"Kalau kau tidak keberatan, aku akan menerimanya."
.
.
.
.
.
Alicia menggigit bibir makin kuat. Menahan air matanya yang memaksa hendak keluar. Ia sudah menduga Adam akan mengatakan hal ini. Impian Adam memang sangat indah. Tetapi kalau ingin mewujudkan itu mereka harus berpisah lebih dulu, rasanya ia tak sanggup. Ia juga memiliki impian seperti Adam, dan ia yakin mereka pasti akan bisa meraih impian itu tanpa harus berpisah dulu.
Alicia menggeleng, kedua tangannya meremas kuat ujung jaket Adam di bagian depan. Ia sudah berusaha keras untuk menahan deras air matanya. Tetapi usahanya kalah dengan dadanya yang semakin sesak. Alicia menutup mulut kuat meredam isak. Sungguh ia tak ingin mengekang Adam, tetapi ia juga tidak sanggup untuk berpisah. Jarak antara Southville dan Los Angeles tidak bisa dibilang dekat. Mereka akan terpisah lama. Dan itu sangat menyiksa. Sehari saja tidak berjumpa dengan Adam rasanya ia sudah sangat rindu, apalagi kalau lama tidak bertemu.
Adam tahu ini akan terjadi. Alicia pasti akan menangis lagi. Gadisnya tidak ingin mereka berpisah. Tetapi ia tidak akan maju dan berkembang kalau terus berada di kota ini. Adam memeluk Alicia erat, membiarkan gadis itu menangis di dadanya. Pemuda itu mendongak, membuka mulut membuang sesak. Air mata Alicia adalah kelemahannya. Dadanya juga terasa sesak setiap kali Alicia menangis.
"Jangan pergi." Alicia menggeleng kuat di sela isaknya. "Jangan tinggalkan aku."
Adam menggeleng, mengecup pucuk kepala Alicia beberapa kali sebelum menjawab, "Aku tidak akan meninggalkanmu, Alicia. Kita akan tetap bersama."
Alicia mendongak. Wajah cantiknya sudah dipenuhi air mata. "Tapi kau akan pergi." Alicia menggeleng kuat. "Aku tidak bisa tanpa kau."
Adam menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri beberapa kali. Pemuda itu menggeleng pelan.
"Aku hanya akan bekerja, Alicia. Aku tidak pergi untuk meninggalkanmu."
"Apa bedanya? Kita tetap tak bisa bertemu," protes Alicia lemah. Sesekali gadis itu menghela napas, berusaha meredakan tangisnya.
Adam mengusap air mata Alicia menggunakan jari-jari besarnya.
"Kita bisa saling menghubungi lewat telepon."
Alicia kembali menggeleng kuat. "Tetap tidak sama! Ki-kita tidak.. bisa ber.. tatap muka," ucap Alicia putus-putus karena isak.
"Kita masih bisa saling menatap melalui panggilan video."
Alicia menggeleng makin kuat. "Tetap berbeda, Adam! Aku tidak bisa memelukmu, tidak bisa menyentuhmu. Aku.. a-aku..." Alicia menatap Adam nanar ketika pikiran itu terlintas di kepalanya. Alicia melangkah mundur. "Apa kau sangat ingin berpisah denganku?" tanyanya sedih. Air matanya semakin deras ketika ia menanyakan itu.
"Tidak!" sentak Adam kuat. Suaranya meninggi.
Apa Alicia sudah gila? Bagaimana mungkin gadis itu bisa berpikiran seperti itu? Semua yang dilakukannya adalah untuk mereka. Agar mereka mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masa depan.
"Jangan pernah berpikiran seperti itu!"
Adam memicing menatap Alicia. Meraih tangan gadis itu dan menariknya kuat, sampai tubuh mungil Alicia bertabrakan dengan dadanya yang liat. Adam melingkarkan kedua lengannya mengurung tubuh mungil itu.
"Jangan pernah mengatakan sesuatu yang tidak mungkin, Alicia." Suara Adam melembut merasakan tubuh Alicia yang bergetar kuat dalam pelukannya. "Bagaimana kau bisa berpikiran seperti itu sementara aku tidak bisa hidup tanpa kau." Adam menciumi pucuk kepala Alicia. "Aku mohon jangan berkata seperti itu. Kau segalanya bagiku. Kau lebih berarti dari udara yang kuhirup. Aku mohon jangan pernah berpikir kalau aku akan meninggalkanmu atau aku ingin kita berpisah." Adam membingkai wajah penuh air mata Alicia. Melumat bibir yang bergetar beberapa saat sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku mencintaimu, Alicia. Sangat mencintaimu. Hanya kau yang kumiliki. Aku bisa gila kalau kau meninggalkanku."
