Selamat membaca!
Setelah berada di dalam mobil, keduanya memulai percakapan mereka yang di awali dengan sebuah perkenalan. Momen di mana Alan mengetahui nama dari kekasih Andrew, tempat di mana jiwanya hidup pada tubuh pria itu. Kini Alan pun mulai menanyakan tentang kehidupan Andrew pada Laura. Pertanyaan penting karena Alan akan menjalani kehidupan Andrew mulai hari ini.
"Jadi coba ceritakan bagaimana kehidupan Andrew?" tanya Alan mengawali percakapannya dengan Laura.
"Andrew itu hidup sebatang kara. Dia tinggal di asmara kampus dan salah satu mahasiswa paling pintar di kampus," jawab Laura sambil fokus pada kemudinya.
"Jadi Andrew bukanlah anak orang kaya? Sekarang bagaimana bisa aku membeli tiket pesawat untuk pergi ke London? Mau bagaimanapun aku harus secepatnya pergi ke sana."
"Tapi kau tidak boleh pergi dulu karena satu Minggu ke depan akan ada International Mathematics Competition yang diadakan setiap satu tahun sekali. Kebetulan tahun ini kompetisi itu akan berlangsung di Sydney."
"Memang apa hubungannya kompetisi itu denganku?" tanya Alan heran.
"Ini tidak ada hubungannya denganmu, tapi Andrew karena dia termasuk 1 dari 3 mahasiswa yang akan mengikuti kompetisi itu mewakili kampusku. Jadi aku tidak akan membiarkanmu pergi karena memenangkan kompetisi itu adalah impian terbesar Andrew, dia sudah berjuang selama ini untuk bisa lolos seleksi tahap kampus agar dapat ikut."
Seketika bayangan masa kuliah pun terlintas di pikiran Alan. Membuatnya merasa tak sanggup untuk ikut serta dalam kompetisi tersebut.
"Tidak, tidak. Aku tidak bisa ikut. Lagipula percuma saja jika kau memaksaku. Aku juga tidak akan bisa memenangkannya," jawab Alan yang bersikeras menolaknya.
"Mau tidak mau, kamu harus ikut! Ini adalah salah satu syarat mutlak dariku. Kalau kamu bisa memenangkan kompetisi itu dan membantu Andrew mewujudkan impiannya, maka aku akan membantumu dengan membiayai perjalananmu ke London. Bagaimana?" Laura coba membuat kesepakatan kembali dengan Alan.
"Lagipula kau tadi sudah berjanji padaku untuk menuruti semua perintahku, bukan?" sambung Laura setelah melihat Alan hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya.
Sampai akhirnya, Alan pun mulai membuka suaranya dan masih berusaha membuat Laura agar mengerti posisinya saat ini. "Tapi, aku tidak punya waktu sampai selama itu karena aku takut jika tiba-tiba aku tidak lagi ada di tubuh ini. Tolonglah mengerti, Laura!"
"Kalau akhirnya seperti itu ya bagus. Berarti Andrew akan kembali pada tubuhnya dan itu bukan urusanku!" Laura terdengar begitu dingin, saat menanggapi perkataan Alan. Membuat pria itu coba meluluhkannya dengan raut wajah yang mengiba.
"Ayolah, Laura! Kau harus membantuku. Aku mohon! Ini demi keluargaku, demi putri, dan istriku yang juga mati di tangan mereka! Aku harus membalas dendam atas kematian mereka, Laura!" pinta Alan dengan raut wajah memohon.
Laura pun dibuat terdiam. Namun, apa pun permintaan Alan tak mampu merubah pendirian Laura. "Kau harus tetap menang dalam kompetisi itu. Setelah kau memenangkannya, aku janji akan membiayai semua yang kau butuhkan untuk perjalanan ke London dan segala keperluanmu selama di sana."
Alan masih terus mendesak Laura agar mendengar permintaannya dan tak memaksakan kehendaknya. "Ayolah, Laura! Aku tidak mungkin bisa menang. Lagipula bagaimana mungkin aku bisa memenangkan kompetisi yang pelajarannya saja sangat aku benci itu," protes Alan penuh penekanan. Terlebih saat ia mengingat bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang paling tidak disukainya sewaktu masih kuliah dulu.
"Semua tergantung keputusanmu. Aku tidak akan memaksa, tapi jika memang kau tetap bersikeras tidak mau, sebaiknya kau lupakan tentang balas dendammu itu!" Laura masih bergeming dengan keinginannya. Raut wajah yang penuh keseriusan benar-benar membuat Alan tak punya pilihan, selain menurutinya.
