanya tidak mungkin. "Bantu aku untuk bicara padanya, Paul," pinta Adam lemah. "Aku tidak bisa melakukannya tanpa bantuanmu." Paul mengembuskan napas. Masih bingung kenapa pemuda tangguh seperti Adam tidak berani menghadapi perempuan lemah seperti Alicia. Padahal Alicia tidak akan menggigitnya. Paling Alicia hanya akan menangis. "Ayolah, Paul. Aku mohon!" pinta Adam sekali lagi. "Aku lemah pada air mata Alicia." "Aku juga tak bisa kalau dia menangis," jawab Paul. "Lalu aku harus bagaimana?" Sungguh rasanya Paul ingin tertawa melihat wajah tampan Adam tertekuk. Tapi ia tahu kondisi tak memungkinkan. Ia tak ingin disebut sahabat yang tidak mengerti perasaan sahabatnya. "Begini saja, kau bicara saja dulu dengan Alicia," ucap Paul setelah diam berpikir beberapa helaan napas. "Maksudku berbicara lebih spesifik lagi. Tapi juga hati-hati. Katakan saja apa yang kau inginkan juga alasanmu kenapa kau ingin menerima tawaran itu. Kalau dia masih tidak setuju juga, aku akan membantumu untuk memberinya pengertian setelah itu." Adam mengusap wajah kasar. Keberanian untuk mengungkapkan keinginannya itu yang tak dimilikinya sekarang. "Sebaiknya kau harus mulai mengumpulkan keberanian malam ini." Paul terkekeh mendengar perkataannya sendiri. Sementara Adam semakin terlihat tak bersemangat. "Kau mau minum sesuatu?" tawar Paul. "Akan kutraktir." Adam menggeleng cepat. Minuman beralkohol adalah minuman yang paling dihindarinya. Alkohol sangat tidak baik untuk kesehatan. Dan Paul tidak masalah dengan itu. Ia tidak akan memaksa temannya untuk menerima tawarannya. Apalagi ia tahu kalau Adam sangat tidak menyukai minuman mengandung alkohol. Alicia juga pasti akan membunuhnya kalau tahu ia mencekoki kekasihnya dengan alkohol. "Kurasa aku harus pulang sekarang." Adam berdiri. "Terima kasih atas saranmu. Kurasa aku memang harus mengumpulkan keberanianku," ucapnya sambil meringis. Paul kembali tertawa. Bukan tawa mengejek melainkan tertawa karena memang mendengar atau melihat sesuatu yang lucu. Paul juga berdiri, menepuk bahu Adam kemudian bersama-sama keluar dari ruangannya itu. Paul mengantar Adam sampai di tempat parkir khusus bar. Dan kembali memasuki bar miliknya setelah Adam melajukan motornya meninggalkan bar. . . . . . . . . . . Semalaman Adam memikirkan perkataan Paul. Mencari cara untuk berbicara dengan Alicia. Bagi Adam mudah saja berbicara dengan Alicia, mereka juga sudah berbicara setiap hari kalau mereka bertemu. Yang sulit adalah mengutarakan keinginannya, dan menjelaskan alasannya. Adam bahkan baru bisa tidur pukul empat pagi karena terlalu memikirkan cara agar Alicia mau menyetujui keinginannya. "Astaga! Kau seperti zombi saja!" Patrick menatap horor lingkaran hitam di seputar mata Adam. "Apa yang terjadi padamu, man?" tanya Patrick bergidik ngeri. "Aku tidak bisa tidur tadi malam," jawab Adam tanpa memedulikan ekspresi Patrick. Pemuda itu meminum kopinya kemudian menggeleng ketika rasa pahit kopi kemasan itu menyentuh kerongkongannya. Ia tidak terlalu suka pada kopi dan sejenisnya. Minuman bersoda biasanya menjadi pilihannya. Tapi sekarang ia memerlukan kopi agar tidak mengantuk saat bekerja. "Aku bingung harus memilih apa." "Sudah kau coba untuk membicarakannya dengan Alicia?" tanya Patrick hati-hati. Orang kurang tidur bisa membunuhmu kalau kau salah bicara sedikit saja. "Aku masih mencoba mengumpulkan keberanianku untuk itu." Bolehkah Patrick tertawa mendengar