Tangis Alicia semakin deras. Kalau memang Adam seperti itu, lalu kenapa Adam sangat ingin pergi dari kota mereka ini? Karena impiannya kah? Tapi bukankah mereka masih bisa mewujudkan impian itu kalau mereka berusaha bersama? Tidak ada yang tidak mungkin kalau mereka melakukan semuanya berdua.
Alicia sangat ingin menanyakan itu. Tapi rasanya ia tidak bisa bersuara lagi. Suaranya tercekat di tenggorokan karena tangis.
***
"Aku tidak bisa mampir. Maaf."
Alicia mengangguk. Membiarkan Adam membingkai pipi dan mengecup bibirnya sekilas.
"Sampaikan salamku pada Bibi Jo."
Alicia mengangguk lagi. Sebelah tangan Adam masih di pipinya. Mengusap pelan seolah membersihkan jejak air mata yang masih tertinggal.
"Jangan memikirkan yang tidak-tidak, kau paham? Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa," ucap Adam tepat di depan bibir Alicia. "Aku sangat mencintaimu, Alicia. Dan aku akan melakukan apa pun asal kau bahagia."
"Kalau begitu jangan tinggalkan aku. Jangan pergi kemana-mana, tetaplah di sisiku," balas Alicia. Gadis itu mengambil tangan Adam yang mengusap pipinya, membawa ke mulut dan mengecupnya. Setelah itu mengembalikan tangan besar itu ke pipinya. "Ya?" pinta Alicia dengan tatapan penuh harap.
Adam tak menjawab. Hatinya bercabang sekarang. Dan disetiap cabang terdapat luka yang berdarah. Padahal Alicia berdiri di cabang-cabang itu. Sungguh ia sangat bingung sekarang. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, ia sangat menginginkan pekerjaan yang ditawarkan oleh Allan Hank. Di sisi lain, ia tidak ingin meninggalkan Alicia. Adam menghela napas pelan. Sepertinya ia perlu menemui Paul lagi. Kali ini ia sangat membutuhkan pemuda itu untuk menolongnya.
Adam berusaha tersenyum untuk menutupi kegundahan hatinya. Pemuda itu kemudian mengangguk.
"Aku pulang dulu, besok kita bertemu lagi." Adam melepaskan tangannya dari pipi Alicia. "Setelah makan malam pergilah tidur. Kau perlu istirahat. Dan ingat, jangan memikirkan apa-apa lagi."
Alicia mengangguk. Senyum manisnya mengembang indah.
"Kau juga," pintanya.
Adam mengangguk. Mengecup bibir Alicia sekali lagi sebelum menaiki motornya dan melaju meninggalkan halaman keluarga Jones. Meninggalkan Alicia yang termangu beberapa saat. Sebelum teguran dari Bibi Jo yang berdiri di ambang pintu mengagetkannya.
"Apa kau tidak ingin masuk?" tanya Bibi Jo. "Makan malam sebentar lagi. Ayo cepat masuk."
Alicia mengangguk. Bergegas memasuki rumah dengan kepala tertunduk. Ia tak ingin Bibi Jo melihat jejak air mata di pipinya.
"Bersihkan dirimu dulu sebelum makan malam!"
Bibi Jo berseru pada Alicia yang sudah sampai di depan tangga. Kamar gadis itu di lantai dua, sehingga untuk mencapainya ia memerlukan tangga.
"Iya, Bibi Jo!" Alicia balas berseru nyaring. Menaiki anak tangga dengan cepat. Ia ingin segera sampai di kamarnya dan mandi. Entahlah dengan makan malam, rasanya ia belum lapar setelah mendengar apa yang dikatakan Adam di atas bukit tadi.
***
Adam melajukan motornya menuju pinggiran kota. Ia berniat menemui Paul di bar milik pemuda itu malam ini. Ia memerlukan Paul untuk berbicara dengan Alicia.
Tak lama, Adam sampai di bar milik Paul. Setelah memarkirkan motornya, Adam segera memasuki bar. Seperti biasa, bar milik Paul selalu lebih ramai daripada bar-bar besar di pusat kota. Mungkin karena suasananya yang lebih asri sehingga orang-orang lebih sering memadati bar kecil ini dari bar yang jauh lebih besar dan lebih moderen di pusat kota sana. Adam mendekati salah satu pramusaji dan menanyakan keberadaan Paul pada pramusaji itu. Setelah mengetahui kalau oaulberada di ruangannya, Adam segera menuju ruangan pemuda itu.
"Paul, apa kau di dalam?" tanya Adam setelah mengetuk pintu ruangan Paul yang tertutup. "Aku Adam."
"Masuklah!" seru Paul dari dalam. "Pintunya tidak terkunci. Aku tidak pernah mengunci pintu ruanganku," sambungnya begitu Adam sudah berdiri di depannya.
Adam mengangkat bahu. "Aku tidak mau mengganggumu," ucap pemuda itu merasa sungkan.
"Kau sudah menggangguku dengan datang ke sini, Man!"
Adam mengerang mendengar itu. Ia tahu Paul hanya bercanda, tetapi tetap saja ia merasa tersindir. Adam duduk di kursi di depan meja Paul setelah dipersilahkan oleh pemuda itu.
"Biar kutebak!" Paul mengangkat sebelah tangan menghentikan Adam yang terlihat akan berbicara. "Kau tidak berhasil berbicara dengan Alicia."
Adam mengerang sekali lagi. Wajah tampannya terlihat kusut. Bagaimana Paul tahu kalau ia tidak berhasil meyakinkan Alicia untuk mendukung keinginannya? Apakah ia seterbuka itu?
"Wajah dan tatapannu yang menyedihkan itu mengungkapkan semuanya, dude." Paul menjentik abu rokok ke asbak, mengisap rokoknya sekali sebelum meneruskan. "Aku memang ragu kalau kau akan berhasil.
Adam mengembuskan napas kasar melalui mulut. Pemuda itu menyenderkan punggung dan mendongak.
"Alicia berpikir aku ingin pergi darinya."
Lamat-lamat terdengar suara Adam. Agak samar karena pemuda itu menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Tapi masih dapat didengar oleh Paul yang memiliki pendengaran cukup tajam.
"Yeah, aku tidak menyalahkannya," komentar Paul. "Pasti sangat berat baginya kalau harus berjauhan denganmu. Kau tahu kan Alicia tidak bisa tidak bertemu denganmu sehari saja?"
Adam tak menjawab. Dalam hati membenarkan perkataan Paul. Well, bukan hanya Alicia saja yang begitu, ia juga tidak bisa kalau mereka tidak bertemu. Rasanya sangat janggal, seolah ada yang kurang kalau sehari saja ia tidak melihat wajah Alicia.
"Aku juga seperti itu, Paul." Adam menegakkan punggung. "Aku juga tidak bisa kalau tidak bertemu dengannya. Rasanya ada yang kurang."
Paul tertawa pelan. "Kalian berdua itu sama. Bagaimana mungkin kau berpikir untuk keluar dari kota ini dan tinggal jauh dari Alicia?"
"Kalau untuk masa depan kami, aku akan mencoba. Entahlah." Adam mengangkat bahu. "Aku hanya menginginkan dukungan dari Alicia. Kalau aku tetap di kota ini, mungkin sepuluh tahun lagi aku baru bisa menikahinya."
Tawa Paul semakin keras. Ia tak menyangka kalau Adam sudah berpikir jauh ke depan. Padahal pemuda ini lebih muda darinya. Tetapi pikirannya lebih dewasa. Sementara ia masih belum berpikir ke arah sana. Menurutnya menikah dan membangun sebuah keluarga adalah sesuatu yang rumit. Ia bukan pemuda yang suka hidup terkekang. Ia menyukai kebebasan. Dan nenikah artinya ia akan terikat dan tak lagi bebas. Karena itu ia tak pernah memikirkan tentang pernikahan. Lagipula, ia masih terlalu muda untuk menikah.
"Aku tidak menyangka kau ingin menikah muda," ucap Paul setelah tawanya reda.
"Tidak juga." Adam kembali mengangkat bahunya. "Maksudku tidak terlalu muda. Aku ingin menikahi Alicia saat usianya dua puluh tahun."
"Termasuk muda bagiku."
Adam memutar bola mata. Ia sudah tahu dengan prinsip yang tak ingin terikat.
"Semua usia bagimu sama saja, selalu muda."
Tawa Paul kembali mengalun, memenuhi ruangannya yang tidak seberapa besar. "Kau terlalu tahu bagaimana aku," ucapnya.
Adam hanya mengangguk, terlalu malas untuk mendebarkan hal yang baginya tidak penting bersama Paul. Ia hanya tertarik untuk menyelesaikan masalahnya.
"Lalu, apa kalian tadi bertengkar?"
Pertanyaan Paul membuat Adam kembali menatapnya. Adam menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, yang artinya mereka tidak bertengkar.
"Syukurlah." Paul mengembuskan napas lega melalui mulut. Keadaan Alicia pasti akan buruk kalau sampai gadis itu vertengkar dengan Adam. "Karena aku sungguh-sungguh tidak ingin menghajar sahabatku."
"Aku sudah mendengarmu mengatakannya beberapa hati yang lalu," sahut Adam.
"Yeah!" Paul mengangguk. "Aku hanya memastikan kau tidak lupa."
Adam memutar bola mata lagi. "Aku tidak akan lupa. Lagipula, wajahku adalah aset untuk aku bisa keluar dari kota ini," balas Adam.
Paul berdehem. Sikapnya kembali serius. "Jadi kau sungguh ingin pergi dari kota ini?" tanyanya. Paul menatap Adam lekat. Pemuda itu membenarkan duduknya agar lebih nyaman.
Adam mengangguk. Masih mempertahankan cara duduknya yang terkesan tak sopan tetapi santai. Kedua kaki terbuka lebar dan punggung yang melekat pada senderan kursi.
"Bukan pergi, aku hanya ingin keluar untuk bekerja," ralat Adam. "Aku tak pernah sungguh-sungguh ingin meninggalkan kota ini. Hidupku di sini."
Paul tahu apa yang dimaksud Adam dengan hidupku. Pastilah Alicia, siapa lagi. Adam rela menukar nyawanya demi kebahagiaan Alicia. Sungguh konyol. Tetapi Paul tetap menghargai sahabatnya. Alicia juga sudah dianggap adiknya sendiri. Gadis itu selalu menebarkan hormon keceriaan di mana pun ia berada.
"Aku akan kembali dan membawa Alicia bersamaku kalau aku sukses."
"Lalu bagaimana kalau kau tidak berhasil? Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan tetap berusaha mencari pekerjaan dan kembali ke Southville dengan tetap membawa uang," ucap Adam bersemangat. "Setelah itu aku akan menikahi Alicia."
Paul kembali tertawa, meski tak sekeras tadi. "Astaga, Man. Aku sungguh tak menyangka kalau kau sangat ingin menikahi Alicia."
"Iya, kenapa?" tanya Adam dengan alis yang berkerut. Sedikit kesal dengan perkataan Paul. "Aku tidak sedang bercanda, Paul!"
"Hei, tenang, kawan. Aku tidak mengatakan kalau kau sedang bercanda." Paul membela diri. Melihat wajah Adam yang menekuk kesal, Paul jadi tidak enak sendiri. "Aku hanya..." Paul menggaruk pelipis, berusaha mencari kata-kata yang tepat digunakan sebagai jawaban. Ia tak ingin Adam semakin kesal. "Aku hanya sedikit heran saja, kurasa duniamu hanya seputar Alicia."
Adam mengusap wajah, berusaha menghilangkan gurat kesal di wajahnya. Pemuda itu menegakkan punggung kemudian mengangkat bahu.
"Aku juga baru menyadarinya," jawab Adam. "Entah sejak kapan, tapi saat kusadari, duniaku sudah berpusat pada Alicia."
Paul mengembuskan napas. Ini yang membuatnya tidak mau membuka diri pada lawan jenis. Ia tidak ingin bergantung kepada orang lain. Tidak ada untungnya baginya, malah hanya akan membuat sakit hati saja.
"Aku sangat membutuhkan bantuanmu. Kali ini aku mohon bicaralah pada Alicia." Adam menatap Paul lekat. "Kurasa ia akan mengerti kalau kau yang berbicara padanya."
"Aku tidak bisa berjanji ia akan langsung setuju. Karena kau tahu semua itu perlu proses."
Adam mengangguk. Ia harus yakin kalau Paul akan berhasil. Masa depannya dan Alicia bergantung pada semua itu.