"Baiklah. Aku akan mencobanya, tapi bagaimana kalau aku tidak menang. Apa kau akan menepati janjimu dan tetap membiayai keberangkatanku ke London?"
Jawaban Alan seketika membuat Laura mulai berpikir keras untuk memutuskan. "Tidak. Mau bagaimanapun kau harus menang! Kalau kau tidak bisa menang, maka tidak akan ada penerbangan ke London." Laura pun kembali fokus dengan kemudi pada mobilnya setelah menyelesaikan ucapannya.
Sementara Alan hanya bisa berdecih kesal atas apa yang didengarnya.
"Kenapa ya wanita ini menyebalkan sekali? Aku harus mencari cara lain agar bisa secepatnya pergi ke London," batin Alan mulai merasa geram atas persyaratan yang diajukan oleh Laura.
Setelah sempat saling mempertahan argumennya masing-masing, kini keduanya saling diam hingga mobil yang dikendarai oleh Laura pun mulai masuk melewati gerbang rumahnya yang telah dibukakan oleh seorang petugas keamanan.
"Terima kasih ya, Bent," ucap Laura dengan ramah.
"Sama-sama, Nona."
Alan mulai melihat rumah mewah yang dimiliki oleh Laura. Rumah dengan pelataran yang sangat luas. Terdapat air mancur dan taman dengan bunga juga pepohonan di depannya. Membuat suasana rumah saat itu terkesan begitu asri.
"Ini rumahmu?" tanya Alan melihat kagum rumah mewah yang menjadi tujuannya itu.
"Enggak mungkin juga kalau aku mengajakmu ke rumah orang lain. Ini rumahku. Oh ya, kamu juga harus tahu jika selama ini aku dan Andrew menjalin hubungan tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Mereka hanya tahu kalau Andrew adalah teman yang aku bayar untuk memberikan bimbingan mata kuliah agar nilai IPK di semester terakhirku ini bisa tinggi. Mereka juga tahu jika Andrew adalah mahasiswa yang paling berprestasi di kampus. Makanya, kedua orang tuaku masih mengizinkan aku untuk bergaul dengannya."
"Jadi begitu. Memangnya kalian sudah berapa lama menjalin hubungan diam-diam?"
"3 semester, sejak itu juga nilai IP-ku selalu tinggi setiap semesternya. Itu semua berkat Andrew. Kedua orang tuaku pun tahu jika dia memang memberikan pengaruh yang baik untukku," jawab Laura sambil menghentikan mobilnya tepat di teras rumahnya.
"Ayo! Aku ingin segera mendengar semua ceritamu, tapi sebelum itu, aku ingin mandi dulu ya! Kau bisa menungguku di tempat biasa kita belajar!"
Mendengar perkataan Laura, Alan seketika mengedikkan bahunya, tanda jika dirinya tidak tahu dengan tempat yang dimaksud oleh Laura. "Di mana? Aku tidak tahu. Apa kau lupa jika aku bukan Andrew?"
Laura menepuk keningnya sedikit keras, lalu menghela napasnya dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah setelah keluar dari mobil. "Ya sudah, ayo ikuti aku!"
Alan yang juga sudah keluar dari mobil pun mulai melangkah untuk mengikuti ke mana langkah Laura pergi.
"Oh ya, apa pria ini tidak memiliki ponsel di dalam tasnya?" tanya Alan dalam hatinya saat teringat jika ia harus mencari informasi tentang kejadian yang menimpa keluarga dan juga dirinya.
Setelah mencari di dalam sebuah tas ransel yang dibawanya, Alan pun akhirnya menemukan sebuah ponsel di dalam tas pria itu dan langsung mencari berita kematiannya. Tak butuh waktu lama, beberapa tajuk berita mulai tampak pada layar ponsel itu. Membuat Alan dapat menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi padanya.
"Jadi mereka membuatku seolah-olah hilang dari London. Tidak ada satu media pun yang memuat pasti berita kematianku. Bahkan sampai saat ini, semua media-media di sana masih menduga jika aku dan keluargaku menjadi korban pembunuhan tanpa tahu siapa pelakunya. Itu artinya, orang-orang yang telah membunuhku tidak ingin jika kematianku sampai diketahui oleh publik. Entah kenapa, aku jadi sangat yakin jika semua ini ada kaitannya dengan penembakan yang terjadi pada perdana menteri. Mereka sengaja melenyapkanku untuk suatu alasan dan aku harus menyelidikinya," batin Alan terus memutar otaknya setelah membaca beberapa tajuk berita yang tertera pada ponsel milik Andrew.
Bersambung ✍️