jawaban itu? Karena sungguh, jawaban Adam sangat menggelikan. Mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan kekasihmu adalah perbuatan konyol. Itu menurut Patrick. Tapi sepertinya Adam memang benar-benar membutuhkannya. Karena dijauhi Alicia sama saja dengan petaka bagi pemuda itu. "Berbicaralah pelan-pelan, jangan langsung mengatakan keinginanmu itu." Patrick memberi saran dan Adam sangat setuju dengan saran itu. Adam mengangguk. "Tentu saja," jawab Adam. "Dan kurasa aku akan mulai membicarakannya sore ini." "Ide yang bagus!" ucap Patrick. Pemuda itu memukul bahu Adam. "Aku akan selalu mendukungmu, selama kau tidak menyakiti Alicia." Adam mengerang. Gadisnya terlalu banyak memiliki pengawal. *** Sore terasa begitu orang yang sedang kehadirannya. Seperti yang dialami Adam. Karenanya, begitu sore tiba dan masa kerjanya selesai, Adam langsung pergi ke bukit tempat ia biasa bertemu dengan Alicia. Sepanjang perjalanan menuju bukit Adam kembali mengulang kata-kata yang akan dikatakannya pada Alicia nanti. Ia sudah mempersiapkan kata-kata itu sejak siang tadi. Adam bahkan sudah menghafalkannya agar ia tidak salah kata. Semakin dekat dengan bukit, Adam semakin berdebar. Rasa takut begitu menghantuinya. Ia lebih senang dimarahi Mr. Hulk daripada harus mengatakan pada Alicia tentang keinginannya. Atau diminta melamar Alicia mungkin. Adam memarkirkan motornya di tempat biasa. Ia yakin Alicia sudah berada di atas bukit, duduk di bawah pohon atau pada batu besar yang ada di atas bukit itu. Tanpa sadar Adam tersenyum membayangkannya. Tak sabar Adam menaiki bukit setengah berlari. Dan benar saja, Alicia sudah menunggunya. Berdiri di bawah pohon sambil menatap pemandangan kota dari atas sini. Kota memang terlihat sangat indah kalau dilihat dari atas sini. Deretan rumah dan pertokoan berjajar rapi. Mereka juga bisa melihat rumah dan toko bunga milik Bibi Jo, juga restoran milik Mr. Hulk di mana Adam bekerja. Semuanya tampak kecil, seperti miniatur saja. Adam melangkah pelan mendekati Alicia dan memeluknya dari belakang. Alicia berjengit, sedikit terkejut dengan pelukan tiba-tiba itu. Gadis itu menoleh, Adam mendaratkan sebuah ciuman di pipinya yang kemerahan. "Apa aku terlambat?" tanya pemuda itu. Alicia menggeleng. Membiarkan Adam meletakkan dahu di bahunya yang polos. Alicia hari ini mengenakan gaun model Sabrina dengan panjang selutut. Ia tahu Adam tidak suka melihatnya memakai pakaian terbuka, tapi gaun ini masih termasuk kategori tertutup bagi Alicia. Hanya bagian bahunya saja yang terekspos. "Aku tidak suka kau memakai gaun ini." Benar kan? Alicia mengembuskan napas pelan kemudian berbalik. Gadis itu menunjukkan baju hangat yang tadi dipakainya untuk menutup bahunya yang terbuka. Adam berdecak. Sepertinya pemuda itu masih tidak setuju dengan pilihan gaunnya hari ini. "Aku memakainya baru saja, saat akan ke sini tadi," jelas Alicia. Tangannya terangkat membingkai wajah tampan Adam. Dan mengernyit melihat lingkaran hitam yang memutari mata pemuda itu. "Apa kau begadang lagi?" tanyanya. "Kenapa?" Adam gelagapan. Alicia melihat kantung matanya. Segera Adam memutar otak mencari jawaban. Tak mungkin kan ia mengatakan kalau terlvat tidur hanya untuk mencari cara mengutarakan keinginannya? "Itu.. aku bermain game di ponsel bersama Patrick." Adam menggaruk tengkuk. "Sungguh?" tanya Alicia dengan tatapan menyelidik. "Kau tidak sedang berbohong kan?" Adam menggeleng cepat. "Tidak!" Jawaban itu secepat gelengan kepalanya. Alicia berdehem. Ia hafal bagaimana tingkah Adam kala pemuda itu berbohong. Tingkahnya persis seperti sekarang ini. "Kau tahu kan kalau aku tidak suka dibohongi?" Adam mengangguk. Berusaha menetralkan jantungnya yang berdegup kencang. Ia juga harus merangkai kata kembali, karena ia sudah lupa hafalan kata-kata yang sudah disiapkannya. Mata indah Alicia membuatnya melupakan semua itu. "Aku tidak membohongimu, Alicia." Adam meraih tubuh mungil Alicia dalam pelukannya. "Aku berkata yang sesungguhnya." Alicia mengangguk. Meskipun ia tahu Adam sedang berbohong tapi ia akan mencoba untuk mempercayainya. Bukan mempercayai kebohongan Adam, tapi mempercayai apa yang pemuda itu berusaha sampaikan. Alicia mendongak menatap Adam. "Jangan menyembunyikan sesuatu," ucapnya. "Aku akan sangat senang kalau kau mau berbagi." Adam tahu itu. Ia juga menyadari kalau Alicia tahu ia sedang berbohong. Alicia terlalu mengenalnya. Tapi sanggupkah ia mengatakan apa yang ingin ia katakan? Karena sungguh, dengan melihat mata Alicia saja, Adam sudah melupakan segala keinginannya. Termasuk menerima tawaran Allan Hank yang sangat menggiurkan. Adam tersenyum, tangannya menyelipkan rambut Alicia yang tertiup angin ke telinga gadis itu. "Akan kucoba," bisik Adam tepat di depan bibir Alicia. "Aku pasti akan mengatakannya padamu kalau aku sudah siap. Dan kuharap kau dapat menerima keputusanku, Alicia. Karena ini menyangkut masa depan kita." Kening Alicia mengernyit. Perasaannya tiba-tiba saja tidak enak. Apakah ini mengenai tawaran pria dari kota besar itu? Semoga saja tidak. Karena sungguh, ia tidak akan sanggup jauh dari Adam. "Aku harap ini tidak ada hubungannya dengan tawaran pria itu," sahut Alicia berbisik pula. Adam diam, tak berniat menjawab perkataan itu. Karena sepertinya sekarang bukan saat yang tepat baginya untuk mengungkapkan keinginannya itu. Kalau ia nekat mengatakannya sekarang, bisa-bisa mereka akan bertengkar. Dan itu adalah hal terakhir yang Adam harapkan. Alicia memeluk Adam erat. Pemuda itu tidak menyahutinya, apakah ini artinya ia benar? Adam akan menerima tawaran itu dan meninggalkannya di kota kecil ini. "Jangan pergi," pinta Alicia setengah terisak. "Aku mohon jangan tinggalkan aku." Adam membalas pelukan Alicia tak kalah erat. Kalau sudah seperti ini ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tak ingin melihat Alicia menangis. Air mata Alicia adalah hal yang paling membuatnya lemah di dunia ini. "Aku tidak akan pergi," jawab Adam lirih. Tak henti-hentinya Adam menciumi pucuk kepala Alicia, berharap dapat meredakan resah gadisnya itu. "Aku akan tetap berada di sisimu, Alicia." Alicia tidak dapat lagi menahan sesak, ia sudah menagis sekarang. Dadanya sangat sakit saat ia menahannya. "Jangan menangis, aku mohon. Aku tidak sanggup melihatmu menangis." Bukannya reda, tangis Alicia malah semakin menjadi mendengar perkataan Adam. Dadanya semakin terasa sesak, sampai rasanya sulit bernapas. Adam semakin merasa bersalah karenanya. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Alicia-nya, ia tidak akan dapat memaafkan dirinya sendiri. "Aku mohon jangan menangis lagi. Maafkan aku," pinta Adam serak. Pemuda itu juga menangis. Alicia tak menyahut. Tangis membuatnya tak bisa berkata-kata. Hanya tangannya saja yang mencengkeram kuat jaket bagian belakang Adam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN